Perlukah Berhenti Meresepkan Antihistamin Generasi Pertama pada Kasus Alergi?

Oleh :
dr.Restie Warapsari, Sp.PD

Antihistamin generasi pertama, seperti chlorpheniramine dan diphenhydramine, sering kali lebih tidak disukai dibandingkan antihistamin generasi kedua, seperti fexofenadine dan loratadine. Antihistamin generasi pertama memiliki efek sedatif, bersifat lebih tidak selektif, dapat menembus sawar darah-otak, serta memiliki durasi kerja yang lebih pendek dibandingkan generasi kedua.

Namun, apakah hal ini berarti kita perlu berhenti meresepkan antihistamin generasi pertama?

alergi

Antihistamin Generasi Pertama VS Kedua: Perbedaan Farmakologi dan Potensi Efek Samping

Antihistamin merupakan obat yang umum digunakan dalam terapi kondisi atopik atau alergi, seperti urtikaria dan rhinitis alergi. Obat ini terbagi menjadi dua, yaitu antihistamin generasi pertama dan kedua.

Antihistamin Generasi Pertama

Antihistamin generasi pertama atau disebut juga antihistamin klasik, ditemukan pada tahun 1940-an, harganya murah, dan mudah didapat baik dalam bentuk obat tunggal maupun kombinasi. Antihistamin generasi pertama yang tersedia di Indonesia mencakup chlorpheniramine, diphenhydramine, dan dimenhydrinate.

Antihistamin generasi pertama memblokade reseptor histamin H1. Namun, obat golongan ini juga memiliki efek blokade terhadap reseptor lain, misalnya muskarinik, dan oleh karenanya bersifat kurang selektif. Hal inilah yang berhubungan dengan berbagai potensi efek samping, misalnya saja mulut kering, retensi urine, dan peningkatan tekanan intraokular.[1-6]

Selain itu, antihistamin generasi pertama juga bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah-otak, menyebabkan efek samping seperti mengantuk, gangguan kognisi, dan gangguan koordinasi. Antihistamin generasi pertama memiliki awitan kerja cepat, sehingga dapat meredakan gejala hidung meler atau gatal akibat ruam secara cepat, namun durasi kerjanya tidak panjang.[1-6]

Antihistamin golongan ini juga diketahui dapat menyebabkan toksisitas jantung, terutama pada pasien usia lanjut dengan komorbiditas dan polifarmasi. Peningkatan risiko pemanjangan interval QT dan torsade de pointes yang berpotensi menyebabkan sinkop dan kematian jantung mendadak telah dilaporkan akibat penggunaan antihistamin generasi pertama hydroxyzine.[7,8]

Antihistamin Generasi Kedua

Beberapa obat antihistamin generasi kedua yang ada di Indonesia adalah cetirizine, loratadine, desloratadine, dan fexofenadine. Pada beberapa tahun belakangan juga telah dikenal agen antihistamin generasi kedua yang baru, yaitu bilastine dan rupatadine.[1,9,10]

Kemajuan besar dalam pengembangan antihistamin terjadi pada 1980-an dengan diperkenalkannya antihistamin generasi kedua yang dilaporkan memiliki tingkat keamanan lebih superior. Antihistamin generasi kedua bersifat lipofobik, sehingga tidak atau kurang dapat menembus sawar darah otak. Hal ini menyebabkan efek sedasi dan gangguan psikomotor menjadi tidak ada atau lebih minimal.

Tingkat sedasi antihistamin generasi kedua bervariasi, tergantung jenis dan dosis obat. Berbagai studi melaporkan bahwa loratadine, fexofenadine, dan desloratadine memiliki efek sedasi yang paling minimal dibandingkan cetirizine. Selain itu, antihistamin generasi kedua bersifat lebih selektif terhadap reseptor histamin dan tidak memiliki efek antikolinergik.[2,3]

Meski demikian, perlu diketahui bahwa terdapat laporan toksisitas jantung juga akibat antihistamin generasi kedua. Terfenadine dan astemizol dilaporkan menimbulkan efek samping pemanjangan interval QT dan aritmia ventrikel yang membahayakan, sehingga peredarannya telah ditarik oleh FDA pada tahun 1997.[2]

Tabel 1. Karakteristik Beberapa Obat Antihistamin

Agen Antihistamin Dosis Dewasa Efek Sedasi Efek Antikolinergik Gangguan Kognitif dan Psikomotor
Generasi 1
Diphenhydramine 20-50 mg, tiap 4-6 jam +++ +++ +++
Chlorpheniramine 4 mg, tiap 4-6 jam ++ +++ ++
Generasi 2
Fexofenadine

180 mg, 1 kali sehari atau

60 mg, 2 kali sehari

 

0

 

0

 

 

0

Cetirizine 5-10 mg, 1 kali sehari +/-, + (DT) + +/-, + (DT)
Loratadine 10 mg, 1 kali sehari 0, + (DT) + 0, + (DT)
Desloratadine 5 mg, 1 kali sehari 0, + (DT) + 0, + (DT)

Keterangan tabel:

  • DT : Dosis tinggi;
  • +++ : efek tinggi
  • ++ : efek sedang
  • + : efek rendah
  • 0 : tidak ada efek
  • +/- : tidak ada atau efek minimal [2,3]

Rekomendasi Pemilihan Antihistamin pada Kasus Alergi

Berdasarkan efikasi, profil keamanan dan efek samping yang ditimbulkan, pedoman untuk tata laksana urtikaria dari European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI)/Global Allergy and Asthma European network (GALEN)/European Dermatology Forum (EDF)/World Allergy Organization (WAO); serta pedoman tata laksana rhinitis alergi Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) merekomendasikan penggunaan antihistamin generasi kedua sebagai terapi lini pertama.[11,12]

Lebih lanjut, dikatakan bahwa obat antihistamin generasi pertama tidak direkomendasikan  untuk pengelolaan rutin kasus alergi, kecuali pada kondisi dimana antihistamin generasi kedua tidak tersedia.[11,12]

Dalam studi oleh Zeerak et al pada 100 orang dokter  di India, sebanyak 73% telah meresepkan antihistamin generasi kedua untuk kasus alergi, sedangkan sisanya masih meresepkan antihistamin generasi pertama. Sebanyak 71% dokter menyadari bahwa antihistamin generasi pertama menyebabkan gangguan signifikan pada aktivitas sehari-hari pasien, sedangkan 29% tidak menyadari efek samping ini.[1]

Dalam studi ini juga dilaporkan bahwa hanya 15% dokter yang mengetahui rekomendasi pedoman terbaru yang disebutkan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan kesadaran dokter mengenai perbandingan antara antihistamin generasi pertama dan kedua masih rendah.[1]

Kesimpulan

Pada kasus alergi, penggunaan antihistamin generasi kedua lebih direkomendasikan dibandingkan generasi pertama. Hal ini karena profil farmakologi dan keamanannya yang lebih baik. Antihistamin generasi pertama sebaiknya mulai ditinggalkan karena tingginya efek sedasi  dan efek antikolinergik yang ditimbulkan, durasi kerja yang lebih pendek, potensi toksisitas jantung, serta ketersediaan pilihan lain yang lebih baik.

Referensi