Dampak Pemberian Antipiretik dan Analgesik Sebelum Vaksinasi Anak

Oleh :
dr.Eva Naomi Oretla

Pemberian antipiretik dan analgesik sebelum vaksinasi anak bertujuan untuk mencegah terjadinya efek samping vaksin berupa demam dan nyeri. Contoh obat yang sering diberikan adalah paracetamol dan ibuprofen. Akan tetapi, beberapa studi melaporkan bahwa pemberian antipiretik dan analgesik sebelum vaksinasi mungkin mengurangi imunogenisitas vaksin dan respons antibodi terhadap antigen vaksin tertentu.[1,2]

Di Indonesia, program imunisasi terdiri dari imunisasi dasar dan lanjutan. Imunisasi dasar lengkap mencakup vaksin hepatitis Bvaksin BCG (bacillus Calmette-Guerin), vaksin DTP-HB-Hib (difteritetanuspertusis, hepatitis B, dan Haemophilus influenzae type B)vaksin polio, dan vaksin campak.

Dampak Pemberian Antipiretik dan Analgesik Sebelum Vaksinasi Anak-min

Sementara itu, imunisasi lanjutan merupakan imunisasi ulangan yang bertujuan untuk mempertahankan tingkat imunitas. Imunisasi lanjutan ini diberikan pada anak usia <3 tahun (batita), yang meliputi vaksin DPT-HB-Hib dan vaksin campak. Imunisasi lanjutan juga dapat diberikan pada anak-anak usia sekolah dasar yang meliputi vaksin campak, vaksin difteri-tetanus (Dt) dan tetanus-difteri (Td). Vaksin COVID-19 juga disediakan oleh pemerintah untuk anak usia ≥6 tahun.[3-5]

Mekanisme Kerja Antipiretik dan Analgesik yang Memengaruhi Respons Imun

Reaktogenisitas vaksin dan respons inflamasi tubuh terhadap vaksin bisa menimbulkan manifestasi klinis seperti demam, myalgia, arthralgia, serta sakit kepala. Selain itu, efek samping lokal seperti rasa nyeri, ruam, dan indurasi di lokasi injeksi juga bisa terjadi.

Antipiretik dan analgesik profilaksis dapat menurunkan efek samping tersebut, tetapi juga dilaporkan bisa menurunkan imunogenisitas vaksin dan respons antibodi terhadap antigen vaksin tertentu.[1,2,6]

Mekanisme di balik hubungan antipiretik dan analgesik dengan respons antibodi setelah imunisasi sebenarnya belum sepenuhnya dimengerti, tetapi diperkirakan berhubungan dengan kemampuan antipiretik dan analgesik untuk menghambat siklooksigenase (COX). Selain itu, nuclear dan subcellular signaling juga diduga berperan.[1,7,8]

Studi Tentang Efek Obat Profilaksis terhadap Respon Imuns Anak

Berbagai studi telah dilakukan untuk mengetahui efek premedikasi terhadap respons imun pada vaksinasi anak.

Studi Prymula et al

Studi Prymula, et al pada tahun 2009 merupakan uji klinis acak yang melibatkan 459 bayi sehat yang menerima imunisasi primer pada usia 16 minggu lalu menerima dosis booster pada usia 12–15 bulan. Premedikasi yang digunakan adalah paracetamol.

Vaksin yang dievaluasi adalah ten-valent pneumococcal non-typeable Haemophilus influenzae protein D-conjugate vaccine (PHiD-CV) yang diberikan bersama dengan hexavalent diphtheria-tetanus-3-component acellular pertussis-hepatitis B-inactivated poliovirus types 1, 2, and 3-H influenzae type b (DTPa-HBV-IPV/Hib) dan vaksin human rotavirus oral.[1]

Reaksi febris dilaporkan turun signifikan pada grup profilaksis. Namun, satu bulan setelah vaksin primer, tampak penumpulan (blunted) respons semua antibodi (kecuali polio) dengan penurunan titer antibodi pada kelompok profilaksis bila dibandingkan kelompok plasebo. Geometric mean concentrations (GMC) antibodi untuk semua 10 serotipe pneumokokus, difteri, tetanus, dan pertactin juga lebih rendah pada kelompok profilaksis. Hal serupa juga tampak pada beberapa jenis vaksin booster.[1]

Pada tahun 2013, Prymula, et al melakukan studi lanjutan untuk mengevaluasi efek jangka panjang paracetamol terhadap kadar antibodi terhadap vaksin S. pneumoniae dan H. influenzae. Studi lanjutan ini dilakukan dengan membandingkan grup profilaksis pada studi pertama dengan grup kontrol yang telah menerima dosis booster vaksin 10-valent pneumococcal capsular polysaccharide non-typeable Haemophilus influenzae conjugate.

Kelompok profilaksis memiliki titer yang lebih rendah sebelum diberikan booster, tetapi titer antibodi setelah booster mengalami peningkatan yang signifikan pada kedua grup studi. Penumpulan respons antibodi yang diobservasi pada vaksinasi primer hanya bersifat transient. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada efek yang negatif pada sel B memori pada sistem imun.[1]

Wysocki et al

Wysocki, et al melakukan studi terhadap 800 anak mengenai efek paracetamol atau ibuprofen profilaksis terhadap imunogenisitas vaksin konjugat pneumokokus 13-valent (PCV13) yang diberikan bersama vaksin kombinasi DTaP/HBV/IPV/Hib.

Hasil melaporkan bahwa kelompok yang menerima parasetamol saat vaksinasi memiliki kadar imunoglobulin (IgG) antikapsular pneumokokus spesifik serotipe lebih rendah daripada kelompok kontrol untuk 5 serotipe (serotipe 3, 4, 5, 6B, dan 23F). Penggunaan ibuprofen sebagai profilaksis tidak memengaruhi respons pneumokokus, tetapi secara signifikan mengurangi respons antibodi terhadap pertussis filamentous hemagglutinin dan antigen tetanus.

Studi ini berkesimpulan bahwa efek antipiretik profilaksis terhadap respons imun dapat bervariasi tergantung jenis vaksin, jenis antipiretik, dan waktu pemberian antipiretik.[2]

Das RR et al

Das RR, et al melakukan tinjauan sistematik terhadap 13 uji klinis acak (total 5.077 anak) untuk menilai hubungan antara pemberian antipiretik profilaksis, efek samping pasca-vaksinasi, dan respons antibodi pada anak-anak.

Hasil melaporkan bahwa pemberian antipiretik profilaksis secara signifikan mengurangi reaksi demam setelah vaksinasi primer dan booster. Kelompok yang mendapatkan profilaksis antipiretik menunjukkan penurunan respons antibodi, tetapi level antibodi yang dihasilkan dari vaksin primer maupun booster masih bersifat protektif (mencapai tingkat seroproteksi).[9,10]

Kesimpulan

Antipiretik dan analgesik profilaksis kadang diberikan sebelum vaksinasi anak dengan tujuan untuk mencegah efek samping berupa demam dan nyeri. Bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa pemberian obat-obatan profilaksis ini mungkin dapat mengurangi risiko terjadinya demam dan reaksi lokal seperti nyeri. Namun, bukti juga menunjukkan bahwa profilaksis ini dapat mengurangi respons imun anak terhadap vaksin tertentu.

Penurunan titer antibodi yang terjadi dinyatakan masih berada dalam level seroproteksi yang bisa melindungi pasien. Akan tetapi, penurunan ini dilaporkan sangat bervariasi tergantung pada jenis vaksin, jenis obat, serta waktu pemberian obat.

Kekurangan studi-studi yang ada saat ini adalah studi hanya mempelajari titer antibodi dan bukan mempelajari uji imunitas yang sesungguhnya, yaitu infeksi breakthrough. Uji klinis acak prospektif dapat dilakukan pada beberapa vaksin seperti COVID-19 dan influenza, tetapi mungkin tidak bisa diekstrapolasikan pada vaksin lain. Studi lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mengonfirmasi manfaat dan risiko pemberian antipiretik dan analgesik sebelum vaksinasi.

Referensi