Upaya Menghasilkan Parut Luka yang Optimal

Oleh :
dr. Sandy S Sopandi

Menghasilkan parut luka (scar) yang optimal sangat penting, karena berkaitan dengan kepuasan pasien terhadap hasil estetik dari tindakan medis yang dijalaninya. Parut dapat menimbulkan gangguan bagi pasien, terutama jika permukaan parut lebih tinggi dari permukaan kulit, cekung, lebar, atau berbeda warna dengan kulit sekitar. Pasien juga dapat mengeluhkan gejala nyeri, gatal, atau rasa ditarik akibat jaringan parut.[1,2] Tak kalah penting, parut juga dapat menimbulkan gangguan kosmetik dan fungsi bagi pasien, baik secara fisik maupun psikologis. Dibandingkan etnis Kaukasia, kulit orang Asia (termasuk Indonesia) dilaporkan lebih memiliki kecenderungan hiperpigmentasi dan mengalami pembentukan parut setelah terjadi luka.[3]

Berbagai jenis luka terhadap kulit dapat menimbulkan parut, misalnya luka bakar dan luka akibat tindakan operatif.

Upaya Menghasilkan Parut Luka yang Optimal-min

Sekilas Mengenai Proses Penyembuhan Luka

Parut (scar) yang ideal adalah parut yang hampir tidak terdeteksi, sejajar dengan kulit sekitar, dan berwarna sama dengan kulit sekitarnya. Pemahaman terkait proses penyembuhan luka dan pembentukan parut akan membantu klinisi dalam merawat luka dan mencegah terbentuknya parut.[4,5]

Fase Peradangan

Fase pertama dari penyembuhan luka sering disebut fase inflamatori atau peradangan. Fase ini terjadi dalam 3-5 hari pertama penyembuhan luka. Dalam detik hingga menit pertama setelah terjadinya luka, tubuh akan melakukan respon dengan vasokonstriksi dan pengaktifan kaskade koagulasi. Hal ini akan menyebabkan agregasi platelet dan pembentukan fibrin-platelet plug. Setelahnya, akan terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan edema lokal dan influks mediator inflamasi.[4,5]

Fase Proliferatif

Fase kedua, atau fase proliferatif, terjadi selama 5-15 hari. Fase ini ditandai dengan reepitelisasi, angiogenesis, migrasi fibroblast, dan deposisi kolagen.

Reepitelisasi terjadi melalui proliferasi dan migrasi sel epitel dari tepi luka ke tengah luka dengan kecepatan kurang lebih 0,5-1 mm/hari hingga seluruh luka tertutup sel epitel protektif. Pada fase proliferatif ini, sebagian fibroblast pada luka akan mensekresikan kolagen tipe III yang disorganized, dan sisanya akan berdiferensiasi menjadi myofibroblast yang menyebabkan kontraksi luka. Secara bersamaan, pembuluh darah baru terbentuk. Semua proses ini menyebabkan tampaknya jaringan granulasi yang berwarna kemerahan.[4,5]

Fase Remodeling

Fase ketiga atau fase remodeling dapat memakan waktu hingga 1 tahun. Pada fase ini, terjadi ikatan silang kolagen dan penggantian kolagen tipe III yang disorganized menjadi kolagen tipe I yang terorganisir. Remodeling akan mengembalikan komposisi dermal normal dan memberikan tensile strength pada luka seiring berjalannya waktu.[4,5]

Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dapat menurunkan respon peradangan dan memperlambat reepitelisasi luka. Penggunaan obat, misalnya kortikosteroid, dapat menekan respon radang, memperlambat reepitelisasi, mengganggu kontraksi luka, dan meningkatkan risiko infeksi sekunder. Selain itu, toksin seperti nikotin, karbon monoksida, dan hidrogen sianida yang ada pada rokok, juga akan memperlambat dan mengganggu penyembuhan luka.[4]

Faktor Risiko Terbentuknya Parut

Langkah-langkah optimalisasi harus dilakukan pada setiap pasien dengan luka, terutama bila pasien memiliki faktor risiko terbentuknya parut. Faktor risiko tersebut antara lain :

  • Jenis kelamin perempuan
  • Usia muda
  • Luka dermal dalam atau luka mengenai seluruh ketebalan kulit
  • Area permukaan luka yang luas akibat luka bakar atau trauma
  • Tegangan pada area luka
  • Waktu penyembuhan panjang (>3 minggu)
  • Luka bakar kimia
  • Adanya infeksi atau ulserasi berulang
  • Prosedur bedah multipel
  • Mashed skin graft
  • Riwayat terapi sebelumnya yang tidak tepat

Pasien dianggap berisiko tinggi bila:

  • Memiliki riwayat parut hipertrofik atau keloid
  • Menjalani prosedur pada area risiko tinggi seperti payudara dan toraks
  • Memiliki riwayat keluarga dengan parut patologis
  • Memiliki pigmentasi kulit yang lebih gelap
  • Luka yang berlawanan dengan relaxed skin tension line[3,6]

Teknik untuk Optimalisasi Terbentuknya Parut

Pada luka yang disengaja (misalnya luka operasi) atau luka trauma yang dijahit, beberapa upaya dapat dilakukan selama melakukan tindakan agar parut yang dihasilkan optimal. Teknik yang adekuat dapat mengurangi lebar parut dan insidensi timbulnya parut hipertrofik.[1]

Teknik yang tepat akan meminimalisir kerusakan jaringan, risiko infeksi, dan durasi penyembuhan luka, sehingga memungkinkan pembentukan parut yang optimal. Hal ini juga termasuk penerapan prinsip steril, pemilihan teknik non atau minimal invasif, debridement jaringan mati, memastikan hemostasis yang adekuat, menghindari adanya benda asing, dan menghindari adanya dead space. Hal lain yang dapat dilakukan untuk optimalisasi parut akan dijabarkan di bawah ini.[2,3]

Reduksi Tegangan Penjahitan

Studi menunjukkan bahwa luka insisi yang ditutup dalam tegangan yang lebih besar menghasilkan parut yang lebih lebar. Tegangan tepi luka menyebabkan inflamasi berkepanjangan melalui proses mekanotransduksi sehingga menyebabkan kompensasi berupa produksi kolagen yang berlebihan, yang berujung pada pembentukan parut hipertrofik.

Untuk meminimalisir  tegangan tepi luka saat penutupan luka, dapat dilakukan undermining jaringan sekitar luka sejauh diperlukan dan menerapkan tegangan penjahitan pada fasica di bawah kulit.[1,2]

Eversi Tepi Luka

Penutupan luka secara datar cenderung menyebabkan parut yang terdepresi. Sementara itu, eversi tepi luka lebih mungkin menghasilkan parut yang halus dan datar. Depresi parut cenderung menangkap cahaya sehingga akan menyebabkan parut lebih kentara dan mengganggu secara estetika.

Untuk mencapai eversi tepi luka, dapat digunakan jahitan dermal dalam. Jahitan dermal dalam akan mengurangi tegangan pada epidermis dan menimbulkan eversi tepi kulit. Untuk reaproksimasi epidermis, sebagian dokter bedah menempatkan lapisan jahitan kedua yang lebih superfisial secara kontinu (jahitan subkutikuler). Jahitan lapisan subkutikuler ini dapat digantikan dengan adhesive jaringan dengan hasil kosmetik serupa dan waktu operasi yang lebih singkat.[1]

Optimalisasi Penyembuhan Luka

Upaya perawatan luka dilakukan dengan mencegah dan mengontrol infeksi, menciptakan kondisi penyembuhan luka yang ideal, dan menutup luka secepat mungkin. Langkah-langkah tersebut adalah poin penting dalam optimalisasi penyembuhan luka dan meminimalisir risiko timbulnya parut patologis akibat proses penyembuhan yang berkepanjangan.[3] Durasi epitelialisasi yang melebihi 10-14 hari akan meningkatkan risiko pembentukan parut hipertrofik.[2]

Perawatan Luka Pascaoperasi

Perawatan luka pascaoperasi atau penyembuhan dilakukan sampai dengan fase maturasi parut selesai, yaitu minimal 6 bulan. Berikut adalah metode-metode perawatan parut agar menghasilkan hasil yang optimal dan mencegah timbulnya parut patologis. Metode perawatan disesuaikan secara individual berdasarkan faktor risiko pasien, lokasi luka, pertimbangan biaya, dan tingkat pendidikan pasien.[3]

Silikon :

Silikon medis yang paling sering digunakan adalah polydimethylsiloxane yang tersedia dalam bentuk lembaran (sheet) dan gel. Silikon disarankan untuk digunakan mulai minggu kedua setelah operasi kemudian dilanjutkan selama minimal 2-3 bulan.[1,2] Terapi silikon diaplikasikan 12-24 jam sehari.[6]

Mekanisme kerja silikon adalah inihibisi aktivitas fibroblas akibat efek hidrasi dan oklusi parut, aktivasi kolagenase melalui peningkatan suhu, serta polarisasi jaringan parut dengan muatan statik negatif yang dimiliki silikon. Seperti sediaan topikal lain, silikon juga membantu menjaga kelembaban lingkungan luka, sehingga membantu mempercepat epitelialisasi dan mengurangi gejala nyeri dan gatal.[1,6]

Manfaat lain silikon sediaan sheet adalah stabilisasi mekanik pasif pada parut untuk menghindari peregangan luka dan proses mekanotransduksi. Dalam hal ini, silikon lebih unggul daripada tape karena menghindari avulsi epidermis berulang.[2]

Berbagai studi telah menunjukkan efikasi dressing oklusif, termasuk silikon, dalam pencegahan maupun penatalaksanaan parut patologis. Sediaan lembaran maupun gel memiliki manfaat yang sama, tetapi gel lebih sering dipilih karena kemudahan penggunaannya.[1] Gel juga lebih direkomendasikan untuk area dengan mobilitas tinggi, area luas, wajah, dan iklim yang lembab.[3,6] Penggunaan silikon topikal dilaporkan menghasilkan perbaikan kualitas parut yang lebih besar bila digunakan bersamaan dengan dressing oklusif.[6]

Sunscreen :

Bukti menyangkut efek radiasi ultraviolet dari matahari terhadap penampilan jaringan parut tidak banyak tersedia. Meskipun demikian, terdapat studi yang melaporkan bahwa paparan terhadap sinar matahari pascaoperasi memperparah penampilan klinis parut. Karena itu, disarankan untuk melindungi parut dari sinar matahari dengan menggunakan sunscreen selama periode penyembuhan.[3,6]

Microporous Paper Tape Hipoalergenik :

Microporous paper tape bersifat semioklusif. Mekanisme kerja tape adalah reduksi tegangan tepi luka dengan menopang parut. Bila tegangan tepi luka melebihi ikatan kolagen sebelum parut mencapai kekuatan maksimal, akan terjadi pemanjangan fase inflamasi, peningkatan aktivitas fibroblast, dan peningkatan deposisi kolagen, yang semuanya akan berujung pada parut hipertrofik.

Mekanisme lain adalah mendorong penyembuhan tanpa pertumbuhan bakteri dan mengurangi dehidrasi dengan menggantikan fungsi stratum korneum. Jaringan yang terhidrasi akan menekan produksi fibroblas, kolagen, dan glikosaminoglikan. Stabilisasi mekanik pasif dengan tape terbukti bermanfaat sebagai metode yang terjangkau dan efektif dalam mengurangi volume parut dan insidensi parut hipertrofik pada uji klinis acak terkontrol pada pasien wanita yang menjalani operasi sectio caesarea.[6]

Pressure Garment :

Pressure garment dilaporkan efektif dalam mengurangi ketebalan parut hipertrofik. Pressure garment juga dilaporkan mengurangi insidensi rekurensi keloid dan parut hipertrofik pascaeksisi. Mekanisme kerja pressure garment diduga melalui apoptosis fibroblast yang dicetuskan oleh kondisi hipoksia akibat oklusi pembuluh darah. Pressure garment juga berfungsi mengurangi edema. Tekanan yang diberikan adalah 15-40 mmHg. Garment dikenakan minimal 23 jam per hari selama minimal 6 bulan.[1,2]

Ekstrak Bawang :

Komposisi utama dalam gel berbasis bawang yang biasa digunakan adalah quercetin yang diekstraksi dari Allium cepa. Ekstrak bawang biasanya digunakan dalam bentuk salep sebanyak 3 kali per hari, dimulai 1 minggu pascaoperasi. Ekstrak dapat digunakan hingga 12 minggu.

Mekanisme kerja ekstrak bawang belum diketahui dengan jelas. Ekstrak bawang diduga mampu menginhibisi proliferasi fibroblast, menginhibisi histamin, dan meregulasi ekspresi matrix metalloproteinase-1 (MMP-1).

Beberapa uji klinis acak menunjukan hasil berbeda-beda terkait efikasi ekstrak bawang dalam manajemen parut. Karena itu, masih diperlukan studi lebih lanjut terkait modalitas terapi ini.[1]

Laser :

Dari semua jenis laser, pulsed-dye laser (PDL) dilaporkan memiliki efikasi tertinggi dalam mencegah dan menangani parut hipertrofik. PDL 585-nm dan 595-nm terutama bekerja pada oksihemoglobin. PDL merusak mikrovaskularisasi, sehingga menyebabkan hipoksia parut, penurunan proliferasi fibroblast dan pembentukan kolagen baru, peningkatan konsentrasi kolagenase, penurunan TGF-β1 (transforming growth faktor), dan penyusunan ulang serabut kolagen akibat panas. Kondisi hipoksia meningkatkan VEGF (vascular endothelial growth factor) dan TGF-β3, di mana keduanya mengurangi aktivitas fibroblas.

Laser CO2 dan Er:YAG (erbium: yttrium-aluminum-garnet) bekerja dengan mengablasi jaringan superfisial setiap melewati kulit. Energi panas yang dihasilkan juga menimbulkan remodeling kolagen. Seperti PDL, jenis laser ini lebih efektif untuk parut yang sudah terbentuk. Karena penetrasinya lebih dalam, laser CO2 terutama digunakan untuk tata laksana kontur parut yang ireguler.[1]

Injeksi Obat :

Injeksi obat yang menghambat proliferasi sel yaitu kortikosteroid, 5-florourasil, dan bleomisin dilaporkan efektif sebagai terapi terhadap parut hipertrofik yang sudah terbentuk. Perlu diingat bahwa metode ini tidak dapat digunakan untuk profilaksis.[1]

Fat Grafting :

Sebuah studi menunjukkan bahwa injeksi lipoaspirat atau adipose-derived stem cell ke luka pada hewan coba babi mengurangi insidensi parut hipertrofik. Meskipun demikian, studi mengenai pencegahan parut dengan fat graft belum banyak ditemukan. Fat grafting diduga lebih efektif memperbaiki kualitas parut pada ektropion, parut pasca jerawat, dan parut operasi teradiasi.[1]

Kesimpulan

Seluruh luka pada kulit, termasuk luka akibat tindakan medis (misalnya operasi atau penjahitan luka), dapat menyebabkan terbentuknya parut. Parut yang tidak optimal dapat mengganggu pasien baik secara fungsi maupun secara psikologis.

Penyakit yang menghambat penyembuhan luka (misalnya diabetes mellitus), penggunaan obat-obatan, dan merokok dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka. Selain itu, berbagai faktor dapat meningkatkan risiko terbentuknya parut, misalnya usia muda, jenis kelamin perempuan, penyembuhan yang panjang, adanya infeksi berulang, riwayat keloid atau parut hipertrofik sebelumnya atau pada keluarga, dan pigmentasi kulit yang lebih gelap.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk optimalisasi pembentukan parut, misalnya reduksi tegangan penjahitan luka, eversi tepi luka, pencegahan dan kontrol infeksi, serta perawatan luka pascaoperasi.

Referensi