Tokolitik kerap digunakan pada pasien yang terancam mengalami persalinan preterm meskipun banyak ahli meragukan manfaatnya terhadap luaran ibu dan janin. Persalinan preterm terjadi ketika kontraksi berlangsung terus menerus pada wanita dengan usia kehamilan 20-37 minggu, di mana kontraksi yang terjadi ≥4 kontraksi dalam 20 menit.
Bayi yang lahir prematur berisiko tinggi mengalami komplikasi pernapasan, kesulitan makan, dan pengaturan suhu tubuh. Komplikasi jangka panjang meliputi disabilitas yang berkaitan dengan fungsi otak, seperti cerebral palsy, serta komplikasi paru dan pencernaan.
Tokolisis merupakan prosedur obstetri yang bertujuan untuk mencegah proses persalinan pada wanita yang mengalami kontraksi prematur. Tokolisis tidak bertujuan untuk meningkatkan gestasi fetus hingga aterm, namun diharapkan dapat memperpanjang usia gestasi, memberikan waktu yang cukup untuk merujuk ke fasilitas lebih tinggi maupun memberikan obat-obatan untuk pematangan paru.[1-3]
Cara Kerja Agen Tokolitik dan Keterbatasan Penggunaannya
Agen tokolitik bekerja dengan menginduksi relaksasi otot polos sehingga dapat memperlambat atau menghentikan proses kontraksi pada pasien yang terancam mengalami persalinan preterm. Terdapat beberapa pilihan obat tokolitik di antaranya betamimetik, COX-inhibitor, calcium channel blockers, magnesium sulfat, dan antagonis reseptor oksitosin.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa agen tersebut dapat memperpanjang usia kehamilan selama 2 hingga 7 hari, dan beberapa agen dapat memperbaiki prognosis. Namun, efek penggunaan tokolitik pada kematian neonatal dan perinatal, serta luaran keamanan seperti infeksi ibu dan neonatal masih "tidak pasti". Obat-obat tokolitik juga telah dikaitkan dengan beberapa efek samping yang signifikan, termasuk perdarahan postpartum.[1-2]
Betamimetik
Betamimetik mengaktivasi reseptor beta-2, meningkatkan cAMP, dan menimbulkan relaksasi otot polos. Obat yang paling sering digunakan adalah terbutaline dan obat beta agonis lain seperti salbutamol. Beberapa studi telah melaporkan bahwa betamimetik efektif dalam menunda persalinan preterm, tetapi efek samping betamimetik sangat luas karena aktivitas beta-adrenergik bertanggung jawab atas berbagai fungsi homeostatis.
Aktivitas terbutaline pada reseptor beta-1 yang terletak pada otot jantung berisiko menimbulkan komplikasi pada jantung, termasuk aritmia yang fatal. Stimulasi dari reseptor beta-adrenergik juga meningkatkan jalur simpatis dan dapat menyebabkan efek samping seperti dispnea, palpitasi, mual, muntah, nyeri kepala, dan takikardia.
Betamimetik juga dapat melintasi plasenta, sehingga menginduksi takikardia janin, hipoglikemia, dan hiperinsulinisme. Beberapa studi menyebutkan bahwa betamimetik juga dapat meningkatkan risiko terjadinya asma pada masa kanak-kanak dan meningkatkan risiko autisme. Betamimetik juga belum terbukti mengurangi kematian perinatal atau komplikasi prematuritas neonatal dibandingkan dengan plasebo.[2-4]
Calcium Channel Blocker
Calcium channel blockers (CCB) menghambat masuknya ion kalsium ke dalam otot polos uterus. Mekanisme ini menyebabkan gangguan aktivasi calcium-calmodulin pada myosin light chain kinase. Obat yang paling sering digunakan adalah nifedipin.
Beberapa studi mengindikasikan bahwa CCB efektif dalam menunda persalinan preterm, dan memperpanjang kehamilan rata-rata selama 5 hari. Selain itu, CCB dapat mengurangi risiko gangguan perkembangan saraf, sistem pernapasan, dan berkaitan dengan berat badan lahir rendah yang lebih sedikit. Potensi efek samping maternal dari CCB mencakup nyeri kepala, mual, dan hipotensi.[2,3,5]
Antagonis Reseptor Oksitosin
Antagonis reseptor oksitosin, seperti atosiban dan retosiban, bekerja secara kompetitif menghambat reseptor oksitosin. Beberapa studi menunjukkan bahwa golongan obat ini efektif dalam menunda persalinan preterm.
Atosiban dikaitkan dengan efek samping maternal yang lebih sedikit dibandingkan agen tokolitik lain, seperti betamimetik dan CCB. Efek samping maternal jarang terjadi dan termasuk mual, muntah, nyeri kepala, nyeri dada, dan hipotensi.
Atosiban melintasi plasenta, tetapi belum ada bukti akumulasi pada janin. Meski begitu, atosiban belum terbukti mengurangi kejadian sindrom gangguan pernapasan pada bayi prematur jika dibandingkan dengan plasebo.[2-4]
Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat memiliki mekanisme kerja yang belum jelas, namun diduga terkait penghambatan masuknya kalsium ke dalam otot polos uterus. Magnesium sulfat digunakan umumnya sebagai neuroproteksi. Beberapa studi menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak efektif dalam memperpanjang usia kehamilan, tetapi sebuah meta analisis (2022) menyimpulkan bahwa magnesium sulfat mungkin efektif dalam menunda persalinan preterm hingga 48 jam.
Risiko efek samping penggunaan obat ini mencakup flushing, mual, penurunan refleks tendon, penglihatan kabur, dan penurunan kontraktilitas kardiak. Efek samping yang umum ditemukan pada neonatus antara lain letargi, gangguan menyusu, dan penundaan waktu pematangan paru.
Magnesium sulfat dapat melintasi plasenta dan pemberian berkepanjangan dapat menyebabkan hipermagnesemia pada janin, meningkatkan risiko hipokalsemia dan osteopenia. Magnesium sulfat dosis tinggi juga berkontribusi pada peningkatan risiko kematian janin dan neonatal.[2-4]
COX-Inhibitor
COX-inhibitor bekerja dengan menghambat reseptor siklooksigenase, enzim yang berperan dalam produksi prostaglandin. Obat yang paling sering digunakan adalah indomethacin. Terdapat studi yang menunjukkan bahwa golongan obat ini efektif menunda kelahiran prematur selama 48 jam. Meski begitu, penurunan prostaglandin berkaitan dengan efek vasokonstriksi pada arteri renal dan meningkatkan efek samping terjadinya ulkus gastrointestinal, terutama pada penggunaan jangka panjang.
Obat ini dikontraindikasikan pada wanita dengan riwayat gangguan perdarahan, gastritis, hipersensitivitas terhadap aspirin, dan gangguan liver. Indomethacin juga dikontraindikasikan pada usia kehamilan di atas 32 minggu akibat risiko penutupan dini duktus arteriosus.
Efek pada janin antara lain oligohidroamnion, perforasi lambung, dan hipertensi pulmonal. Tingkat keamanan pada janin dan pembatasan usia kehamilan merupakan alasan utama obat ini jarang digunakan dan hanya menjadi terapi lini kedua.[2-5]
Nitrit Oksida
Nitrit oksida dapat menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah ke rahim, menghambat kontraksi rahim yang dapat menyebabkan persalinan preterm. Beberapa studi menunjukkan bahwa nitrit oksida efektif dalam menunda persalinan preterm selama 48 jam dan 7 hari. Meski begitu, potensi efek samping mencakup nyeri kepala pada ibu dan peningkatan berat badan janin.[2]
Basis Bukti Efikasi Tokolitik untuk Mencegah Persalinan Preterm
Tinjauan Cochrane (2022) mengevaluasi 122 uji klinis acak dengan total 13,697 wanita. Sebagian besar uji klinis yang diikutkan melibatkan wanita dengan ancaman persalinan preterm, kehamilan tunggal, dan usia kehamilan 24-34 minggu.
Hasil utama dari analisis jaringan menunjukkan bahwa semua tokolitik efektif dalam menunda persalinan preterm dibandingkan dengan plasebo atau tanpa pengobatan. Nitrit oksida menduduki peringkat tertinggi untuk menunda persalinan preterm selama 48 jam dan 7 hari, diikuti oleh calcium channel blockers, antagonis reseptor oksitosin, dan kombinasi tokolitik.
Meski begitu, perlu dicatat bahwa tokolitik berpotensi menyebabkan berbagai efek samping, dari ringan hingga fatal. Pasien yang mendapat betamimetik dan kombinasi tokolitik lebih cenderung menghentikan terapi karena efek yang tidak diinginkan. Hal lain yang tidak kalah penting, dalam studi ini tampak bahwa dampak tokolitik terhadap luaran neonatal, seperti kematian neonatal dan perinatal, masih belum diketahui secara pasti.[2]
Perhatian Khusus dalam Penggunaan Tokolitik untuk Mencegah Persalinan Preterm
CCB dan antagonis reseptor oksitosin merupakan terapi lini pertama yang direkomendasikan di Eropa dan banyak negara lain, termasuk di Indonesia. Meski begitu, di Amerika Serikat, FDA belum menyetujui penggunaan antagonis reseptor oksitosin atosiban terkait kemungkinan adanya hubungan antara atosiban dengan kematian pada bayi prematur, serta bukti luaran neonatal yang lebih baik dibandingkan plasebo maupun tokolitik lain masih belum kuat.[4,5]
Selama ini, terapi kombinasi yang melibatkan beberapa jenis obat tokolitik dengan mekanisme kerja yang berbeda dianggap dapat meningkatkan efikasi keseluruhan, serta dapat mengurangi kebutuhan dosis, frekuensi pemberian, dan potensi efek samping. Meski begitu, beberapa studi menunjukkan tidak ada keuntungan yang jelas dari penggunaan terapi kombinasi dibandingkan dengan pemberian terapi individual.[2]
Kesimpulan
Tujuan pemberian tokolitik adalah memberikan penundaan singkat agar pasien dapat dirujuk ke fasilitas perawatan lebih tinggi ataupun untuk memberikan waktu bagi pemberian terapi dalam rangka mengurangi morbiditas neonatal. Tinjauan Cochrane menunjukkan bahwa seluruh tokolitik yang tersedia efektif dalam menunda persalinan preterm, tetapi kesemuanya juga dikaitkan dengan berbagai efek tidak diinginkan. Penggunaan betamimetik dan terapi kombinasi merupakan yang paling banyak dikaitkan dengan penghentian terapi akibat efek samping.
Dalam memilih tokolitik yang digunakan untuk mencegah persalinan preterm, dokter perlu menimbang rasio manfaat dan risiko bagi ibu dan janin, serta profil klinis masing-masing pasien. Beberapa obat tokolitik memiliki kontraindikasi yang perlu diwaspadai dan risiko efek samping yang mungkin tidak cocok diberikan pada beberapa pasien tertentu. Sebagai contoh, indomethacin tidak boleh diberikan pada usia kehamilan di atas 32 minggu karena risiko penutupan dini duktus arteriosus.