Pengaruh Jangka Panjang Kortikosteroid Antenatal terhadap Kesehatan Bayi

Oleh :
dr.Lina Ninditya,Sp.A

Penggunaan kortikosteroid antenatal diduga berdampak terhadap kesehatan bayi secara jangka panjang. Kortikosteroid antenatal merupakan prosedur untuk mempercepat pematangan paru pada kondisi fetus akan dilahirkan pada usia gestasi di bawah 34 minggu.

Beberapa bukti klinis menunjukkan kortikosteroid antenatal juga dapat menurunkan morbiditas neonatus setelah usia gestasi 34 minggu. Oleh sebab itu, pada tahun 2016 Committee on Obstetric Practice merekomendasikan penggunaan kortikosteroid antenatal pada usia gestasi  34–36 minggu 6 hari yang berisiko mengalami partus. Rekomendasi ini membuat semakin banyak pasien yang menerima kortikosteroid antenatal.

Pengaruh Jangka Panjang Kortikosteroid Antenatal terhadap Kesehatan Bayi-min

Bayi yang lahir pada usia gestasi di bawah 34 minggu memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami distress pernapasan, perdarahan intraventrikular, necrotizing enterocolitis, sepsis, dan kematian. Keuntungan dari pemberian kortikosteroid antenatal memang sudah terbukti, tetapi efek samping jangka panjang dari pemberian kortikosteroid antenatal masih memerlukan studi lebih lanjut.[1–3]

Efek Samping Pemberian Kortikosteroid Antenatal

Sesuai rekomendasi, indikasi terapi kortikosteroid antenatal, seperti betametason, adalah sebelum persalinan preterm. Hal ini menyebabkan efek negatif jangka panjang dari pemberian kortikosteroid antenatal sering tidak menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan, dan lebih mempertimbangkan keuntungan jangka pendek pada bayi prematur, yaitu untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.[1]

Pada studi klinis yang dilakukan terhadap hewan, pemberian kortikosteroid antenatal berkaitan dengan keterlambatan perkembangan dan pertumbuhan otak, serta menyebabkan perubahan permanen pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.[3,4]

Riwayat pemberian kortikosteroid antenatal berpotensi meningkatkan risiko gangguan pada neurodevelopmental, khususnya neurosensori pada bayi cukup bulan. Efek jangka panjang lain pada pemberian kortikosteroid antenatal pada bayi cukup bulan adalah gangguan kognitif pada usia sekolah, menurunkan proses aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, dan kelainan struktural pada otak antara lain penipisan daerah korteks.[3,5]

Studi yang dilakukan oleh Melamed, et al. pada tahun 2019 meneliti efek pemberian kortikosteroid antenatal pada bayi cukup bulan. Studi ini menyimpulkan bahwa terdapat asosiasi pemberian kortikosteroid antenatal terhadap peningkatan risiko terjadinya gangguan pada neurokognitif dan masalah neurologi.[3]

Bayi yang lahir cukup bulan, tetapi terpapar kortikosteroid sebelum usia 34 minggu lebih banyak yang menjalani audiometri, pemeriksaan visual, dan pemeriksaan untuk mencari kelainan neurokognitif, dibandingkan bayi cukup bulan yang tidak terpapar kortikosteroid antenatal. Hal ini menunjukkan ada peningkatan kecurigaan gangguan neurosensoris dan neurokognitif akibat penggunaan kortikosteroid antenatal, sehingga membutuhkan pemeriksaan klinis lebih lanjut.[3]

Pada tahun 2020, studi kohort retrospektif dilakukan Raikonnen, et al. terhadap 674.877 bayi cukup bulan dan bayi prematur. Hasil studi menunjukkan risiko gangguan mental dan perilaku lebih tinggi pada bayi cukup bulan yang terpapar kortikosteroid antenatal, yaitu 12,01%, dibandingkan bayi yang tidak terpapar, yaitu 6,45%.[1]

Hasil serupa juga ditemukan pada bayi prematur, dengan persentase 14,59% pada bayi yang terpapar kortikosteroid antenatal, dan 10,71% pada bayi yang tidak terpapar. Gangguan mental dan perilaku pada studi ini, di antaranya attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD), gangguan emosi, gangguan tic, dan gangguan tidur.[1]

Studi ini menyimpulkan bahwa terdapat asosiasi bermakna antara penggunaan kortikosteroid antenatal terhadap perubahan mental dan perilaku anak, baik pada bayi cukup bulan atau pada bayi prematur.[1]

Bukti Klinis Keamanan Pemberian Kortikosteroid Antenatal

Sebuah randomized controlled trial (RCT) oleh Cartwright, et al. pada tahun 2019 menilai pengaruh pemberian betametason antenatal berulang dibandingkan plasebo terhadap fungsi neurokognitif pasien di kemudian hari. Follow-up dilakukan hingga subjek berusia 6–8 tahun.[6]

Hasil RCT mendapatkan paparan berulang terhadap betametason antenatal tidak berhubungan dengan efek samping fungsi neurokognitif pada usia 6–8 tahun. Hasil serupa juga didapatkan pada kelompok dengan riwayat pertumbuhan janin terhambat. Studi ini menyatakan dokter dapat menggunakan kortikosteroid antenatal, bahkan dengan dosis berulang, jika sesuai indikasi.[6]

Hutcheon, et al. melakukan studi dengan desain quasi-experimental pada tahun 2022 pada 16.359 anak. Studi bertujuan untuk mengetahui apakah anak yang terpapar kortikosteroid antenatal pada gestasi late-preterm, yaitu minggu 34–36 minggu, berisiko lebih tinggi untuk menerima pengobatan ADHD.[7]

Studi ini  tidak menemukan adanya probabilitas yang lebih tinggi bermakna pada kelompok yang menerima kortikosteroid antenatal untuk menerima pengobatan ADHD pada masa kanak-kanak. Berdasarkan temuan tersebut, studi ini menyatakan kortikosteroid antenatal cukup aman digunakan terhadap luaran perkembangan neurologis.[7]

Kesimpulan

Penggunaan kortikosteroid antenatal terbukti menurunkan mortalitas dan morbiditas pada kelahiran preterm, terutama pada usia gestasi di bawah 34 minggu. Namun, muncul berbagai bukti klinis yang menunjukkan adanya potensi efek samping yang terjadi dalam jangka panjang.

Beberapa efek samping yang banyak diteliti, antara lain gangguan perkembangan neurologis dan gangguan mental. Hingga saat ini, bukti klinis mengenai pengaruh jangka panjang kortikosteroid antenatal masih kontroversial. Dibutuhkan penelitian berkualitas baik dengan jumlah subjek yang besar untuk mencari tahu lebih lanjut lagi.

Keputusan penggunaan kortikosteroid antenatal perlu diambil secara berhati-hati, dan hanya diberikan jika sesuai indikasi. Penjelasan mengenai potensi efek samping jangka panjang juga sebaiknya diberikan pada pasien yang akan menerima kortikosteroid antenatal.

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi