Tata Laksana Nutrisi pada Sarcopenia Usia Lanjut

Oleh :
dr.Kurnia Agustina Sitompul, M.Gizi, Sp.GK

Tata laksana nutrisi merupakan salah satu intervensi utama dalam manajemen sarcopenia pada pasien usia lanjut. Untuk menjaga massa dan fungsi otot lansia, European Society for Clinical Nutrition and Metabolism telah mengeluarkan rekomendasi nutrisi yang sebaiknya diberikan.

Walaupun dengan tingkat bukti yang berbeda, anjuran tersebut didukung oleh International Conference on Sarcopenia and Frailty Research (ICSFR), konsensus Asian Working Group for Sarcopenia (AWGS), serta Society of Rehabilitation Medicine Singapore (SRMS) dan Singapore Nutrition and Dietetics Association (SNDA).[1,5–7]

Tata Laksana Nutrisi pada Sarcopenia Usia Lanjut-min

Sarcopenia dan Peran Nutrisi

Proses penuaan sering dihubungkan dengan penurunan massa otot secara bertahap,  diikuti menurunnya kekuatan dan fungsi otot, yang dikenal dengan sarcopenia. Pada lansia, keadaan yang dikenal sebagai sarcopenia tersebut dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis. Secara patologis, sarcopenia dikaitkan dengan penyakit kronik yang banyak diderita kelompok lansia, misalnya stroke yang mengganggu mobilitas pasien.

Berbagai studi menyatakan bahwa intervensi nutrisi membantu pencegahan dan penanganan sarcopenia. Nutrisi adekuat diikuti dengan aktivitas fisik teratur dapat mencegah penurunan massa otot, menjaga kekuatan otot, dan mempertahankan fungsinya.[1–4]

Intervensi Nutrisi: Kebutuhan Makronutrien

Kecukupan energi sangat diutamakan pada lansia, dan makronutrien utama yang dianjurkan dalam tata laksana sarcopenia adalah protein. Terdapat banyak alasan mengapa lansia membutuhkan asupan protein lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa muda, seperti rendahnya selera makan, perubahan fisiologis tubuh lansia, kondisi medis yang memicu anoreksia, gangguan fisik serta mental yang mencetuskan keterbatasan penyediaan dan persiapan makanan, serta permasalahan sosial lainnya.

Secara fisiologis, lansia juga mengalami resistensi anabolik, yaitu sebuah fenomena di mana tubuh lansia mengalami resistensi terhadap efek positif asupan protein. Sedangkan secara patologis, kelompok lansia membutuhkan protein yang lebih tinggi untuk mengimbangi peningkatan laju metabolisme akibat kondisi inflamasi seperti gagal jantung, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis.[1,2]

Rekomendasi Makronutrien untuk Sarcopenia

Kelompok lansia berusia >65 tahun direkomendasikan untuk memenuhi total protein harian setidaknya 1,0–1,2 g/kgBB/hari, bahkan mencapai 1,5–2,0 g/kgBB/hari untuk lansia dengan kondisi khusus.[1,2,4,7,13,14]

Menurut European Society for Clinical Nutrition and Metabolism, asupan protein 1,2–1,5 g/kgBB/hari direkomendasikan pada individu dengan penyakit akut atau kronik. Kebutuhan yang lebih tinggi diperbolehkan pada kondisi malnutrisi, trauma, atau penyakit berat. Intervensi diet tersebut direkomendasikan karena dianggap memberikan keuntungan lebih dalam menjaga kekuatan dan fungsi otot.[1,2,4,7,14]

Pemberian asam amino rantai cabang (BCAA), terutama leusin, juga direkomendasikan pada lansia. Beta-hydroxy beta-methyl butyrate (b-HMB), metabolit aktif dari leusin, dinyatakan mampu meningkatkan massa dan kekuatan otot lansia serta populasi khusus seperti atlet, pasien dengan HIV dan kanker, serta membantu memperbaiki penurunan massa otot pasien sakit kritis yang dirawat di intensive care unit.[1,2,8,9,14]

Suatu studi meta analisis terhadap 9 uji klinis (randomized controlled trial/RCT) dengan total 448 partisipan menunjukkan bahwa suplementasi HMB signifikan meningkatkan massa otot lansia namun tidak pada massa lemak. Pada studi tersebut, suplementasi HMB diberikan minimal 1,5–3 g/hari dalam durasi bervariasi, yaitu 2–6 bulan.

Mekanisme HMB dalam memperbaiki kualitas otot mencakup dua aspek. HMB dapat menurunkan proteolisis otot manusia dengan menghambat jalur proteolitik proteasome 19S dan 20S pada otot rangka serta menghambat proses apoptosis. Di sisi lain, HMB dapat memicu fosforilasi the mammalian target of rapamycin (mTOR)/jalur p70S6K, jalur yang terlibat dalam proses inisiasi dan translasi sintesis protein otot.[9]

Selain itu, HMB dimetabolisme untuk menghasilkan beta methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA), yang akan menghasilkan asam mevalonik yang selanjutnya akan membentuk kolesterol untuk stabilisasi membran sel otot. HMB juga dapat mengurangi proses apoptosis lewat mitogen-activated protein kinase (MAPK), sehingga meningkatkan kemampuan sel otot untuk proliferasi dan diferensiasi.[9]

Intervensi Nutrisi: Kebutuhan Mikronutrien

Vitamin D menjadi salah satu vitamin penting dalam pemeliharaan fungsi otot. Kadar serum vitamin D diharapkan mencapai >30 μg/L pada individu dengan sarcopenia untuk mendapatkan luaran optimal. Walaupun pemeriksaan kadar vitamin D pada populasi umum memang tidak rutin dilakukan, pemeriksaan kadar vitamin D 25 (OH) direkomendasikan pada semua pasien sarcopenia.

Pada pasien >65 tahun yang mengalami defisiensi vitamin D, pemberian vitamin D2 atau D3 sebagai terapi tambahan dapat dilakukan, bahkan dosis kolekalsiferol oral 50.000 IU/minggu masih dianggap aman untuk populasi pasien tersebut. Angka kecukupan vitamin D untuk usia >65 tahun di Indonesia adalah 20 μg/hari.[2,7,10,14]

Bukti Ilmiah Manfaat Vitamin D untuk Sarcopenia pada Lansia

Sebuah studi terhadap 56 lansia dilakukan untuk melihat efek pemberian leusin bersamaan dengan vitamin D. Keseluruhan subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok diet dan kelompok suplementasi.

Kedua kelompok diberikan konseling untuk memenuhi protein sesuai rekomendasi yaitu 1,2–1,5 g/kgBB/hari. Kelompok suplemetasi dilakukan intervensi berupa suplemen yang mengandung energi 88 kkal; 12,8 g protein (mengandung konsentrat protein whey); 1,2 g leusin; 7,3 g karbohidrat; 0,8 g lemak; dan 120 IU vitamin D. Suplemen ini akan diseduh dalam 200 ml air dan diminum sebelum makan.

Setelah 4 dan 12 minggu, ditemukan peningkatan bermakna pada appendicular muscle mass index. Setelah dilakukan pengelompokan berdasarkan usia, perbaikan gait speed yang bermakna ditemukan pada kelompok usia 65–74 tahun, tetapi tidak pada kelompok usia ≥75 tahun. Kelemahan studi ini adalah tidak mencantumkan kadar vitamin D subjek pada awal studi serta asupan vitamin D dari makanan sehari-hari.[11]

Kebutuhan Vitamin dan Mineral Lain pada Sarcopenia Lansia

Stres oksidatif merupakan salah satu faktor yang terlibat dalam patomekanisme sarcopenia. Reactive oxygen species (ROS) secara langsung akan memicu atrofi dan hilangnya fungsi otot, serta meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interleukin-6 (IL-6), dan interleukin-1 (IL-1). Dengan demikian, kecukupan antioksidan seperti vitamin C, disarankan untuk menghambat ROS pada kelompok berisiko sarcopenia.

Selain vitamin C, terdapat beberapa mineral penting yang turut berperan dalam mencegah kerusakan sel otot akibat ROS dan turut serta dalam sintesis protein. Mineral tersebut adalah kalsium, selenium, magnesium, zinc, fosfor, zat besi, dan piridoksin atau vitamin B6.[8,10,14]

Tabel 1. Angka Kecukupan Vitamin dan Mineral Untuk Individu Usia di Atas 65 Tahun Di Indonesia

Kelompok umur Vitamin C Vitamin B6 Kalsium Selenium Zinc Besi
Laki-Laki
65 – 80 tahun 90 mg 1,7 mg 1200 mg 29 mcg 11 mg 9 mg
>80 tahun 90 mg 1,7 mg 1200 mg 29 mcg 11 mg 9 mg
Perempuan
65 – 80 tahun 75 mg 1,5 mg 1200 mg 24 mcg 8 mg 8 mg
>80 tahun 75 mg 1,5 mg 1200 mg 24 mcg 8 mg 8 mg

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2019.

Intervensi Nutrisi: Nutrien Spesifik

Asam lemak omega-3 (n-3) telah diketahui memiliki banyak efek biologis yang bermanfaat, salah satunya efek antiinflamasi yang relevan dalam keadaan sarcopenia. Jenis omega-3  yang paling banyak diteliti adalah eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA). Selain itu, terdapat pula kreatin yang dinyatakan dapat meningkatkan efek olahraga pada pasien sarcopenia.[2,8,14]

Sebuah meta analisis oleh Huang et al dilakukan untuk melihat efek pemberian omega-3 pada lansia. Dari 10 RCT dengan total 552 partisipan, ditemukan bahwa omega-3 berhubungan dengan peningkatan massa otot sebesar 0,33 kg pada lansia, terutama pada dosis >2 g/hari omega-3 (EPA dan DHA).

Untuk performa otot sendiri, dinyatakan efek suplementasi akan meningkatkan kecepatan berjalan lansia setelah suplementasi >24 minggu. Namun demikian, studi ini tidak dapat menjabarkan dosis EPA maupun DHA yang memberikan efek, rerata EPA dan DHA yang diberikan pada studi ini masing-masing adalah 0,16–2,6 g/hari dan 0–1,8 g/hari.[12,14]

Kesimpulan

Pada lansia, sarcopenia dapat diatasi dengan pemberian nutrisi adekuat diikuti dengan aktivitas fisik teratur. Rekomendasi asupan protein dalam tata laksana sarcopenia adalah 1,0-1,5 g/kgBB/hari. Protein yang diutamakan adalah yang mengandung asam amino rantai cabang, terutama leusin.

Lansia dengan sarcopenia juga direkomendasikan untuk memeriksakan kadar vitamin D dalam tubuh, sehingga dapat mempertimbangkan pemberian suplementasi vitamin D. Selain itu, lansia perlu memperhatikan kecukupan vitamin dan mineral pendukung seperti vitamin C, vitamin B6, zinc, kalsium, selenium, magnesium, fosfor, dan zat besi. Asupan omega-3 dan kreatin juga dinyatakan memberikan efek positif dalam penatalaksanaan sarcopenia.

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

Referensi