Perbedaan Depresi Peripartum dan Baby Blues Syndrome

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Depresi peripartum dan baby blues syndrome merupakan kondisi yang saling berkaitan tetapi berbeda. Depresi peripartum dulunya disebut sebagai depresi postpartum. Akan tetapi, istilah yang digunakan saat ini adalah depresi peripartum karena diagnosis ini tidak hanya mencakup depresi setelah persalinan tetapi juga depresi sejak kehamilan.

Setidaknya 1 dari 10 ibu mengalami gangguan psikologis postpartum karena periode ini merupakan periode yang melelahkan secara emosional. Kegagalan adaptasi terhadap perubahan hormonal dan perubahan lingkungan yang baru sebagai seorang ibu dapat menimbulkan baby blues syndrome, yang dikenal juga sebagai postpartum blues.[1,2]

Tired,Mother,Suffering,From,Experiencing,Postnatal,Depression.health,Care,Single,Mom

Berbeda dengan depresi peripartum, baby blues syndrome merupakan gangguan yang bersifat ringan dan sementara. Gangguan ini terjadi setelah persalinan pertama selama beberapa minggu. Sementara itu, depresi peripartum merupakan gangguan mood yang bersifat lebih serius dan dapat bertahan hingga beberapa bulan atau 1 tahun jika tidak ditangani dengan tepat.[1,2]

Baby blues syndrome merupakan faktor prediktif terjadinya depresi peripartum. Depresi peripartum meningkatkan risiko bunuh diri pada ibu dan juga risiko pembunuhan anak sendiri (infanticide). Bunuh diri menempati peringkat ke-7 sebagai penyebab kematian terbanyak pada ibu postpartum.[1-3]

Membedakan Diagnosis Baby Blues Syndrome dan Depresi Peripartum

Kedua kondisi ini sama-sama sulit didiagnosis karena belum ada alat ukur abnormalitas aktivitas otak atau alat diagnostik biologi lainnya. Oleh karena itu, diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan observasi tanda dan gejala.[1,2]

Diagnosis depresi peripartum tercantum dalam kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Di antara alat penapisan yang sering digunakan, Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) dikatakan sebagai evaluasi standar untuk ibu dengan kelahiran pertama selama 6 minggu setelah melahirkan.[1]

Baik baby blues syndrome maupun depresi peripartum dapat terdeteksi dalam EPDS, yang merupakan self-rating questionnaire yang berisi 10 butir pilihan ganda dengan skor 0–3. Skor total dapat bervariasi antara 0–30. Pasien dicurigai mengalami depresi peripartum jika skor ≥12. Secara singkat, perbedaan baby blues syndrome dan depresi peripartum dirangkum dalam tabel 1.[1,2,4,5]

Tabel 1. Perbedaan Baby Blues Syndrome dan Depresi Peripartum

Pembeda Baby Blues Syndrome Depresi Peripartum
Prevalensi Sekitar 50–80% ibu dengan kelahiran pertama Sekitar 13–20% selama masa kehamilan atau setelah melahirkan
Diagnosis Dikenali hanya dengan observasi gejala klinis tetapi dapat terdeteksi di EPDS Memenuhi kriteria diagnosis untuk gangguan depresi menurut DSM
Tanda dan gejala

Cemas, menangis, penurunan nafsu makan, kelelahan, kehilangan minat pada aktivitas harian, mood swing, kesedihan, gangguan tidur

 

Tidak disertai hendaya fungsi maternal

Tingkat keparahan gejala dengan intensitas lebih tinggi dan durasi lebih panjang, minimal selama 2 minggu

 

Gejala dirasakan setiap hari dan sepanjang hari, disertai hendaya fungsi maternal

 

Dapat meningkatkan risiko bunuh diri, infanticide, ataupun psikosis

Awitan Gejala muncul sejak hari pertama setelah melahirkan dan menghilang sendiri maksimal dalam 1–2 minggu

Gejala dapat dialami sejak masa kehamilan atau dalam 2 minggu pertama postpartum

 

Rentang tertinggi awitan terjadi dalam 4 bulan pertama setelah kelahiran, dengan rentang awitan terpanjang selama kehamilan hingga 1 tahun setelah kelahiran

Faktor risiko Kelahiran pertama dan pemahaman yang salah bahwa dirinya belum siap menjadi ibu yang baik Riwayat depresi, perbedaan usia kehamilan dari kebiasaan umum (usia remaja atau usia>35 tahun), komplikasi kehamilan, diabetes, kelahiran preterm, orang tua tunggal, multipartus, riwayat depresi pada keluarga, korban kekerasan
Terapi Pemberian dukungan emosional dan reassurance, terutama dari pasangan atau kerabat terdekat

Terapi multimodal berupa psikoedukasi keluarga, psikoterapi personal, grup terapi, dan terapi olahraga

 

Pada kasus berat, farmakoterapi dapat diberikan

Sumber: dr. Soeklola Muliady, Sp.KJ, 2022.[2,4,5]

Langkah Penanganan Depresi Peripartum

Berdasarkan beberapa pedoman penanganan depresi peripartum, tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah deteksi dini dan psikoterapi sedini mungkin pada wanita yang berisiko tinggi depresi, yaitu wanita dengan riwayat episode atau gejala depresi pada kehamilan sebelumnya.[5,6]

Psikoterapi tetap menjadi lini pertama pengobatan bila dibandingkan farmakoterapi. Psikoterapi yang paling banyak direkomendasikan adalah cognitive behavioral therapy (CBT), psikoterapi interpersonal (IPT), psikoterapi psikodinamik, psikoedukasi, dan intervensi psikososial. Namun, beberapa kasus (terutama kasus yang berat) tetap membutuhkan kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi.[5,7]

Hal yang perlu diperhatikan tentang farmakoterapi adalah sebagai berikut:

  • Diskusikan dengan setiap pasien dan keluarga mengenai perbandingan manfaat obat dan risikonya selama masa kehamilan dan menyusui
  • Berikan farmakoterapi jika tidak ada perbaikkan dengan terapi nonfarmakologis atau jika kasus memiliki intensitas gejala yang berat
  • Tanyakan riwayat penggunaan antidepresan yang efektif sebelumnya dan beri antidepresan yang sama jika ada
  • Anjurkan wanita yang mendapatkan farmakoterapi untuk melahirkan di rumah sakit[5,7]

Antidepresan

Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) merupakan golongan antidepresan yang paling banyak diresepkan. Jenis SSRI yang biasanya digunakan selama kehamilan adalah sertraline dan citalopram. Sementara itu, contoh antidepresan yang tidak banyak digunakan untuk kehamilan adalah fluoxetine, paroxetine, dan amitriptyline.[7]

Beberapa kasus juga memerlukan augmentasi dengan antipsikotika atau penambahan farmakoterapi lain seperti benzodiazepine atau antihistamin sedatif. Terapi augmentasi yang paling sering digunakan adalah quetiapine, baik selama kehamilan maupun masa postpartum. Namun, keputusan untuk memberikan antidepresan selama kehamilan dan masa menyusui perlu mempertimbangkan risiko terhadap bayi.[7,8]

Data yang ada menunjukkan bahwa paparan SSRI intrauterine tidak meningkatkan risiko anomali kongenital tetapi risiko jangka panjangnya terhadap perkembangan anak belum diketahui. Penggunaan antidepresan selama kehamilan meningkatkan risiko berat badan lahir rendah (BBLR), kelahiran preterm, dan gangguan afektif pada masa kanak. Namun, penghentian antidepresan selama kehamilan dinyatakan meningkatkan risiko rekurensi depresi sekitar 74%.[7,9,10]

Terapi Lain

Terapi lain yang direkomendasikan pada kasus depresi berat yang mengancam nyawa selama masa kehamilan dan tidak bisa ditangani dengan psikoterapi dan farmakoterapi adalah electroconvulsive therapy (ECT). Selain itu, ada meta analisis yang menyatakan bahwa olahraga dengan intensitas sedang yang disupervisi selama kehamilan dapat mereduksi gejala depresi. Risiko depresi peripartum meningkat sebesar 16% pada kelompok wanita yang tidak aktif secara fisik selama kehamilan.[5,11]

Pendekatan Berbasis Keluarga

Pada penanganan depresi peripartum, pengambilan keputusan terapi perlu melibatkan pasien dan keluarga atau kerabat yang dianggap bermakna (misalnya pasangan). Isi diskusi mencakup risiko dan manfaat potensial dari pilihan terapi yang ditawarkan, termasuk risiko jika tidak dilakukan pengobatan. Selain itu, penilaian terhadap status mental pasangan maupun tindak kekerasan pasangan perlu dilakukan.[5,12]

Kesimpulan

Perubahan hormonal dan perubahan lingkungan yang baru sebagai seorang ibu dapat meningkatkan risiko baby blues syndrome maupun depresi peripartum. Kedua kondisi ini ditandai dengan mood yang menurun. Namun, berbeda dengan depresi peripartum, baby blues syndrome berdurasi singkat dan tidak disertai penurunan fungsi maternal.

Depresi peripartum ditandai dengan gejala yang lebih berat dan memenuhi kriteria diagnostik depresi menurut DSM. Depresi peripartum disertai dengan penurunan fungsi maternal dan kegagalan penanganannya dapat meningkatkan risiko bunuh diri pada ibu, risiko infanticide, ataupun gejala psikosis.

Penanganan baby blues syndrome lebih berupa dukungan emosional dan reassurance dari keluarga, pasangan, dan kerabat terdekat pasien. Sementara itu, penanganan depresi peripartum memerlukan terapi multimodal.

Lini pertama terapi depresi peripartum adalah psikoterapi. Namun, farmakoterapi atau kombinasi keduanya juga direkomendasikan pada kasus yang gagal ditangani dengan psikoterapi saja. Antidepresan SSRI seperti sertraline dan citalopram merupakan farmakoterapi yang dipilih. Namun, sebelum memberikan farmakoterapi, dokter harus selalu membandingkan besarnya manfaat dan risiko, terutama jika depresi peripartum dialami oleh ibu yang masih hamil.

Referensi