Castration-Resistant Prostate Cancer (CRPC)

Tumor prostat yang tetap mengalami tingkat proliferasi yang tinggi tanpa adanya androgen disebut sebagai castration-resistant (CR), secara umum resisten terhadap mayoritas obat kemoterapi,  dan menunjukan prognosis yang buruk.

CRPC umumnya merupakan fenomena stadium akhir dari kanker prostat, dan tidak memberikan respon pada androgen deprivation therapy (ADT). Prognosis buruk dengan rata-rata harapan hidup 16–18 bulan membuat CRPC menjadi sebuah ancaman.[4]

Kanker Prostat Metastasis

Penyakit metastasis merupakan penyebab utama kematian akibat kanker prostat. Kelenjar limfa terdekat dari tumor primer umumnya merupakan daerah metastasis pertama, diikuti penyebaran ke hepar, paru, dan tulang. Metastasis tulang pada kanker prostat sering terlihat sebagai lesi osteoblastik dengan sifat campuran osteolitik, yang dapat menyebabkan nyeri hebat, hiperkalsemia, dan fraktur berulang.[5]

Komplikasi Tindakan Bedah

Pada tindakan operatif, perdarahan pasca terapi, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pencernaan bawah, dan fistula rektouretra dapat terjadi. Pasien pasca operasi juga dapat mengalami striktur uretra yang dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih dan tindakan operasi lanjutan.[4,5,19]

Komplikasi Lainnya

Kanker prostat dapat menyebabkan retensi urin karena sumbatan pada uretra. Apabila terjadi metastasis, pasien dapat mengeluhkan parestesia, inkontinensia alvi, dan nyeri hebat jika terjadi metastasis ke tulang. Komplikasi lainnya yang bisa terjadi adalah deep vein thrombosis.[4,5,19]

Prognosis

Perluasan ekstrakapsular dan derajat Gleason yang tinggi pada spesimen prostatektomi merupakan prediktor prognosis kematian akibat kanker prostat Sistem grading Gleason mengelompokan kanker prostat menjadi  grade 1-5. Kelompok grade 1 hingga 5 memiliki harapan hidup 5 tahun masing-masing sebesar 96%, 88%, 63%, 48%, dan 26%. Kanker prostat metastasis memiliki prognosis yang buruk dengan harapan hidup 5 tahun 30%.[4]

Penulisan pertama oleh: dr. Giovanni Gilberta

Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta