Gangguan Pendengaran Akibat Obat dan Logam Berat yang Ototoksik

Oleh :
dr.Trisni Untari Dewi Sp.FK

Penggunaan obat dan paparan logam berat dapat berdampak buruk terhadap kesehatan, salah satunya adalah gangguan fungsi pendengaran. Gangguan fungsi pendengaran akibat penggunaan obat menyebabkan tuli permanen, karena pengaruh sel-sel rambut pada manusia yang mudah berdiferensiasi dan tidak memiliki kemampuan untuk regenerasi secara spontan jika mengalami kematian.[1–6]

Paparan logam berat, seperti timbal dan kadmium, berperan dalam menyebabkan gangguan pendengaran. Paparan timbal dapat menginduksi degenerasi sel reseptor sensorik pada koklea yang memengaruhi kecepatan konduksi saraf pendengaran, dan mengganggu barrier pertahanan labirin darah koklea, sehingga menyebabkan disfungsi vestibular.[1–6]

Sad,Frustrated,Unhappy,Woman,Listening,Ear,To,Bad,News,Or

Obat ototoksik merupakan obat yang dapat menyebabkan reaksi toksisitas terhadap struktur telinga bagian dalam. Hal ini menyebabkan gangguan fungsional dan/atau degenerasi seluler jaringan pada bagian dalam telinga, sehingga mengakibatkan tuli sensorineural. Obat-obatan yang tergolong ototoksik, antara lain antibiotik golongan aminoglikosida, obat kemoterapi dan obat golongan loop diuretik.[1,2,7]

Obat Golongan Aminoglikosida

Golongan aminoglikosida, seperti gentamisin, kanamisin, atau tobramisin, merupakan antimikroba yang memiliki kemampuan dalam membunuh bakteri. Namun, aminoglikosida dapat menyebabkan efek samping yang toksik terhadap ginjal dan telinga dalam.[7]

Saat ini, penggunaan aminoglikosida sudah sangat terbatas, karena efek samping yang ditimbulkan pada organ telinga. Kerusakan pada telinga dapat terjadi pada sistem vestibular atau vestibulotoksik, yang memengaruhi keseimbangan. Kerusakan juga dapat terjadi pada sel koklea atau kokleotoksik, sehingga memengaruhi pendengaran.[7]

Kerusakan tersebut terjadi karena hilangnya sel rambut pada koklea dan vestibular. Tingginya kadar Cmin, yaitu kadar lembah/minimum aminoglikosida, dan efek penuaan diduga menjadi faktor risiko terjadinya ototoksisitas.[1,2,7,8]

Semua golongan aminoglikosida merupakan obat ototoksik, dan lebih banyak yang bersifat vestibulotoksik, dibandingkan kokleotoksik. Di antara semua aminoglikosida, neomisin dianggap paling ototoksik, diikuti oleh gentamisin, kanamisin, dan tobramisinAmikasin dan netilmisin dianggap paling tidak ototoksik.[1–3]

Gentamisin dapat memengaruhi sistem koklear dan vestibular dengan sama kuat, meskipun beberapa pustaka menyimpulkan gentamisin lebih bersifat vestibulotoksik dibandingkan kokleotoksik. Aminoglikosida lain yang menyebabkan toksisitas vestibular adalah streptomisin dan tobramisin, sedangkan kanamisin, amikasin, dan  neomisin lebih bersifat kokleotoksik.[1–3]

Mekanisme Ototoksisitas Aminoglikosida

Pemberian aminoglikosida, baik secara sistemik ataupun topikal, dapat menembus blood-labyrinth barrier (BLB), kemudian masuk ke telinga dalam. Obat aminoglikosida diserap baik oleh endositosis pada apikal permukaan atau dengan saluran transduksi.

Aminoglikosida dapat menyebabkan mutasi dalam mitokondria DNA (mtDNA), terutama pada molekul 12S rRNA. Mutasi ini menyebabkan peningkatan ikatan dengan aminoglikosida, menghambat sintesis protein mitokondria, dan meningkatkan pembentukan radikal bebas. Kombinasi hal-hal tersebut dapat mengganggu pendengaran.

Hal lainnya yang juga berperan adalah adanya ekspresi berlebihan dari reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Reseptor NMDA banyak terdapat pada sel rambut koklea dan aferen ganglion spiral. Stimulasi berlebihan pada reseptor NMDA meningkatkan pembentukan nitrit oksida (NO), sehingga terjadi stres oksidatif pada sel-sel rambut.

Aminoglikosida dosis tinggi menyebabkan peningkatan influks kalsium melalui kanal NMDA, yang mengakibatkan excitotoxicity. Pembengkakan akut, kehancuran neuron postsinaptik, dan kematian neuron dapat terjadi akibat excitotoxicity.[3,7]

Obat Kemoterapi

Cisplatin, carboplatin, dan oxaliplatin merupakan obat kemoterapi golongan based platinum, dan termasuk di dalam obat kemoterapi yang menyebabkan efek samping pada gangguan pendengaran. Di antara ketiga obat tersebut, cisplatin merupakan obat yang paling banyak digunakan, tetapi juga paling toksik terhadap pendengaran.

Mekanisme Ototoksisitas Obat Kemoterapi

Mekanisme gangguan pendengaran akibat cisplatin diduga terkait dengan reactive oxygen species (ROS). Cisplatin dapat mengaktifkan NADPH oksidase (NOX)3, yang berkontribusi pada produksi ion 4-hydroxy-2-nonenal (4-HNE) yang toksik pada koklea. Hal ini mengakibatkan peningkatan masuknya kalsium ke sel-sel rambut luar, sehingga menyebabkan apoptosis sel.

Gangguan pendengaran akibat cisplatin biasanya terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah terapi, dan diduga berhubungan dengan dosis. Gangguan pendengaran bersifat progresif, irreversible, bilateral, serta dapat disertai dengan tinitus dan pusing.[7,8,10-12]

Obat Golongan Loop Diuretik

Obat golongan loop diuretik, seperti furosemid dan asam etakrinat, dikenal sebagai obat diuretik yang ototoksik. Gangguan pendengaran yang terjadi pada umumnya bersifat temporer. Tuli permanen jarang terjadi, kecuali obat tersebut dikombinasikan dengan obat ototoksik lain, ataupun diberikan pada penderita gagal ginjal yang parah.[7,9]

Mekanisme Ototoksisitas Loop Diuretik

Loop diuretik menyebabkan perubahan patologis di koklea, seperti pembentukan ruang edema di epitel stria vaskularis. Hal ini dapat menyebabkan penurunan cepat endolimfatik, serta hilangnya potensi mikrofonik, potensi penjumlahan, dan aksi potensial majemuk pada koklea.

Obat loop diuretik ini juga mengganggu strial adenilat siklase dan Na+/K+-ATPase, serta menghambat kotransporter Na-K-2Cl di stria vaskularis. Loop diuretik juga diduga dapat menyebabkan vasokonstriksi lokal dengan melalui sekresi renin dan pembentukan angiotensin, sehingga dapat menginduksi keadaan iskemia dan menyebabkan barrier terganggu. Terganggunya barrier pertahanan sawar darah-koklea memungkinkan masuknya bahan kimia atau patogen yang toksik.[7,9]

Paparan Timbal dan Kadmium dari Lingkungan

Pencemaran logam berat dapat menimbulkan efek toksik terhadap organ tubuh manusia, di antaranya pada organ telinga. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh melalui kontaminasi makanan, air, udara, atau penyerapan langsung melalui kulit.

Contoh logam berat yang dapat merusak sistem pendengaran, antara lain adalah timbal, merkuri, kadmium dan arsenik. Timbal dan kadmium adalah logam berat yang paling sering menyebabkan gangguan pendengaran.[4,13-15]

Mekanisme Ototoksisitas Logam Berat

Gangguan pendengaran akibat logam berat terutama terjadi pada populasi yang sering terpapar logam berat, misalnya pada pekerja di bidang industri batu baterai, panel surya, tambang emas, peleburan timah, atau pekerjaan yang banyak menggunakan gasoline, cat, dan solder. Paparan logam berat juga dapat terjadi dari makanan, misalnya beras, ikan, dan makanan laut bercangkang.

Logam berat dapat mengakibatkan kerusakan pada sel rambut sensorik atau sistem saraf telinga bagian dalam. Ketidakseimbangan reactive oxygen species (ROS) merupakan faktor utama yang menjadi penyebab gangguan pendengaran yang diinduksi oleh logam berat.[4,13-15]

Timbal:

Ototoksisitas timbal terutama ditemukan pada pasien berusia lebih tua, dan terjadi akibat paparan terhadap timbal dalam jangka panjang. Timbal dapat terakumulasi dalam tulang dan berada dalam tulang untuk waktu yang lama.

Gangguan pendengaran akibat timbal dikaitkan dengan kerusakan oksidatif kumulatif, karena paparan timbal, ditambah faktor lingkungan, seperti kebisingan, yang menginduksi stres oksidatif di koklea. Selain itu, paparan terhadap timbal menyebabkan penurunan aliran darah ke koklea yang mengakibatkan degenerasi sel-sel reseptor di telinga dalam.[4,13,15]

Kadmium:

Paparan terhadap kadmium dapat menyebabkan kerusakan pada struktur persarafan di telinga bagian dalam. Kadmium menyebabkan penurunan aliran darah dan peroksidasi lipid pada koklea. Akibatnya, terjadi gangguan konduksi saraf pendengaran dan peningkatan ambang batas auditorik. Selain itu, kadmium juga menstimulasi apoptosis pada sel-sel reseptor di telinga dalam.[16]

Arsenik:

Arsenik dapat masuk ke tubuh manusia, misalnya melalui makanan dan air minum. Paparan jangka panjang dapat mengakibatkan keracunan arsenik, dengan salah satu gejala berupa gangguan pendengaran.[5,13]

Studi oleh Li, et al. pada tahun 2018 menemukan korelasi antara kadar arsenik pada kuku kaki dengan kehilangan pendengaran pada gelombang 4 kHz, 8 kHz, dan 12 kHz. Namun, korelasi tidak ditemukan dengan kadar arsenik di urin.[17]

Studi eksperimental yang dilakukan oleh penulis yang sama mendapatkan korelasi kuat antara kadar arsenik di telinga dalam dan di kuku, pada mencit yang dipaparkan arsenik secara oral. Hasil eksperimen tersebut menunjukkan pemeriksaan nilai arsen pada kuku dapat digunakan sebagai biomarker yang mudah dilakukan non-invasif pada kehilangan pendengaran akibat arsen.[17]

Merkuri:

Pada pekerja yang terpapar merkuri, dapat terjadi gangguan pendengaran perifer, yaitu pada koklea, dan juga pada jalur auditori sentral. Dimetilmerkuri dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf auditori, dan paparan terhadap metilmerkuri kloria menyebabkan hipersensitivitas konduksi saraf pada batang otak.[15,18]

Kesimpulan

Kehilangan pendengaran dapat terjadi akibat ototoksisitas dari berbagai obat-obatan dan logam berat. Semua antibiotik golongan aminoglikosida bersifat ototoksik, terutama neomisin dan gentamisin. Obat kemoterapi yang paling ototoksik adalah cisplatin, dan gangguan pendengaran yang terjadi bersifat irreversibel. Loop diuretik, seperti furosemid dan asam etakrinat, juga berpotensi menyebabkan kehilangan pendengaran yang umumnya bersifat temporer.

Paparan terhadap logam berat dalam jangka panjang, misalnya pada pekerja industri batu baterai, tambang emas, atau peleburan timah, serta akibat konsumsi makanan yang tercemar logam berat juga dapat menyebabkan kehilangan pendengaran. Logam berat yang paling sering menyebabkan kehilangan pendengaran adalah timbal dan kadmium.

Referensi