Pendahuluan Demam Reumatik
Demam reumatik akut merupakan reaksi autoimun terhadap bakteri Streptococcus group A yang biasanya timbul 2-3 minggu setelah infeksi saluran pernapasan akut. Respon inflamasi dapat akan timbul di jantung, sendi, otak, kulit, dan jaringan lunak. Penyakit ini memiliki karakteristik berupa sindrom klinis yang terdiri dari karditis, arthritis, Sydenham chorea, eritema marginatum, dan nodul subkutan. [1,2] Diantara sindrom klinis tersebut, karditis dan arthritis merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan. Karditis dapat ditemukan pada 80% kasus demam reumatik dan melibatkan katup mitral dan aorta. [3] Gangguan pada katup ini dapat menyebabkan komplikasi kronik berupa penyakit jantung rematik. [4,5]
Diagnosis demam reumatik akut ditegakkan berdasarkan kriteria Jones. Kriteria ini menggabungkan antara kondisi klinis dengan bukti adanya infeksi Streptococcus group A seperti kultur atau antibodi streptokokus. [1] Pemeriksaan penunjang lain seperti laju endap darah, kadar protein reaktif-C, elektrokardiogram, dan ekokardiografi juga dibutuhkan untuk mencari gejala klinis atau menilai keparahan penyakit. [1,6,7]

Pasien yang mengalami demam reumatik akut membutuhkan rawat inap untuk memudahkan pemeriksaan diagnostik dan pemantauan respon terapi. Tatalaksana pada demam reumatik akut bertujuan untuk mengeradikasi infeksi Streptococcus group A dan memberikan terapi suportif sesuai dengan manifestasi yang timbul. Penisilin merupakan antibiotik pilihan utama untuk kasus ini. Pasien yang memiliki alergi terhadap penisilin dapat diberikan makrolida seperti azitromisin atau eritromisin. [1,6,7]
Demam reumatik akut dapat dicegah dengan memberikan tatalaksana yang tepat pada pasien dengan infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh Streptococcus group A. Rekurensi demam reumatik akut cukup tinggi sehingga pemberian antibiotik profilaksis jangka panjang diperlukan. [2]
Negara-negara di Asia Tenggara memiliki angka rekurensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan angka rekurensi di negara-negara region WHO yang lain, yaitu sekitar 33,9%. [8]