Epidemiologi Chikungunya
Data epidemiologi menunjukkan 75% populasi dunia berisiko terinfeksi chikungunya. Penyakit ini sering menimbulkan wabah sejak kira-kira 20 tahun lalu. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang melaporkan terjadinya wabah chikungunya hampir setiap tahun.[1,10]
Global
Secara global, diperkirakan lebih dari 75% populasi dunia tinggal di daerah yang berisiko terinfeksi chikungunya. Persebaran insidensi dilaporkan serupa pada semua kelompok usia, dan juga berdasarkan jenis kelamin. Virus chikungunya pertama kali diidentifikasi pada wabah yang terjadi di Tanzania pada tahun 1952–1953.[5,10]
Berdasarkan WHO di Desember 2024, dilaporkan penularan lokal virus chikungunya pada 119 negara dan wilayah. Antara November 2024 dan Maret 2025, terjadi peningkatan penularan dengan 151
kasus chikungunya yang dilaporkan dari pusat layanan kesehatan yang berfungsi sebagai sentinel di Kolombo, Gampaha, dan Kandy, Sri Lanka.[25]
Di benua Eropa, pada bulan Agustus 2024, Prancis melaporkan 118 kasus chikungunya di Pulau La Réunion. Penularannya berlanjut hingga tahun 2025, di mana hingga 16 Maret 2025 dilaporkan lebih dari 13.000 kasus sejak wabah dimulai.[25]
Indonesia
Data epidemiologi chikungunya di Indonesia dilaporkan pada tinjauan sistematis oleh Harapan, et al. pada tahun 2019. Insidensi chikungunya dilaporkan antara 0,16–36,2 kasus per 100.000 orang-tahun. Median seroprevalensi antibodi imunoglobulin M (IgM) anti-CHIKV, baik pada keadaan wabah atau bukan wabah, adalah 13,3%. Sedangkan median antibodi IgG, baik pada keadaan wabah atau bukan wabah, adalah 18,5%.[14]
Berdasarkan sequencing, didapatkan berbagai genotipe virus yang terdapat di Indonesia. Sebanyak 92,3% disebabkan oleh genotipe Asia dan sisanya disebabkan oleh genotipe East/Central/South African (ECSA).[14]
Mortalitas
Mortalitas chikungunya dilaporkan 10,6% dan ditemukan lebih banyak pada pasien berusia lanjut, neonatus, pasien dengan komorbiditas, misalnya penyakit jantung, diabetes, dan penyakit hati dan penyakit ginjal kronis, serta pada pengidap human immunodeficiency virus (HIV).[5]
Faktor risiko yang paling sering ditemukan yang berhubungan dengan mortalitas tinggi dan infeksi berat adalah kelainan kardiovaskular, gangguan respirasi, dan gangguan neurologis. Di Eropa, case fatality rate adalah sebesar 2,5 per 1000 kasus, hampir sama dengan tingkat kematian di Pulau Reunion, yaitu 1 per 1000 kasus.[1,5]
Infeksi chikungunya berat dapat disertai dengan ensefalitis, miokarditis, hepatitis, dan kegagalan multiorgan. Kerusakan neurologis, meskipun tidak sering dijumpai, dapat menyebabkan kejang, gangguan kesadaranan, flaccid paralysis, dan kematian.[15]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini