Epidemiologi Bell's Palsy
Data epidemiologi memperkirakan bahwa Bell's palsy dialami 11.5-53.3 per 100,000 orang setiap tahun. Tidak ada predileksi usia atau ras untuk penyakit ini, tetapi terdapat studi yang menunjukkan bahwa insidennya lebih tinggi pada kelompok usia 15-45 tahun.[10,11]
Global
Bell’s palsy memiliki insidensi tahunan bervariasi secara global, yaitu sekitar 11–53 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Risiko seumur hidup mencapai 1 dari 60 orang. Awitan penyakit paling sering terjadi pada usia sekitar 40 tahun, namun Bell’s palsy dapat muncul pada semua kelompok usia. Sebagian besar studi epidemiologi menunjukkan kejadian lebih tinggi pada kelompok usia 15–40 tahun.
Sejumlah faktor risiko telah teridentifikasi dan relevan secara klinis. Bell’s palsy lebih sering ditemukan pada pasien dengan kehamilan (khususnya trimester III), preeklamsia, obesitas, hipertensi, dan diabetes. Infeksi saluran napas atas dan riwayat pencabutan gigi juga dikaitkan dengan peningkatan risiko.[10,11]
Indonesia
Tidak terdapat data epidemiologi mengenai penyakit ini di Indonesia.
Mortalitas
Bell’s palsy tidak mengancam nyawa. Namun, morbiditasnya dapat signifikan, terutama terkait disfungsi wajah yang menetap.
Mayoritas pasien mengalami pemulihan spontan penuh dalam beberapa minggu hingga bulan, tetapi sebagian mengalami defisit neurologis jangka panjang. Faktor yang memprediksi morbiditas lebih berat meliputi paralisis total saat onset, usia lanjut, komorbid seperti diabetes atau hipertensi, serta keterlambatan terapi.
Selain disfungsi motorik, morbiditas tambahan dapat timbul dari komplikasi okular akibat incomplete blink, termasuk keratopati, lagoftalmus, hingga ulkus kornea. Gangguan kualitas hidup juga umum terjadi, mencakup aspek estetik, emosional, dan sosial karena asimetri wajah dan gangguan ekspresi.[10-12]
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha