Epidemiologi Kandidiasis Vulvovaginal
Epidemiologi kandidiasis vulvovaginal sulit untuk ditentukan, karena hampir setengah kasus didiagnosis secara klinis dan tidak dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopis atau kultur. Prevalensi tertinggi terjadinya kandidiasis vulvovaginal terdapat pada wanita usia reproduksi.[5,6]
Global
Secara global, diketahui sekitar 75% dari semua wanita pernah mengalami kandidiasis vulvovaginal, 50% wanita yang pertama kali terinfeksi akan mengalami setidaknya episode kedua, serta 5−10% wanita mengalami kandidiasis vulvovaginal rekuren. Disebut kandidiasis vulvovaginal rekuren/berulang adalah jika mengalami ≥4 episode dalam satu tahun.[5,6,14]
Studi internasional oleh Foxman et al menemukan bahwa tingkat insiden kandidiasis vulvovaginal di negara-negara Barat tinggi, yaitu 29−49% dan lebih dari seperlima kasus dalam bentuk rekuren. Studi dilakukan di di Amerika Serikat dan 5 negara di Eropa, yang melibatkan sekitar 6.000 wanita berusia >16 tahun. [5]
Survei lain mengenai prevalensi kandidiasis vulvovaginal melaporkan kondisi ini terbanyak ditemukan pada wanita usia reproduksi. Sekitar 55% wanita di perguruan tinggi pernah mengalami minimal satu episode pada usia 25 tahun. Sedangkan pada wanita premenopause, 75% melaporkan pernah mengalami satu episode dalam seumur hidup, 45% mengalami >2 episode, serta 5−8% mengalami >4 episode dalam satu tahun.[6]
Indonesia
Data epidemiologi kandidiasis vulvovaginal di Indonesia masih terbatas. Penelitian deskriptif retrospektif mengenai profil pasien kandidiasis vulvovaginalis dilakukan dengan mengevaluasi data sekunder dari catatan rekam medik 4.099 pasien yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, periode Januari – Desember 2013. Penelitian ini menemukan 29 kasus (0,70%) pasien didiagnosis kandidiasis vulvovaginalis.[15]
Profil distribusi kasus terbanyak adalah pada wanita usia 15−24 tahun (41,4%) dan 25−44 tahun (41,4%), profesi ibu rumah tangga (20,7%) dan pelajar (20,7%), gejala klinis keputihan dan gatal (34,5%), faktor risiko kehamilan dan penggunaan douching (13,8%), pemeriksaan Gram ditemukan spora, budding cell, dan pseudohifa (62,1%), dan pasien kasus baru (82,8%).[15]
Penelitian deskriptif potong lintang, yang melibatkan 243 pasien dari unit rawat jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode 12 April − 11 Juli 2017, mempelajari faktor yang mempengaruhi terjadinya kandidiasis vulvovaginal. Hasil penelitian mendapatkan 25 pasien (10,28%) dengan diagnosis kandidiasis vulvovaginal, dengan penggunaan douching vagina menjadi faktor risiko terbanyak.[12]
Mortalitas
Sebagian besar kasus kandidiasis vulvovaginal terlokalisasi, tidak mengancam nyawa, dan memiliki prognosis yang baik jika dilakukan terapi segera. Namun, kondisi ini sering dikaitkan dengan masalah sosial, seperti perasaan malu, penarikan diri dari aktivitas seksual, serta disfungsi seksual.[1,4]
Mortalitas dapat meningkat jika kandidiasis vulvovaginal tidak ditata laksana dan mengakibatkan infeksi sistemik atau kandidemia. Angka mortalitas terkait kandidemia mencapai 30−40%. Kandidemia menyebabkan lebih banyak kasus mortalitas daripada mikosis sistemik lainnya.[4,16]
Identifikasi kasus dengan konfirmasi spesies jamur akan membantu untuk memulai terapi antifungal yang sesuai secara dini, sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas.[17]