Tata Laksana Kandidiasis pada Populasi Geriatri

Oleh :
dr. Fresa Nathania Rahardjo, M.Biomed, Sp.KK

Kandidiasis merupakan salah satu infeksi oportunistik yang paling banyak di seluruh dunia dan sering ditemukan pada populasi geriatri atau lansia, yaitu mereka dengan usia diatas 65 tahun. Meningkatnya angka harapan hidup dan status kesehatan menyebabkan populasi geriatri ikut berkembang, sehingga kandidiasis ini dapat menjadi salah satu masalah kesehatan yang perlu diperhatikan.[1,2]

Candida sp sebenarnya merupakan flora normal di permukaan kulit, namun pada kondisi tertentu, jumlah koloni spesies ini dapat meningkat, sehingga menjadi patogen. Penurunan fungsi organ, kurangnya asupan nutrisi, imobilitas, serta adanya penyakit komorbid, seperti diabetes mellitus merupakan faktor pendukung perkembangan Candida menjadi patogen, sekaligus menjadi alasan mengapa kelompok ini rentan mengalami kandidiasis.[1,2,3]

KandidiasisGeriatri

Indikasi pemberian antifungal sebenarnya tidak berbeda antara populasi geriatri dan non-geriatri, sehingga belum ada pedoman yang pasti untuk pemberian antifungal pada geriatri. Padahal, populasi geriatri sebenarnya merupakan populasi yang sangat rentan mengalami infeksi jamur dengan angka mortalitas >60% bila menjadi kandidemia. Akan tetapi, adanya penyakit komorbid dan polifarmasi menyebabkan terapi pada kelompok ini tidak semudah terapi pada populasi lainnya.[1-5,8]

Jenis Kandidiasis yang Sering Ditemukan pada Populasi Geriatri

Jenis kandidiasis yang sering ditemukan pada populasi geriatri adalah kandiduria, yaitu infeksi saluran kemih (ISK) yang disebabkan oleh Candida sp. Angka kejadian kandiduria pada populasi geriatri di rumah sakit dan fasilitas perawatan lansia yang dibuktikan dari kultur urin berkisar antara 5-10%.[2,5]

Berdasarkan hasil kultur urin tersebut, spesies Candida yang paling banyak ditemukan adalah Candida albicans (50-70%) patogen, Candida glabrata dan Candida tropicalis (10-35%), serta Candida parapsilosis. Candida glabrata merupakan salah satu spesies Candida yang banyak ditemukan pada populasi geriatri dan sering resisten terhadap flukonazol. Spesies ini bukan hanya ditemukan pada kandiduria saja, tapi juga pada jenis kandidiasis lain.[1-3,5]

Faktor risiko kandiduria adalah usia tua, perempuan, riwayat penggunaan antibiotik, penggunaan alat bantu Activity of Daily Living (ADL) seperti kateter dan prosthesis, riwayat operasi, dan penyakit kronis, seperti diabetes mellitus. Populasi geriatri merupakan kelompok yang memiliki hampir semua faktor risiko ini. Selain itu, perubahan anatomi dan fisiologis pada geriatri menyebabkan kelompok ini menjadi semakin rentan terhadap infeksi dan kematian akibat infeksi jamur.[5]

Selain kandiduria, jenis kandidiasis lain yang sering ditemukan pada populasi geriatri antara lain kandidiasis invasif, kandidiasis oral, kandidiasis mukokutan maupun kandidiasis traktus urogenital. Populasi geriatri berisiko mengalami kandidiasis invasif karena memiliki penyakit komorbid yang kronis, seperti diabetes mellitus dan keganasan hematologi, serta kondisi neutropenia dan penurunan sistem imun.[3,4,5]

Faktor risiko kandidiasis oral pada kelompok ini adalah hiposalivasi fisiologis akibat penuaan yang ditambah dengan higiene oral yang buruk. Selain itu, konsumsi obat sitostatik, seperti siklofosfamid, yang mengiritasi atau mengganggu mukosa oral dan obat yang mengganggu keseimbangan flora normal, seperti antibiotik; serta penyakit lain, seperti anemia defisiensi besi juga merupakan faktor risiko kandidiasis oral.[2-5]

Candida parapsilosis merupakan spesies Candida yang banyak terdapat di permukaan kulit dan menjadi penyebab kandidiasis kutis. Spesies ini memiliki kemampuan membentuk biofilm dan juga sering ditemukan pada alat seperti kateter di rumah sakit dan fasilitas perawatan lansia, sehingga selain menyebabkan kandidiasis kutis, dapat juga menyebabkan kandiduria.[3,4,5]

Terapi Antifungal pada Kandidiasis

Terapi antifungal oral lini pertama (drug of choice/DOC) pada hampir semua kasus kandidiasis, kecuali kandidiasis invasif dan kasus resisten, adalah antifungal golongan azol, terutama fluconazole. Sedangkan alternatif lainnya adalah amphotericin B dan flusitosin. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa terapi infeksi jamur bukan hanya pemberian antifungal, tapi memodifikasi faktor risiko, misalnya melepas dan mengganti kateter urin.[4-6]

Pada kasus kandidiasis invasif atau kandidemia untuk pasien kritis yang dirawat di ICU atau sepsis berat, terapi antifungal yang disarankan adalah echinocandin intravena. Pada keadaan ini, golongan azol pada kasus ini digunakan sebagai terapi step down.[7]

Antifungal Golongan Azol

Antifungal golongan azol, seperti fluconazole, itraconazole, dan voriconazole, merupakan drug of choice (DOC) untuk terapi per oral pada kandidiasis. Obat golongan ini bersifat fungistatik, dan bekerja dengan menghambat lanosterol 14 alfa demetilase, menghambat sintesis ergosterol dan mengganggu stabilitas membran jamur.[2,4-6]

Dari golongan azol, DOC untuk terapi kandidiasis adalah fluconazole. Bioavailabilitas oralnya >90%, sehingga memiliki efek yang hampir sama dengan pemberian intravena. Fluconazole diekskresi oleh ginjal, sehingga waktu paruhnya tergantung dari renal klirens. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal akut (GFR kurang dari 20 mL/menit) dan pasien post transplantasi ginjal diperlukan penyesuaian dosis sampai dengan 50%.[4,5,8]

Voriconazole lebih jarang digunakan dibanding fluconazole karena obat ini tidak banyak diekskresi di urin, sehingga efek terapeutik untuk kandiduria lebih rendah. Selain itu, obat ini bersifat hepatotoksik dan neurotoksik sampai menyebabkan gangguan penglihatan.[4,5]

Amphotericin B

Amphotericin B adalah senyawa polien yang berasal dari Streptomyces nodosus. Obat ini memiliki afinitas tinggi terhadap ergosterol pada membran fungi, sehingga memiliki efek fungisidal. Obat ini direkomendasikan bagi pasien yang intoleransi, atau yang mengalami resistensi obat antifungal.[4,5]

Penyesuaian dosis pada populasi geriatri tidak diperlukan pada penggunaan amfoterisin B, karena metabolismenya tidak berbeda, baik pada kelompok geriatri, maupun non-geriatri. Namun, menurut Dekkers et al., terdapat penurunan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) untuk C. Albicans pada populasi geriatri sehingga efektivitasnya bisa berkurang.[4,5]

Hal ini kemungkinan disebabkan karena geriatri sudah terpapar berbagai antibiotik maupun antifungal sebelumnya, sehingga kurang sensitif terhadap pengobatan. Akan tetapi, obat ini masih dinilai cukup efektif. Obat ini memiliki efek samping hepatotoksik, nefrotoksik dan gangguan hematologi.[4,5]

Flusitosin

Flusitosin merupakan analog pirimidin yang bekerja menghambat sintesis DNA dan RNA sel jamur. Obat ini diindikasikan untuk, kandidiasis invasif, kandidiasis yang sudah melibatkan susunan saraf pusat dan traktus urogenital. Flusitosin diekskresikan melalui ginjal, maka harus dilakukan penyesuaian dosis pada orang dengan gangguan fungsi ginjal karena waktu paruhnya dapat meningkat pada kelompok ini.[4,5]

Penggunaan flusitosin sebaiknya selalu dikombinasi dengan antifungal lain, seperti golongan azol, karena single therapy dengan obat ini dapat meningkatkan angka resistensi Candida sp. Walaupun memiliki efek sinergis dengan antifungal lain, penggunaan flusitosin tetap harus dibatasi karena efek samping seperti nefrotoksisitas, mielosupresi dan hepatotoksisitas ikut meningkat.[4,5]

Echinocandin

Pada keadaan kandidemia atau kandidiasis invasif untuk pasien kritis yang dirawat di ICU atau sepsis berat, echinocandin (Caspofungin, Anidulafungin, Micafungin) merupakan antifungal yang disarankan sebagai DOC. Penggunaan ini direkomendasikan oleh Infectious Diseases Society of America (IDSA) dan European Society for Clinical Microbiology and Infectious Diseases (ESCMID).[2,4,5,8]

Obat ini bekerja secara fungisidal dan tingkat keamanannya tinggi. Metabolisme echinocandin tidak melibatkan CYP P450, sehingga sedikit berinteraksi dengan obat lain. Efek samping obat antara lain mual, gangguan fungsi hati, dan flebitis.[2,4,5]

Echinocandin tidak diekskresi di ginjal, sehingga tidak memerlukan penyesuaian dosis pada insufisiensi renal. Obat ini sudah ada di Indonesia, namun sediaannya belum ada dalam bentuk oral, hanya injeksi, maka penggunaannya terbatas pada pasien rawat inap.[2,4,5]

Evaluasi Klinis dan Pertimbangan Terapi Kandidiasis pada Geriatri

Evaluasi klinis dalam mempertimbangkan terapi kandidiasis pada geriatri adalah memastikan bahwa infeksi yang terjadi adalah benar kandidiasis dan bukan infeksi bakteri. Hal ini karena manifestasi klinis yang seringkali menyerupai infeksi bakteri dan angka resistensi obat antifungal sudah cukup meningkat sampai >10% tergantung jenis spesies Candida.[4,8]

Manifestasi kandidiasis yang paling sering pada populasi geriatri adalah kandiduria. Gejala klinis yang muncul pada kandiduria terkadang menyerupai ISK bakterial, namun saat ini sudah ada pemeriksaan penunjang yang mudah dan accessible dilakukan di Indonesia untuk mengkonfirmasi hal ini, yaitu pemeriksaan urin dengan menemukan Candida sp. di urin. Akan tetapi, ditemukannya Candida sp. di urin bukan hanya terjadi pada kandiduria, namun juga dapat ditemukan karena kontaminasi spesimen.[5]

Infeksi saluran kemih akibat Candida sp. dapat muncul tanpa gejala (asimtomatik) maupun dengan gejala. Pada kandiduria asimtomatik, antifungal tidak diperlukan, kecuali bila ditemukan pada pasien post prosedur urologi, neutropenia, dan neonatus dengan berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) yaitu kurang dari 1.500 gram.[4,5]

Terapi antifungal diperlukan pada kandiduria asimtomatik untuk pasien post prosedur urologi karena kelompok ini berisiko tinggi untuk mengalami kandidemia akibat instrumen yang digunakan. Sedangkan pada pasien neutropenia, keadaan asimtomatik mungkin timbul karena neutropenia, sehingga harus tetap diterapi.[5]

Drug of choice per oral pada hampir seluruh infeksi kandida (kecuali kasus resistensi dan kandidiasis invasif pasien sepsis) adalah golongan azol, terutama flukonazol oral dengan dosis 200-400 mg per hari selama 2 minggu.[5,6]

Flukonazol merupakan drug of choice (DOC), karena lebih murah, bioavailabilitas per oral yang tinggi dan bentuk aktifnya diekskresikan di urin dalam jumlah yang cukup banyak. Namun, agen ini dapat berinteraksi dengan berbagai obat, seperti warfarin, antidepresan, anti epilepsi, antifungal dan statin.[5,6]

Adanya interaksi flukonazol oral dengan berbagai obat menyebabkan klinisi harus melakukan adjustment dosis obat atau menghentikan sementara obat lain selama terapi dengan golongan azol. Mengingat hal tersebut, maka risk dan benefit dari penggunaan obat harus dipertimbangkan dengan matang. Inilah sebabnya, kebanyakan kasus kandiduria asimtomatik tidak diterapi dengan antifungal.[1,2,4-6]

Selain itu, perubahan komposisi tubuh karena penuaan juga dapat mempengaruhi farmakokinetik obat. Penurunan konsentrasi albumin pada usia lanjut juga mempengaruhi kemampuan obat berikatan dengan protein dan menyebabkan konsentrasi obat bebas juga meningkat.[2]

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kontrol penyakit komorbid dan efek samping obat terkait penggunaan antifungal golongan azol, terutama flukonazol. Keadaan ini dapat dievaluasi dengan pemeriksaan fungsi hati dan ginjal.[1,2,4-6]

Alternatif lain yang dapat digunakan apabila flukonazol dinilai kurang efektif adalah amfoterisin B deoxycholate dengan dosis 0.3 to 1.0 mg/kg per hari selama 5 sampai 7 hari, atau single-dose 0.2 to 1.0 mg/kg. Obat ini sebenarnya merupakan DOC pada kandiduria akibat C. glabrata or C. krusei, karena spesies ini resisten flukonazol.[5,6]

Flusitosin juga dapat menjadi alternatif lain untuk ISK karena fluconazoleresistant C. glabrata. Hal ini karena flusitosin dapat mencapai konsentrasi yang tinggi di urin dan mampu mengeradikasi C. glabrata, namun C. krusei tidak sensitif obat ini. Dosis yang direkomendasikan adalah 25 mg/kg/8 jam per hari selama 7 sampai 10 hari and 14 hari untuk sistitis dan ISK komplikata.[5]

Penggunaan obat ini harus disesuaikan dengan fungsi ginjal dan klirens kreatinin, darah rutin, serta fungsi hati, mengingat efek nefrotoksik, hepatotoksik, dan mielosupresi. Pada pasien dengan gagal ginjal, waktu paruh obat ini dapat meningkat sampai 20 kali, sehingga penyesuaian dosis atau penggunaan alternatif obat lain perlu dilakukan.[5,6]

Upaya Pengawasan Klinis terhadap Efek Samping Obat

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian jenis dan dosis antifungal oral pada geriatri antara lain, penurunan fungsi ginjal, efek hepatotoksik, nefrotoksik dan neurotoksik obat. Selain itu, gangguan hematologi dan efek mielosupresi juga mempengaruhi penatalaksanaan dengan antifungal.[1,2,4-6]

Berdasarkan hal tersebut, maka beberapa upaya pengawasan klinis terhadap efek samping obat antifungal, seperti anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta monitor kadar obat bebas di dalam darah harus diperhatikan. Pasien juga harus diedukasi mengenai pentingnya ketaatan minum obat untuk mengurangi angka resistensi, fungsi end organ, seperti ginjal dan hati.[4,5]

Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi riwayat penyakit dan konsumsi obat rutin sangat diperlukan, misalnya obat golongan statin, seperti atorvastatin. Penggunaan rutin obat ini sebaiknya dikontrol atau dihentikan sementara apabila pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi antifungal golongan azol.[2,4,5]

Selain itu, pemeriksaan penunjang terkait kadar obat bebas dalam darah, darah rutin, fungsi ginjal dan fungsi hati juga perlu dievaluasi. Evaluasi kadar obat bebas dalam darah yang disarankan adalah setelah mulai terapi, saat melakukan penyesuaian dosis obat, saat ada perubahan terapi obat rutin, dan perubahan kondisi klinis pasien.[2]

Pemeriksaan darah berkala dilakukan sebelum dan beberapa bulan setelah pengobatan untuk memantau efek samping hematologi, seperti adanya mielosupresi. Evaluasi fungsi ginjal meliputi pemeriksaan ureum, kreatinin, dan laju filtrasi glomerulus (LFG) harus dilakukan sebelum inisiasi pengobatan dan saat menentukan dosis, karena banyak jenis obat antifungal oral yang diekskresikan melalui ginjal dan waktu paruhnya tergantung fungsi ginjal.[2,4,5]

Pada pasien dengan insufisiensi ginjal akut (LFG kurang dari 20 mL/ menit) yang direncanakan terapi fluconazole, perlu dilakukan penyesuaian dosis 50% pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan transplantasi ginjal. Selain itu, pada penggunaan voriconazole intravena dan amphotericin B, bila ditemukan penurunan fungsi ginjal, maka dapat diganti dengan voriconazole oral atau menggunakan preparat amfoterisin liposomal sebagai alternatif.[2,4,5]

Pengawasan fungsi hepar pada terapi antifungal dilakukan dengan pemeriksaan SGOT dan SGPT berkala, sebelum inisiasi terapi antifungal dan beberapa bulan setelah pengobatan.[2,4]

Interaksi Obat Antifungal

Interaksi obat antifungal dengan obat lain kebanyakan disebabkan karena metabolismenya yang terjadi di hepar. Enzim CYP P450 di hepar memiliki peranan penting dalam metabolisme berbagai obat, seperti warfarin, antidepresan (seperti amitriptyline), antiepilepsi (seperti phenytoin), antifungal lain dan statin (seperti atorvastatin). Enzim ini dapat diaktivasi maupun diinhibisi oleh berbagai obat, sehingga dapat menyebabkan obat tersebut tidak memiliki efek terapeutik atau malah memberikan efek samping yang berlebihan.[6]

Kerja enzim CYP P450 di hepar melibatkan isoenzim, salah satunya CYP3A4. Obat golongan azol di hepar dapat menginhibisi isoenzim CYP3A4.2. Inhibisi CYP3A4.2 dapat menurunkan metabolisme beberapa obat-obatan di hepar yang dikonsumsi bersamaan dengan azol, sehingga konsentrasinya di dalam darah meningkat dan toksisitas obat ikut meningkat. Contoh obat yang berinteraksi dengan golongan azol adalah antasida, phenytoin, dexamethasone, golongan statin (seperti atorvastatin), warfarin, rifampicin dan omeprazole.[2,4,5,6]

Isoenzim lain dari CYP P450 adalah CYP2C19. Metabolisme voriconazole dibantu oleh isoenzim ini. Akan tetapi, terdapat variasi genetik pembentuk isoenzim ini pada beberapa orang. Hal ini menyebabkan metabolisme voriconazole menjadi sangat cepat dan kadar terapeutiknya menurun, sehingga terapi pada pasien tersebut menjadi gagal atau terjadi sebaliknya, sehingga toksisitas obat meningkat.[6]

Itraconazole dimetabolisme oleh sitokrom P450 dimediasi CYP 3A4. Obat ini berinteraksi dengan siklosporin, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi siklosporin plasma dan meningkatkan toksisitasnya. Bila meresepkan itraconazole bersama siklosporin, maka perlu dilakukan penurunan dosis siklosporin sebesar 50%.[6]

Amphotericin B tidak dimetabolisme, sehingga interaksi dengan obat lain juga lebih minimal, namun keefektivitasan obat ini pada geriatri masih lebih inferior dibanding fluconazole karena MIC yang lebih tinggi jadi diperlukan dosis yang lebih tinggi juga untuk mengeradikasi jamur. Selain itu, efek hepatotoksik, nefrotoksik, dan gangguan hematologi yang juga lebih tinggi.[2]

Flusitosin adalah antifungal yang penggunaannya direkomendasikan digunakan dengan kombinasi obat lain, seperti amphotericin B. Walaupun data mengenai interaksi dengan obat lain sedikit, karena metabolismenya di hepar minimal, penggunaanya harus tetap hati-hati mengingat efek samping hepatotoksik, nefrotoksik, dan supresi sumsum tulang yang dimiliki flusitosin.[2,4,5]

Kesimpulan

Populasi geriatri adalah kelompok rentan infeksi jamur, namun belum ada rekomendasi tetap untuk pemberian terapi antifungal pada kelompok ini. Padahal klinis dengan penyakit komorbid dan polifarmasi sangat mempengaruhi outcome penyakit dan metabolisme obat antifungal.[1,2]

Kandiduria merupakan jenis kandidiasis yang sering ditemukan pada populasi geriatri. Sedangkan jenis Candida sp. yang paling banyak ditemukan pada geriatri adalah C. albicans, C. glabrata, dan C. parapsilosis.[1,2,3]

Drug of choice (DOC) untuk kasus ini terutama adalah fluconazole oral, yang sebenarnya efektif, namun dapat berinteraksi dengan berbagai obat dan menyebabkan efek terapeutiknya menurun atau malah meningkatkan toksisitas. Alternatif antifungal lain adalah amphotericin B, flusitosin, dan echinocandin. Akan tetapi, efek samping obatnya lebih banyak, lebih mahal, dan efektivitasnya tidak selalu lebih superior dibanding flukonazol.[4-8]

Memulai terapi antifungal dengan alasan yang rasional, mengeliminasi kontak dengan faktor risiko, dan monitor efek samping obat, serta penyesuaian dosis merupakan inti penatalaksanaan kandidiasis pada lansia. Selain itu, koordinasi berbagai bidang spesialisasi, seperti bagian hematologi, infeksi, dan penyakit dalam sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan terapi. Studi lebih lanjut untuk menyusun pedoman penatalaksanaan kandidiasis pada lansia sangat diperlukan.[4,5,6]

Referensi