Perbandingan Efikasi Antifungal Peroral dan Intravaginal pada Kandidiasis Vulvovaginal Nonkomplikata

Oleh :
dr. Florentina Priscilia

Pemilihan sediaan antifungal peroral atau intravaginal untuk kandidiasis vulvovaginal nonkomplikata sering membutuhkan pertimbangan yang sulit, terkait perbandingan efektivitas dan aspek keamanannya. Kandidiasis vulvovaginal merupakan infeksi pada saluran reproduksi bawah yang disebabkan oleh jamur Candida albicans atau spesies Candida lainnya.[1-4]

Sekitar 75% wanita pernah mengalaminya, dan 30–50% di antaranya mengalami infeksi rekuren. Gejala klinis yang dialami adalah nyeri saat berkemih, rasa gatal, dan keluarnya sekret yang umumnya berwarna keputihan dan menggumpal dari vagina. Penegakan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik atau kultur yang menemukan jamur atau bagian jamur.[1-4]

Ñ Mikael Haggstrom, Wikimedia commons, 2014.

Setelah diagnosis ditegakkan, maka tata laksana akan dimulai dengan pemberiaan agen antifungal. Golongan antifungal yang menjadi pilihan utama adalah golongan azole, baik dalam bentuk oral maupun intravaginal. Sediaan yang dipilih harus terbukti efektif dengan pertimbangan dalam beberapa aspek, yaitu efek samping, preferensi pasien, serta biaya.[1-4]

Klasifikasi Kandidiasis Vulvovaginal

Kandidiasis vulvovaginal dapat diperkirakan secara klinis dengan keluhan nyeri saat berkemih disertai gatal, nyeri, bengkak, dan kemerahan pada daerah vulva. Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan mikroskopis terhadap sampel sekret vagina yang ditambahkan dengan KOH 10% atau kultur sekret. Klasifikasi kandidiasis terbagi menjadi nonkomplikata dan komplikata, hal ini berkaitan dengan kondisi karakteristik masing-masing pasien.

Suatu kasus diklasifikasikan sebagai kandidiasis vulvovaginal nonkomplikata apabila memenuhi seluruh syarat berikut, yaitu: kasus sporadik atau tidak sering, gejala yang timbul ringan hingga sedang, patogen penyebab adalah Candida albicans atau Candida sp., dan pasien tidak dalam kondisi imunokompromais (tanpa diabetes, infeksi human immunodeficiency virus atau HIV, penggunaan kortikosteroid jangka panjang).[1,3-5]

Apabila salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka dapat diklasifikasikan sebagai kandidiasis vulvovagina komplikata. Klasifikasi kasus komplikata atau nonkomplikata penting dilakukan pada pasien kandidiasis vulvovaginal karena berkaitan dengan penentuan dosis, sediaan, dan durasi terapi.[1,3-5]

Penatalaksanaan Kandidiasis Vulvovaginal

Pilihan utama penatalaksanaan kandidiasis vulvovagina adalah golongan azole karena memiliki mekanisme kerja yang menginhibisi sintesis lipid dari fungal, yaitu ergosterol, sehingga menyebabkan kerusakan membran sel, yang akhirnya menyebabkan kematian sel.  Berdasarkan penelitian, pengobatan dengan golongan azole akan menghasilkan perbaikan klinis dan kultur yang negatif pada 80–90% pasien yang menyelesaikan terapi.[2,3,5]

Pada kasus nonkomplikata, terapi lini pertama adalah antifungal golongan azole baik dalam bentuk intravaginal, oral, maupun salep dengan beberapa agen yang dapat dipilih adalah miconazole suppositoria intravaginal 100–200 mg/hari selama 7 hari, fluconazole oral 150 mg dosis tunggal, atau clotrimazole 1% salep/krim yang dioleskan intravaginal selama 7–14 hari.

Sedangkan, pada kasus komplikata, terapi lini pertama tetap menggunakan golongan azole, tetapi dengan peningkatan dosis dan durasi pemberian. Sebagai contoh, pilihan terapi adalah fluconazole oral 100–200 mg selama 3 hari, atau pada kondisi rekuren diberikan tiap minggu selama 6 bulan, atau clotrimazole intravaginal 100 mg selama 7 hari.[1,3,5]

Perbadingan Efikasi Antifungal Oral dan Intravaginal

Berdasarkan rekomendasi dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2015, antifungal menjadi pilihan terapi untuk kandidiasis vulvovaginal, baik dalam sediaan oral atau intravaginal. Kedua sediaan tersebut telah diteliti dan dibandingkan efektivitasnya dalam perbaikan klinis dan mikologis, serta dalam aspek lain, yaitu efek samping, preferensi pasien, serta efisiensi biaya.[3]

Sekhavat et al melakukan penelitian pada 142 pasien kandidiasis vulvovaginal yang terkonfirmasi dari gejala klinis dan secara mikologis. Pasien dibagi secara acak ke dalam 2 kelompok intervensi, yaitu kelompok clotrimazole intravaginal (70 pasien) dan kelompok fluconazole oral (72 pasien). Setelah evaluasi saat kunjungan kedua, didapatkan bahwa 84,7% pasien pada kelompok fluconazole oral dinyatakan sembuh secara klinis (yang dinilai dari inflamasi dan sekret) dan 80,5% dinyatakan sembuh secara mikologis. Sedangkan pada kelompok clotrimazole intravaginal, didapatkan bahwa 83,3% pasien sembuh secara klinis dan 70% sembuh secara mikologis.

Saat kunjungan ketiga, didapatkan bahwa 1 pasien pada kelompok fluconazole oral dan 17 pasien pada kelompok clotrimazole intravaginal masih memiliki tanda klinis dari kandidiasis vulvovaginal. Perbedaan antara kedua kelompok ini dinilai bermakna secara statistik, khususnya dari segi klinis. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa jika dibandingkan dengan clotrimazole intravaginal, fluconazole oral tampaknya merupakan terapi yang menjanjikan untuk kandidiasis vulvovaginal.[6]

Murina et al melakukan studi prospektif pada 80 pasien kandidiasis vulvovaginal yang terkonfirmasi secara klinis dan mikologis. Peneliti membagi pasien ke dalam 2 kelompok, yaitu: kelompok fluconazole oral (40 orang) dan kelompok fenticonazole intravaginal (40 orang). Saat kunjungan kedua, didapatkan bahwa kesembuhan terjadi pada 77,5% pasien pada kelompok fluconazole oral dan 80% pasien pada kelompok fenticonazole intravaginal. Selain itu, perbaikan pruritus juga dilaporkan lebih cepat secara signifikan pada kelompok fenticonazole intravaginal.

Saat kunjungan ketiga, didapatkan 3 pasien dari kelompok fluconazole dan 2 pasien dari kelompok fenticonazole masih memiliki tanda klinis dari kandidiasis vulvovaginal. Peneliti menyimpulkan bahwa fluconazole oral dan fenticonazole intravaginal sama-sama efektif untuk mengurangi gejala kandidiasis vulvovaginalis, tetapi fenticonazole lebih cepat mengurangi pruritus.[7]

Beberapa penelitian diintisarikan dalam studi meta analisis dari Denison et al yang dilakukan pada 26 studi acak terkontrol. Studi ini melibatkan 5.007 wanita yang berusia 16–65 tahun dengan kandidiasis vulvovaginalis nonkomplikata yang terkonfirmasi secara kultur atau mikroskopik. Hasil studi mendapatkan bahwa terdapat perbaikan klinis jangka pendek (5–15 hari) pada 767 dari 1.000 sampel dalam kelompok administrasi imidazole intravaginal dan 790 dari 1.000 sampel pada kelompok administrasi triazole oral.[8]

Sementara, perbaikan klinis jangka panjang (2–12 minggu) terlihat pada 838 dari 1.000 sampel dalam kelompok administrasi imidazole intravaginal dan 847 dari 1.000 sampel pada kelompok administrasi triazole oral. Dari sisi mikologis, evaluasi jangka pendek memperlihatkan perbaikan pada 796 dari 1.000 sampel pada kelompok administrasi triazole oral dan 892 dari 1.000 sampel pada kelompok administrasi imidazole intravaginal.[8]

Evaluasi klinis jangka panjang menyatakan bahwa terdapat perbaikan pada 662 dari 1.000 sampel dari kelompok administrasi imidazole intravaginal dan 716 dari 1.000 sampel dari kelompok administrasi triazole oral. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik untuk perbaikan mikologis. [8]

Dovnik et al melakukan studi dengan memberikan terapi golongan azole intravaginal berupa clotrimazole, butoconazole, dan miconazole yang diberikan 3 hari. Hasil studi menunjukkan perbaikan pada 80–90% kasus. Sediaan oral berupa fluconazole dosis tunggal dapat pula diberikan dengan perbaikan yang hampir setara, yaitu sekitar 85–90%.[10]

Faktor yang Memengaruhi Pemilihan Antifungal Oral dan Intravaginal

Sobel memaparkan hasil studinya yang meneliti pemilihan pengobatan kandidiasis vulvovaginal. Dalam studi ini, didapatkan bahwa golongan azole menjadi pilihan utama. Sediaan topikal diklasifikasikan aman dan cukup dapat ditoleransi, tetapi beberapa pasien mengeluhkan rasa sensasi terbakar. Sediaan ini memiliki efektivitas kesembuhan 80–90%.

Sediaan oral memiliki efektivitas yang lebih tinggi dan lebih banyak dipilih karena dinilai lebih nyaman dikonsumsi dan dapat menghindari efek samping lokal berupa nyeri atau peradangan pada kulit sekitar vulva yang dapat ditimbulkan oleh sediaan topikal atau intravaginal. Namun, sediaan intravaginal akan menjadi pilihan apabila pasien sedang hamil, menginginkan efek obat yang lebih cepat, dan menghindari efek samping sistemik berupa nyeri abdomen, kembung, atau diare (walaupun jarang terjadi).[9]

Studi meta analisis dari Denison et al yang dilakukan pada 26 studi acak terkontrol menilai efektivitas dan aspek lain, yaitu keamanan efek samping dan kejadian withdrawal, biaya pengobatan, serta preferensi pasien. Hasil studi ini mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik terhadap hal-hal tersebut.[8]

Kesimpulan

Pilihan pengobatan kandidiasis vulvovaginal nonkomplikata berupa antifungal golongan azole baik secara oral, intravaginal, atau maupun topikal. Secara umum, hasil berbagai studi menunjukkan bahwa antifungal sediaan oral dan intravaginal sama-sama efektif dalam mengobati kandidiasis vulvovaginal nonkomplikata. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kedua sediaan tersebut.

Akan tetapi, beberapa studi lain mengemukakan bahwa antifungal sediaan oral memberikan perbaikan klinis yang lebih baik daripada antifungal sediaan intravaginal. Antifungal yang direkomendasikan oleh CDC adalah sediaan oral fluconazole atau sediaan intravaginal clotrimazole, tioconazole, miconazole, dan terconazole.

Dari aspek keamanan, kedua sediaan antifungal juga tidak memiliki perbedaan terhadap efek samping yang bermakna. Namun, pemilihan sediaan oral atau antifungal mungkin dapat disesuaikan berdasarkan kenyamanan dan kondisi pasien. Sebagian besar antifungal yang terbukti melalui studi juga tersedia dalam berbagai sediaan di Indonesia, seperti fluconazole, miconazole yang tersedia dalam bentuk oral maupun intravaginal.

Referensi