Farmakologi Morfin
Farmakologi morfin bekerja pada reseptor aktif mu, delta dan kappa. Ikatan morfin dan reseptor opioid menyebabkan beberapa efek pada SSP yaitu, inhibisi transmisi sinyal nyeri, mengubah respons terhadap nyeri, menimbulkan efek analgesik, depresi napas, sedasi, dan supresi batuk.
Farmakodinamik
Morfin adalah agonis opioid yang memiliki afinitas terbesar pada reseptor μ. Reseptor ini merupakan reseptor opioid analgesik mayor. Reseptor μ dapat ditemukan di otak (amigdala posterior, hipotalamus, talamus, dan nukleus kaudatus), saraf tulang belakang, dan jaringan lain di luar SSP (vaskular, jantung, paru-paru, sistem imun, dan saluran pencernaan).[9]
Ikatan morfin dan reseptor opioid menyebabkan beberapa efek pada SSP yaitu, inhibisi transmisi sinyal nyeri, mengubah respons terhadap nyeri, menimbulkan efek analgesik, depresi napas, sedasi, supresi batuk, dan miosis.[4,5,9-11]
Mekanisme kerja morfin secara molekuler masih belum sepenuhnya dipahami. Aktivasi reseptor opioid diperkirakan mencetuskan coupling/penggabungan protein G. Hal ini akan menyebabkan inhibisi aktivitas adenylyl cyclase, penutupan kanal ion Ca2+, pembukaan kanal ion K+, serta aktivasi phosphokinase C (PKC) dan phospholipase C-β (PLCβ). Menutupnya kanal ion Ca2+ akan menghambat pelepasan neurotransmiter oleh neuron presinaps. Sedangkan pembukaan kanal ion K+ akan memicu hiperpolarisasi yang menghambat neuron postsinaps. Mekanisme inilah yang diperkirakan menyebabkan efek morfin, termasuk efek analgesik.[9-11]
Selain pada SSP, morfin juga bekerja pada sistem gastrointestinal. Efek yang ditimbulkan berupa spasme sfingter Oddi dan penurunan gerakan peristaltik. Pada otot polos sistem kemih dapat terjadi spasme. Morfin juga menyebabkan vasodilatasi yang memicu hipotensi, flushing, mata merah, dan berkeringat. Pada sistem endokrin, morfin mampu menghambat sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH), kortisol, dan luteinizing hormone (LH). Sementara itu, produksi hormon lainnya justru meningkat, misalnya prolaktin, growth hormone (GH), insulin, dan glukagon.[4,5]
Farmakokinetik
Farmakokinetik morfin terdiri dari absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi.
Absorpsi
Bioavailabilitas morfin berkisar antara 20–40%. Onset secara intravena 5 - 10 menit, dengan peroparl sekitar 8 jam (tablet lepas lambat. Durasi peroral adalah 8 - 24 jam (tablet lepas lambat).[4,5,12]
Distribusi
Morfin berikatan dengan protein sebanyak 30 - 40%. Distribusi volume (volume distribution/Vd): 3–4 L/kgBB (lepas lambat), 1–4,7 L/kgBB (IV).[4,5,12]
Metabolisme
Sebagian besar morfin dimetabolisme di hati (90%).[4,5,12]
Bentuk metabolit:
Morphine-6-glucuronide (memiliki efek analgesik, tetapi tidak dapat menembus sawar darah otak)
- Morphine-3-glucuronide
Morphine-3,6-glucuronide[4,5,12]
Eliminasi
Plasma clearance: 20–30 ml/menit/kgBB
- Waktu paruh: 2–4 jam; 2 jam (IV)
- Ekskresi: urine (90%), feses (10%)[4,5,12]
Resistensi
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan nyeri tidak berkurang setelah pemberian opioid, yaitu:
- Toleransi opioid: penurunan respons terhadap opioid setelah pemakaian berulang dalam jangka waktu yang lama.
Pseudo opioid resistant pain: cara pemberian yang salah atau dosis yang masih kurang.
Overmorphinization: efek samping morfin seperti penurunan kesadaran, halusinasi, kebingungan, sakit kepala, nausea, flushing, dan disforia dapat menimbulkan gejala atau perilaku seperti kesakitan.
Opiate irrelevant pain: rasa nyeri yang disebabkan faktor psikis, sosial, atau spiritual.
- Resistensi opioid: nyeri yang sama sekali tidak merespons opioid dalam dosis besar, meskipun cara pemberian sudah sesuai[13]
Diagnosis resistensi morfin ditegakkan berdasarkan tiga kriteria berikut:
- Dosis morfin yang diberikan setidaknya 100 mg/jam melalui infus intravena.
- Nyeri yang dirasakan pasien tidak membaik.
- Nyeri juga menetap meskipun dosis dinaikkan menjadi dua kali lipat[13]
Variasi genetik diduga menjadi penyebab resistensi opioid. Variasi dapat terjadi pada gen UGT2B7 (mengkode enzim yang memetabolisme morfin), gen OPRM (mengkode reseptor opioid μ), gen COMT (mengkode enzim yang mendegradasi katekolamin sehingga mengubah efektivitas morfin), dan gen MDR 1 (mengkode transporter di sawar darah otak). Mutasi pada gen MDR1 tidak hanya menyebabkan resistensi pada morfin, melainkan juga pada obat-obat lain yang mekanisme kerjanya harus melalui sawar darah otak[14]
Resistensi opioid terjadi sejak awal (variasi kongenital) dan bukanlah suatu proses yang didapat. Perlu dibedakan dengan toleransi opioid dan berbagai kondisi lainnya yang secara klinis mirip karena penanganan masing-masing kondisi berbeda.[13-14]
Untuk mengatasi resistensi opioid, dapat digunakan pengobatan adjuvan sebagai berikut:
- Antikonvulsan (misal: fenobarbital, karbamazepin, barbiturat, atau gabapentin)
- Antidepresan (misal: antidepresan trisiklik atau selective serotonin-reuptake inhibitor/SSRI)
- Antihistamin (misal: difenhidramin atau hidroksizin)
- Steroid (misal: deksametason atau prednison)
- Antiinflamasi non-steroid (misal: paracetamol atau ibuprofen)
- Neuroleptik psikotropik (misal: haloperidol)[13-14]
Terapi adjuvan di atas tidak dapat menyembuhkan kondisi resistensi opioid. Namun, dapat mengatasi nyeri yang dialami pasien.[13-14]