Manajemen Nyeri Prosedural pada Neonatus

Oleh :
dr. Joko Kurniawan, M.Sc., Sp.A

Manajemen nyeri prosedural pada neonatus masih sering terluputkan karena masih ada anggapan bahwa neonatus tidak dapat merasakan nyeri. Pedoman manajemen nyeri pada neonatus dan parameter nyeri yang terstandar pun masih terbatas.

Padahal, mengatasi nyeri pada neonatus, terutama pada bayi prematur, penting dilakukan karena berdampak terhadap perkembangan psikologis, perilaku, dan hormonal. Bayi prematur menunjukkan respons akut terhadap nyeri yang berlebihan dibandingkan dengan neonatus cukup bulan. Luaran jangka panjang nyeri  terhadap perilaku dan sistem sensorik bayi prematur juga lebih buruk.[1,2]

Manajemen Nyeri Prosedural pada Neonatus-min

Oleh karena itu, apabila prosedur medis sangat diperlukan oleh neonatus, maka manajemen nyeri berupa terapi nonfarmakologis dan terapi farmakologis harus diupayakan.

Terapi nonfarmakologis dapat berupa menyusui atau memberikan ASI perah, pemberian glukosa/sukrosa oral, metode skin-to-skin, terapi musik, atau non-nutritive sucking. Terapi farmakologis yang dapat digunakan adalah obat anestesi topikal, seperti benzocaine dan lidocaine; paracetamol; anestesi lokal, seperti injeksi lidocaine; serta sedasi dalam dengan ketamine atau opioid.[1,2]

Parameter Nyeri pada Neonatus

Penentuan derajat nyeri pada neonatus tentu menjadi tantangan tersendiri karena neonatus masih belum bisa berkomunikasi secara verbal.

Penilaian nyeri pada neonatus dapat menggunakan beberapa indikator, seperti neonatal infant pain scale (NIPS); neonatal pain, agitation, and sedation scale (N-PASS); cry, required oxygen, increased vital signs, expression, sleeplessness scale (CRIES); Douleur Aigue Nouveau-né (DAN); premature infant pain profile (PIPP); serta face, legs, activity, crying, and consolability (FLACC).[1]

Efektivitas Terapi Nonfarmakologis untuk Mengatasi Nyeri pada Neonatus

Sebuah meta-analisis di Kenya yang melibatkan 2.782 studi membuktikan bahwa pemberian ASI (air susu ibu) dapat mengurangi skor nyeri PIPP sebesar 1,4 kali dan mengurangi skor nyeri NIPS sebesar 2,2 kali dibandingkan dengan plasebo.

Selain itu, jika dibandingkan dengan plasebo atau tanpa intervensi, pemberian larutan glukosa secara oral juga terlihat bermanfaat untuk memberikan kenyamanan pada neonatus yang mengalami nyeri. Dalam hal ini, kenyamanan bayi diukur dengan parameter penurunan frekuensi nadi selama prosedur medis, berupa injeksi intramuskuler seperti pada vaksinasi, injeksi subkutan, pungsi lumbal, pemasangan kateter uretra, pemasangan infus, dan pemasangan alat bantu napas seperti intubasi.

Peneliti menyimpulkan bahwa menyusui dapat dijadikan lini pertama sebagai analgesik, yang dilakukan setidaknya 2 menit sebelum prosedur. Pada neonatus yang tidak menyusu langsung, 1–2 mL ASI perah dapat menjadi lini pertama. Larutan glukosa/sukrosa oral dengan konsentrasi 10% sebanyak 1–2 mL juga dapat menjadi pilihan.

Peneliti juga merekomendasikan orang tua untuk melakukan metode skin-to-skin selama prosedur atau pemberian non-nutritive sucking, seperti pacifier.[3]

Sebuah uji acak terkontrol yang dilakukan oleh Stevens et al menilai efektivitas larutan sukrosa oral pada 245 neonatus yang berusia 24–42 minggu yang menjalani prosedur heel lance atau pengambilan darah melalui tumit. Studi yang di lakukan di Kanada ini menunjukkan bahwa dosis minimal efektif dari larutan sukrosa 24% yang dapat mengurangi skala PIPP adalah 0,1 mL. Larutan sukrosa diberikan 2 menit sebelum prosedur dilakukan.[4]

Pada studi tersebut, dilaporkan bahwa 5 neonatus mengalami efek samping yang berupa tersedak, bradikardia, dan desaturasi setelah pemberian larutan sukrosa. Akan tetapi, efek samping tersebut membaik dengan sendirinya tanpa intervensi apa pun.[4]

Sebuah meta-analisis yang melibatkan 379 studi pada bayi prematur yang dirawat di ruang intensif atau neonatal intensive care unit (NICU) memberikan luaran positif terhadap skala nyeri pada kelompok yang mendapatkan intervensi kontak kulit, larutan glukosa oral, non-nutritive sucking, dan ASI. Intervensi dilakukan saat prosedur berlangsung, seperti pemasangan infus, isap lendir, terapi laser pada retinopathy of prematurity, dan pengambilan gula darah pada tumit bayi.[5]

Beberapa uji acak terkontrol juga menunjukkan luaran yang positif pada neonatus yang dirawat di NICU, baik yang prematur maupun tidak. Terdapat penurunan skala nyeri NIPS dan PIPP yang signifikan pada neonatus yang diberikan ASI, larutan glukosa oral, terapi musik, dan metode skin-to-skin.

Kenyamanan bayi juga terlihat dari parameter frekuensi nadi dan saturasi oksigen yang stabil saat prosedur dilakukan. Meskipun demikian, belum banyak studi yang meneliti mengenai efek jangka panjang intervensi ini.[6]

Terapi Farmakologis yang Aman untuk Neonatus

Paracetamol terbukti memiliki efektivitas yang cukup baik sebagai analgesik pada neonatus dan menjadi obat pilihan utama. Paracetamol juga lebih aman daripada obat golongan opioid yang memiliki dampak negatif berupa periode desaturasi, apnea, bradikardia, ruam, dan hidung tersumbat.[7,8]

Sebuah uji acak terkontrol dengan penyamaran ganda meneliti 71 neonatus yang menjalani operasi besar di bagian abdomen atau toraks (paru-paru atau esofagus). Studi ini menunjukan bahwa bayi yang diberikan intravena sebagai analgesik primer pascabedah mayor memerlukan lebih sedikit tambahan morfin daripada bayi yang menerima infus morfin terus menerus.

Tidak terdapat perbedaan skor nyeri berdasarkan skala COMFORT pada kedua kelompok. Hal ini mengindikasikan bahwa paracetamol intravena dapat menjadi analgesik utama untuk neonatus dan bayi.[9]

Dosis paracetamol yang bisa digunakan untuk menghasilkan efek optimal adalah 20 mg/kg intravena sebagai dosis awal dan dilanjutkan dengan 10 mg/kg tiap 6 jam. Sementara itu, penggunaan paracetamol secara oral atau rektal tidak terbukti memberikan efek yang diinginkan.[9]

Penanganan Nyeri pada Kasus Sirkumsisi Neonatus

Tindakan sirkumsisi pada neonatus merupakan salah satu prosedur yang sering dilakukan. Pada kondisi ini, kombinasi terapi anestesi lokal dan nonfarmakologis terbukti cukup efektif dalam manajemen nyeri prosedural. Meta-analisis yang melibatkan 17 studi membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan penurunan skala nyeri NIPS pada kelompok yang diberikan anestesi topikal dan terapi nonfarmakologis dibandingkan kelompok yang diberikan terapi farmakologis, seperti paracetamol atau anestesi lokal.[10]

Pedoman terkait Manajemen Nyeri Prosedural pada Neonatus

American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan seluruh tenaga kesehatan untuk sebisa mungkin meminimalkan nyeri pada neonatus. Masing-masing institusi perlu menentukan pedoman tersendiri secara tertulis, berdasarkan bukti, untuk rencana pencegahan dan manajemen nyeri. Hal ini perlu mencakup penggunaan prosedur yang bijaksana, penilaian nyeri secara rutin, serta penggunaan terapi farmakologis dan nonfarmakologis.[2]

Strategi nonfarmakologis, seperti tucking atau menyelimuti, non-nutritive sucking, menyusui atau memberikan ASI perah, metode skin-to-skin berguna untuk mengurangi nyeri prosedural dalam jangka pendek hingga sedang. Metode tersebut perlu dilakukan secara konsisten.[2]

Pemberian larutan sukrosa dan/atau glukosa secara tunggal atau kombinasi terbukti efektif untuk mengurangi nyeri prosedural dengan intensitas ringan hingga sedang. Tiap pemberian larutan sukrosa/glukosa sebagai manajemen nyeri harus dicatat sebagai medikamentosa.[2]

The Royal Children’s Hospital Melbourne merekomendasikan penggunaan skor mPAT (modification of the original Pain Assessment Tool) untuk menilai intensitas nyeri pada neonatus dan menjadi acuan titrasi analgesik.[11]

Intervensi nonfarmakologis, yaitu menyusui, membedong, mereposisi bayi berdasarkan usia gestasinya, metode skin-to-skin, dapat dilakukan pada skor mPAT <5 sebelum atau bersamaan dengan intervensi analgesik.

Terapi farmakologis yaitu paracetamol/clonidine/obat nonopioid lainnya direkomendasikan apabila skor mPAT >5, sedangkan kombinasi opioid dan analgesik nonopiod diberikan pada skor mPAT >10. Komponen skor mPAT meliputi postur tubuh, pola tidur, ekspresi wajah, tangisan, warna kulit, frekuensi napas, frekuensi nadi, saturasi oksigen, tekanan darah, dan persepsi perawat.[11]

Pedoman dari Kenya untuk fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas juga merekomendasikan strategi analgesik pada neonatus yang akan menjalani prosedur minor, seperti vaksinasi dan pengambilan darah dari tumit. Menyusui merupakan lini pertama strategi tersebut.[3]

Kesimpulan

Penanganan nyeri pada neonatus merupakan hal yang penting karena dapat memengaruhi perkembangan anak kedepannya. Sebisa mungkin, prosedur yang menimbulkan nyeri harus dihindari pada neonatus. Apabila harus dilakukan, pemilihan analgesik yang aman dengan metode nonfarmakologis yang dapat dikombinasikan dengan terapi farmakologis dapat dilakukan sesuai dengan intensitas nyeri.

Beberapa studi terkini telah membuktikan bahwa terapi nonfarmakologis berupa menyusui atau memberikan ASI perah, pemberian larutan glukosa/sukrosa oral, metode skin-to-skin, dan non-nutritive sucking dapat mengatasi nyeri prosedural pada neonatus.

Sementara itu, terapi farmakologis yang efektif dan aman untuk mengurangi nyeri pada neonatus adalah paracetamol intravena dengan dosis 20 mg/kg sebagai dosis awal dan dilanjutkan dengan 10 mg/kg tiap 6 jam.

AAP dan RCH juga telah merekomendasikan terapi nonfarmakologis dan farmakologis untuk mengatasi nyeri prosedural pada neonatus. Masing-masing fasilitas kesehatan juga diimbau untuk membuat pedoman manajemen berbasis bukti, menilai nyeri secara rutin, serta mendokumentasi tiap intervensi yang diberikan.[2,11]

Referensi