Apakah Sugar Addiction dan Bagaimana Cara Mengatasinya

Oleh :
dr. Agnes Tjakrapawira

Sugar addiction  atau kecanduan gula adalah kondisi pasien yang mengonsumsi gula secara berlebih. Berbagai hipotesis menyebutkan bahwa mengonsumsi sukrosa akan menyebabkan perubahan morfologis neuron, serta perubahan proses emosional dan perilaku baik pada model tikus maupun manusia. Jacques et al, dalam penelitiannya menyatakan bahwa mengonsumsi sukrosa akan mengaktivasi sistem mesocorticolimbic yang sinonim dengan kecanduan zat adiktif.[1,2]

Kata kecanduan sering digunakan untuk seseorang yang memiliki ketergantungan terhadap suatu substansi, biasanya terhadap zat adiktif seperti opioid, kokain, nikotin, dan alkohol.  Petugas kesehatan harus mewaspadai sugar addiction karena dapat menyebabkan kondisi morbiditas yang cukup berat. Kecanduan gula akan berdampak obesitas, terutama bila disertai mengonsumsi lemak yang berlebih juga. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi obesitas pada usia di atas 18 tahun adalah sekitar 21,8%, dan diperkirakan akan terus meningkat.[1-4]

sugar addiction, obesitas, alomedika, sweet tooth

Penelitian Tentang Sugar Addiction

Istilah kecanduan terhadap makanan pertama kali diperkenalkan pada penelitian Theron Randolph pada tahun 1956. Di dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa berbagai jenis makanan, seperti jagung, susu, telur, dan kentang dapat membuat seseorang menunjukan perilaku kecanduan. Sejak itu, penelitian mengenai kecanduan terhadap suatu jenis makanan tertentu terus berkembang.[1]

Ulasan komprehensif yang ditulis oleh Jacques et al pada tahun 2016 meninjau lebih dari 300 studi tentang hubungan erat antara konsumsi gula, stres dan emosi. Banyak uji praklinis dan klinis yang menyelidiki hubungan antara makanan yang sangat enak dengan stres, kecemasan, depresi, dan ketakutan, serta meninjau sinergi antara konsumsi gula dan neurobiologi. Hasil ulasan menyimpulkan bahwa terdapat perubahan neurokimia dan adaptasi saraf, termasuk perubahan dalam sistem dopaminergik yang mempengaruhi emosi dan perilaku setelah konsumsi gula.[2]

Studi internet kualitatif oleh Pretlow pada tahun 2000-2012, melibatkan 29.406 remaja yang memiliki masalah dengan berat badan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa, makanan yang paling sering dikonsumsi dalam binge eating disorder adalah mengonsumsi makanan manis diikuti dengan makanan berlemak, tetapi studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Studi Fowler et al pada tahun 2015 menemukan adanya potensi adiksi yang tinggi dari jenis makanan tertentu, di antaranya kecanduan makanan yang mengandung tinggi gula ditemukan pada 154 pasien sesudah operasi bariatrik.[2,10,19]

Studi Schulte et al pada tahun 2015 terhadap 504 orang menyebutkan bahwa makanan yang diproses secara berlebihan (highly processed foods) memiliki sifat farmakokinetik seperti zat adiktif. Pola kecanduan seperti zat adiktif terjadi karena penambahan karbohidrat rafinasi atau gula, lemak, atau keduanya secara berlebihan. Studi ini diukur menggunakan Yale Food Addiction Scale (YFAS) yang dikembangkan oleh Gearhardt, menggunakan kriteria DSM-IV.[11,15,19]

Patogenesis Sugar Addiction

Kecanduan gula bergantung pada endogen alami opioid yang dikeluarkan otak setelah mengonsumsi gula. Jacques et al menyebutkan bahwa hewan dan manusia mempunyai persamaan neurokimia otak serta perilaku yang menunjukan kecanduan ketika mengonsumsi gula secara berlebihan. Konsumsi gula mempengaruhi sistem mesokortikolimbik dengan cara yang sama pada penderita kecanduan zat adiktif seperti nikotin. Aktivitas otak serupa juga terjadi pada orang dengan anorexia. Ketika orang yang terdiagnosa anorexia merasa lapar, dopamine dan opioid dikeluarkan oleh otak sehingga orang dengan anorexia merasa senang dan mengulang kebiasaan untuk lapar. Jika anorexia dapat diklasifikasikan menjadi penyakit oleh karena efek serupa yang terjadi pada otak, maka kecanduan gula juga seharusnya dapat disarankan sebagai penyakit.[2,4-8]

Aktivitas endogen alami opioid ditemukan pada orang yang memiliki sifat kecanduan saat menggunakan suatu substansi. Pada orang yang selalu mengonsumsi gula, terlihat interaksi dalam otak yang mengeluarkan dopamine dan opioid pada saat memakan gula. Terangsangnya pusat penghargaan dalam otak tersebut menyerupai aktivitas otak orang yang memiliki kecanduan terhadap suatu zat zat adiktif seperti heroin, kokain, nikotin, dan alkohol. Pernyataan ini sejalan dengan studi metaanalisis Garcia et al pada tahun 2014, yang membuktikan respons aktivitas otak pada kecanduan menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI).[1,21]

Gejala Sugar Addiction

Gula rafinasi adalah gula yang berasal dari tanaman tebu, yang telah mengalami proses pemurnian sehingga kehilangan kandungan vitamin, mineral dan molase. Karena itu, pada gula rafinasi yang tersisa hanya bentuk kristal putih dengan rasa manis. Kecenderungan untuk mengalami ketergantungan gula rafinasi didasari pada persepsi rasa manis, serta preferensi individual. Faktor genetik, usia, jenis kelamin wanita, dan lingkungan adalah faktor yang mempengaruhi individu untuk memiliki kecenderungan kecanduan gula.[1,9,19]

Terdapat beberapa prosedur pemeriksaan untuk mendiagnosis seseorang sebagai pecandu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Edition (DSM 5)  mendefinisikan substance-related disorder dapat didiagnosis jika setidaknya ditemukan 2 sampai 3 dari 11 kriteria yang terdiri dari:

  1. Terganggunya pengendalian diri, penggunaan substansi pada jumlah yang semakin banyak seiring dengan berjalannya waktu
  2. Menagih atau craving

  3. Meluangkan banyak waktu pada substansi
  4. Mencoba untuk mengendalikan dan/atau berhenti
  5. Bermasalah secara sosial atau interpersonal karena penggunaan
  6. Mengabaikan kewajiban utama sosial karena penggunaan
  7. Terganggunya aktivitas karena penggunaan
  8. Melanjutkan penggunaan meskipun beresiko (hazard use)
  9. Melanjutkan penggunaan meskipun fisik atau psikologis telah terganggu oleh substansi
  10. Toleransi obat (tolerance)
  11. Gejala penarikan (withdrawal)[6,9,11,15]

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa beberapa gejala tersebut di atas dapat ditemukan pada orang yang selalu mengonsumsi gula. Orang dengan kecanduan gula akan memiliki gejala seperti sifat menagih dan meningkatnya dorongan untuk mengonsumsi lebih.[1-19]

Gejala Withdrawal pada Sugar Addiction

American Heart Association (AHA) menyatakan jumlah maksimum konsumsi gula setiap hari adalah 37,5 gram atau 9 sendok teh untuk pria, dan 25 gram atau 6 sendok teh untuk wanita. Setelah membentuk kebiasaan mengonsumsi makanan berkadar gula tinggi dalam periode minggu hingga bulan, akan menyebabkan neuroplastisitas negatif dan penurunan regulasi reseptor dopamine D2 di otak, sehingga mengakibatkan defisiensi dopamine.[1,2,6,8]

Defisiensi dopamine menyebabkan gejala withdrawal atau gejala penarikan pada orang yang selalu mengonsumsi gula. Gejala withdrawal terlihat dari keinginan yang sangat besar untuk mengonsumsi gula, walaupun perilakunya tidak terlalu sama seperti kecanduan zat adiktif lainya. Perilaku yang mengancam jiwa tidak ditemukan secara langsung, tetapi dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan seperti obesitas yang dapat menyebabkan penyakit kronis yang berujung pada kematian.[1,2,5,6]

Gejala Toleransi pada Sugar Adiction

Gejala toleransi ditemukan pada orang yang selalu mengonsumsi gula, yaitu keinginan yang besar untuk mengonsumsi lebih dari biasanya, dari waktu ke waktu. Gejala toleransi disebabkan oleh penurunan regulasi reseptor dopamine D2 di otak yang mengakibatkan defisiensi dopamine. Untuk mencapai kesenangan semula dengan penurunan jumlah reseptor, orang dengan kecanduan gula memiliki kecenderungan untuk meningkatkan konsumsi gula. Penelitian Pretlow, 2011, menemukan pola toleransi pada 77% orang dengan kecanduan makanan, terlihat dari pengakuan responden untuk menambah jumlah gula seiring dengan berjalannya waktu.[6,7,9]

Dampak Buruk Sugar Addiction dan Obesitas

Rasa manis pada lidah, merupakan rasa paling menyenangkan yang diterima oleh otak. Pernyataan ini dibuktikan oleh studi internet kualitatif Pretlow tahun 2011. Keinginan besar untuk mengonsumsi makanan yang memanjakan selera lidah menyebabkan perilaku konsumsi gula yang berulang secara berlebihan hingga meningkatkan asupan kalori dalam tubuh. Konsumsi gula berlebihan telah terbukti menjadi salah satu kontributor terbesar dalam peningkatan berat badan, yang berujung pada obesitas dan dapat mengancam hidup.[1-5,7,20]

Obesitas telah menjadi masalah global semenjak berakhirnya perang dunia kedua. Penyebab obesitas bukan hanya sedentary lifestyle, tetapi juga karena pola makan yang merugikan. Sifat ketergantungan pada makanan manis dan tinggi lemak berkontribusi besar terhadap obesitas. Pada otak orang dengan obesitas, ditemukan adanya penurunan regulasi reseptor dopamine D2 yang juga ditemukan pada orang dengan kecanduan kokain dan heroin. Penurunan regulasi reseptor dopamine D2 yang ditemukan pada penderita obesitas juga ditemukan pada orang yang sering mengonsumsi gula.[1-7,11,14,20]

Dampak Buruk Sugar Addiction dan Gangguan Mental

Penurunan reseptor terjadi ketika tubuh secara terus menerus terstimulasi zat adiktif. Reseptor yang terus menerus terstimulasi membentuk pola toleransi terhadap zat. Penurunan regulasi reseptor dopamine D2 merupakan masalah mendasar pada orang yang kecanduan zat adiktif dan orang yang sering mengonsumsi gula. Terganggunya siklus dopamine menyebabkan gangguan perilaku seperti depresi ringan.[1,2,6,9]

Mengonsumsi makanan dengan kadar gula tinggi dapat meningkatkan status glikemik dalam darah yang akan berpengaruh pada serotonin otak. Lonjakan dopamine dan serotonin dalam otak ketika mengonsumsi gula memberikan perasaan nyaman dan bahagia, sehingga menghasilkan perilaku menagih yang adiktif. Perilaku mengonsumsi makanan yang mengandung kadar gula tinggi secara terus menerus menciptakan defisiensi serotonin. Kombinasi defisiensi dopamine dan serotonin menjelaskan asosiasi obesitas dengan banyak gangguan otak lainnya seperti depresi, gangguan kecemasan, gangguan bipolar, dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Selain itu, diet tinggi gula dapat menghasilkan ketergantungan yang berkaitan dengan gangguan kognitif dan neuroplastisitas secara negatif, seperti disfungsi hippocampal.[1-7]

Bagaimana Cara Mengatasi Sugar Addiction/Kecanduan Gula

Ulasan sistemik dari 495 studi oleh Codella et al pada tahun 2017 menuliskan cara mengatasi kecanduan gula dengan olahraga. Latihan fisik secara teratur merupakan strategi terapi yang baik karena berdampak positif pada ketidakseimbangan fisiologis. Peneliti mengakui keterbatasan studinya sehingga diperlukan lebih banyak penelitian pada manusia untuk mengkonfirmasi cara olahraga terbaik untuk kecanduan gula. Pernyataan untuk berolahraga juga disarankan oleh Gearhardt et al, 2011.[22,23]

Literatur mengenai kecanduan gula telah membahas secara signifikan hubungannya dengan obesitas. Sampai saat ini intervensi perilaku dan gaya hidup tetap menjadi terapi utama untuk obesitas, walaupun kepatuhan diet tetap merupakan suatu tantangan. Dimitrijević et al, 2015, menyarankan terapi tradisional seperti pada terapi kecanduan lainnya, yaitu terapi perilaku kognitif. Gearhardt et al, 2011, menyarankan beberapa hal seperti mempertimbangkan konsultasi psikologis dan ahli gizi. Cara lain seperti membuat diri kelaparan, pola makan tidak teratur, dan pola makan yang terdorong emosi, tidak disarankan karena dapat mempengaruhi kesehatan.[1-23]

Kesimpulan

Walaupun penelitian kecanduan gula pada manusia masih sedikit dibandingkan dengan studi pada hewan, istilah sugar addiction atau kecanduan gula dapat digunakan sebagai gangguan kesehatan. Pola kecanduan gula secara ilmiah telah dibuktikan dengan adanya gangguan neuroplastisitas, neurokimia, dan perilaku yang menyerupai pola kecanduan substansi adiktif.[1,2,14-19]

Kecanduan gula berdampak buruk pada tubuh karena mengonsumsi gula berlebihan telah terbukti menjadi salah satu kontributor terbesar dalam peningkatan berat badan hingga obesitas. Faktor berat badan berlebih diketahui memiliki pengaruh buruk bagi kesehatan, yaitu menyebabkan berbagai penyakit kronis yang berujung pada kematian. Selain itu, diet tinggi gula dapat mengakibatkan perilaku ketergantungan yang berkaitan dengan gangguan kognitif, neuroplastisitas secara negatif seperti disfungsi hippocampal, gangguan emosional seperti kecemasan, dan depresi ringan.[1-7]

Penelitian menemukan adanya tumpang tindih antara kecanduan gula dengan kecanduan zat adiktif lainya. Sehingga, disarankan pendekatan terapi kecanduan gula seperti terapi kecanduan lainya, yaitu terapi perilaku kognitif, serta rujukan pada psikologis dan ahli gizi.[1-14,19,20]

Referensi