Antibodi Monoklonal Sotrovimab sebagai Terapi Awal COVID-19

Oleh :
dr. Jocelyn Prima Utami

Sotrovimab merupakan salah satu pilihan terapi antibodi monoklonal yang digunakan sebagai terapi awal COVID-19, karena dipercaya dapat menurunkan risiko infeksi berat, komplikasi, bahkan kematian. Berbagai penelitian dilakukan secara cepat untuk menemukan terapi yang tepat dalam menurunkan morbiditas COVID-19, antara lain penelitian terapi antiviral, antiinflamasi, imunomodulator, dan antibodi monoklonal anti SARS-COV-2. Hingga saat ini, banyak penelitian yang masih mempelajari lebih lanjut mengenai efek samping dan kelebihan Sotrovimab.[1,2]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Antibodi Monoklonal untuk Terapi COVID-19

Antibodi monoklonal untuk terapi COVID-19 dikembangkan dalam waktu yang cukup cepat. Antibodi monoklonal adalah molekul yang dikembangkan untuk meniru dan meningkatkan sistem imunitas alami tubuh yang berespon pada infeksi. Kelebihan antibodi monoklonal adalah terapi dengan molekul yang dikembangkan untuk bekerja secara spesifik pada proses infeksi tertentu di dalam tubuh.[1-5]

Target utama dari antibodi monoklonal virus SARS-CoV-2 adalah tonjolan glikoprotein pada permukaan virus yang memediasi masuknya virus ke dalam sel host. Dengan kata lain, antibodi monoklonal menghambat proses interaksi antara virus dengan reseptor angiotensin-converting enzyme (ACE 2) yang dapat menyebabkan virus menginfeksi ke dalam sel. Antibodi monoklonal SARS-CoV-2 berpotensi untuk digunakan sebagai pencegahan dan terapi COVID-19.[1-5]

Antibodi Monoklonal Sotrovimab sebagai Terapi Awal COVID19-min

Terdapat tiga antibodi monoklonal yang telah disetujui US Food and Drug Administration (FDA), yaitu REGN-COV2 (casirivimab dan imdevimab), bamlanivimab/etesevimab, dan sotrovimab. Pasien COVID-19 diberikan antibodi monoklonal secara infus intravena.[1-5]

Efikasi Sotrovimab sebagai Terapi COVID-19

Sotrovimab atau VIR-7831 merupakan antibodi monoklonal manusia yang berasal dari antibodi sel B memori individu penyintas SARS-CoV tahun 2003. Sotrovimab telah disetujui FDA pada bulan Mei 2021 untuk penggunaan darurat terapi COVID-19.

Indikasi Sotrovimab sebagai Terapi COVID-19

Anjuran pemberian antibodi monoklonal sotrovimab adalah diberikan kepada pasien COVID-19 dengan kondisi sebagai berikut:

  • Gejala ringan-sedang
  • Usia di atas 12 tahun
  • Berat badan lebih dari 40 kg
  • Memiliki risiko tinggi perburukan, di antaranya komorbid obesitas, penyakit kardiovaskular, hipertensi, penyakit respiratori kronik, diabetes mellitus, kondisi imunokompromais atau dalam terapi imunosupresan, gangguan ginjal kronik, kehamilan, gangguan perkembangan saraf, serta kondisi pemakaian alat-alat medis seperti trakeostomi atau gastrostomi[1,2,4-6]

Penelitian Sotrovimab sebagai Terapi COVID-19

Studi klinis fase tiga COVID-19 monoclonal antibody efficacy trial-intent to care early (COMET-ICE) mengevaluasi efikasi dan keamanan sotrovimab pada 291 pasien COVID-19 ringan-sedang yang berisiko tinggi. Studi ini menunjukkan bahwa terapi sotrovimab dapat mengurangi 85% kebutuhan rawat inap dan kematian pasien COVID-19.[1,7-9]

Kelompok pasien rawat inap yang diberikan sotrovimab lebih sedikit memerlukan perawatan intensif daripada kelompok plasebo. Selain itu, persentase risiko rawat inap >24 jam atau risiko kematian pada kelompok sotrovimab hanya sebesar 1%, lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok plasebo yang mencapai 7%.[1,7-9]

Dosis Sotrovimab sebagai Terapi COVID-19

Studi COMET-ICE memberikan dosis tunggal sotrovimab 500 mg, diberikan intravena secara infus selama 1 jam.[1,7-9]

Efek Samping dan Keamanan Terapi Sotrovimab

Pasien yang mendapatkan terapi antibodi dapat mengalami efek samping, baik reaksi alergi maupun nonalergi. Hal ini karena aktivasi dari respons imunitas tubuh yang berbeda-beda terhadap antibodi. Namun, reaksi hipersensitivitas seperti anafilaksis jarang ditemukan pada terapi antibodi monoklonal.[3,4]

Risiko Efek Samping

Efek samping sotrovimab yang paling umum dilaporkan adalah bercak kemerahan dan diare. Studi COMET-ICE melaporkan efek samping dialami pada 17% subjek di kelompok sotrovimab, dan 19% di kelompok plasebo. Pelaporan efek samping tidak dipisahkan antara reaksi hipersensitivitas obat atau akibat tindakan lain selama dirawat inap atau gejala akibat COVID-19. Pada studi ini, tidak terjadi efek samping serius yang berkaitan dengan sotrovimab.[1,3,4,10]

Risiko Perburukan Klinis

Perburukan klinis dapat terjadi setelah pemberian antibodi monoklonal, seperti demam, hipoksia, napas berat, aritmia, dan gangguan kesadaran. Belum diketahui secara jelas apakah hal ini berkaitan dengan penggunaan antibodi monoklonal atau karena progresifitas penyakit.[1,2,4-6]

FDA tidak menyarankan penggunaan antibodi monoklonal untuk pasien COVID-19 yang dirawat inap dan memerlukan oksigen aliran tinggi atau ventilasi mekanik, karena berhubungan dengan hasil klinis yang buruk. Selain itu, penggunaan antibodi monoklonal juga tidak disarankan untuk pasien dengan komorbid paru, seperti pneumonia dan penyakit paru kronis.[1,2,4-6]

Kesimpulan

Terapi antibodi monoklonal, termasuk obat sotrovimab, disetujui FDA untuk penggunaan darurat dalam terapi COVID-19. Walaupun penelitian hingga kini masih mempelajari efikasi dan keamanan terapi antibodi monoklonal pada kelompok pasien tertentu, studi awal menunjukkan terapi antibodi monoklonal cukup memberikan efek baik dalam menurunkan risiko rawat inap, dan risiko perburukan pasien COVID-19 ringan-sedang.

Sotrovimab dapat diberikan pada pasien COVID-19 gejala ringan-sedang, dengan usia di atas 12 tahun, berat badan lebih dari 40 kg, dan menderita komorbid yang berisiko mengalami perburukan. Efek samping penggunaan sotrovimab umumnya ringan, seperti rash dan diare.

Namun, FDA tidak menyarankan sotrovimab untuk pasien COVID-19 yang dirawat di unit intensif, dengan terapi oksigen aliran tinggi atau ventilasi mekanik. Hal ini karena risiko perburukan klinis, seperti demam, hipoksia, napas berat, aritmia, dan gangguan kesadaran. Penelitian mengenai sotrovimab sebagai terapi COVID-19 masih sangat terbatas, sehingga masih diperlukan studi lebih lanjut.

Referensi