Pertimbangan Khusus Manajemen COVID-19 pada Kehamilan

Oleh :
dr. Utari Nur Alifah

Coronavirus disease 2019 atau COVID-19 pada ibu hamil akan meningkatkan risiko infeksi berat dan komplikasi kehamilan seperti persalinan preterm. COVID-19 merupakan infeksi yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Kehamilan akan menyebabkan perubahan fisiologis serta imun maternal, sehingga wanita hamil masuk kelompok risiko tinggi terhadap infeksi COVID-19.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Ibu hamil lebih berisiko mengalami gejala berat COVID-19. Selain itu, kebijakan yang berkaitan dengan penanganan pandemi COVID-19, seperti pembatasan sosial, juga dapat berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan ibu.[1,2]

Dampak COVID-19 pada Luaran Maternal

Perubahan fisiologis dan hormonal selama kehamilan membuat wanita hamil rentan terhadap infeksi pernapasan berat, termasuk infeksi COVID-19. Reseptor dari virus COVID-19, yaitu ACE2 yang meregulasi sistem renin-angiotensin, ekspresinya meningkat selama kehamilan. Interaksi dari virus dan reseptor ini diduga dapat berefek signifikan pada fungsi plasenta, perkembangan fetus, dan imunitas maternal.[1,3]

shutterstock_1752875924-min

Menurut data dari The Pregnancy and Neonatal Outcomes in Covid-19 (PAN-COVID) angka persalinan preterm pada wanita dengan infeksi COVID-19 lebih tinggi. Meski demikian, infeksi COVID-19 dilaporkan tidak berkaitan signifikan terhadap perkembangan janin, luaran neonatus, dan angka kejadian bayi lahir mati.Di sisi lain, ibu hamil dengan obesitas dikaitkan dengan infeksi yang lebih berat, peningkatan kematian maternal, dan peningkatan kebutuhan rawat inap.

Meski begitu, perlu diingat bahwa mayoritas data ini diambil sebelum adanya vaksinasi, sehingga mungkin memberikan gambaran risiko yang lebih tinggi dibandingkan keadaan sekarang.[4-7]

Dampak COVID-19 terhadap Luaran Neonatal

Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa angka persalinan preterm, mortalitas maternal, kebutuhan perawatan NICU, dan kematian neonatal lebih tinggi pada grup pasien dengan infeksi COVID-19 dibandingkan pasien tanpa infeksi COVID-19. Risiko luaran buruk neonatal lebih tinggi pada tingkat sosioekonomi rendah dibandingkan tinggi. Transmisi vertikal dari ibu ke bayi mungkin dapat terjadi, tapi efek jangka pendek dan jangka panjang terhadap neonatus belum diketahui pasti.[8,9]

Vaksinasi COVID-19 pada wanita hamil tidak meningkatkan risiko efek samping terhadap luaran neonatal. Sebaliknya, vaksinasi COVID-19 pada wanita hamil memiliki efek protektif terhadap luaran neonatal.[10]

Pertimbangan Khusus Manajemen COVID-19 pada Kehamilan

Sebagai tindakan preventif, wanita hamil direkomendasikan untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19, baik sebelum merencanakan kehamilan atau mengejar dosis vaksinasi selama kehamilan untuk mendapatkan efek protektif terhadap luaran maternal dan neonatal.[10]

Pemantauan dan Perawatan pada Ibu Hamil dengan COVID-19

Seperti pada wanita yang tidak hamil, infeksi COVID-19 pada wanita hamil dapat tampak sebagai kasus asimptomatik dan simptomatik dengan manifestasi klinis yang luas. Berat ringannya gejala, komorbiditas, dan status klinis pasien hamil sangatlah penting untuk menentukan rencana perawatan pada pasien. Ketika rawat inap diindikasikan, fasilitas kesehatan harus memiliki alat untuk memonitor status fetal dan maternal.

Secara umum, manajemen COVID-19 pada wanita hamil terdiri dari pemantauan fetal dan kontraksi uterus berdasarkan usia gestasi, rencana persalinan, dan pendekatan tim multidisiplin di bidang obstetrik, fetomaternal, penyakit infeksi, penyakit paru, layanan intensif, dan pediatri.[11]

Pada ibu hamil simptomatik, evaluasi terhadap radang paru-paru dapat dilakukan menggunakan rontgen toraks dengan dosis radiasi rendah atau sekitar 0,0005 hingga 0,01 milligray (mGy). CT scan dapat dipertimbangkan jika dianggap manfaatnya melebihi potensi risiko pada ibu hamil. Temuan klinis pada ibu hamil dengan COVID-19 umumnya serupa dengan orang yang tidak hamil, yakni konsolidasi bilateral dan terkadang disertai dengan pneumothorax atau pneumomediastinum.[12]

Penanganan COVID-19 pada Kehamilan

Manajemen COVID-19 pada kehamilan secara umum tidak jauh berbeda dengan pasien covid-19 yang tidak hamil. Namun perlu diperhatikan terkait obat-obat yang kontraindikasi selama kehamilan dan menyusui seperti penggunaan molnupiravir yang memiliki efek toksisitas terhadap fetus.[11]

Indikasi Rawat Inap:

Indikasi rawat inap pada pasien COVID-19 yang hamil adalah saturasi oksigen di bawah 94% pada udara ruang, laju respirasi lebih dari 30 kali/menit, PaO2/FiO2 di bawah 300 mmHg, dan infiltrat paru lebih dari 50%.[12]

Manajemen Pernapasan:

Target SpO2 pada ibu hamil dengan COVID-19 adalah di atas 95%. Apabila SpO2 di bawah 95%, maka analisis gas darah perlu dipertimbangkan. Pada perawatan ruang intensif, pasien hamil dengan infeksi berat dapat diposisikan semi-pronasi. Pada pasien yang menjalani intubasi, PaCO2 sebaiknya dipertahankan antara 30-32 mmHg karena alkalosis respiratorik secara signifikan akan mengurangi aliran darah ke uterus.

Pada kasus gagal napas karena COVID-19, ECMO maternal (extracorporeal membrane oxygenation) dapat dipertimbangkan dan persalinan selama ECMO terpasang dapat dilakukan secara aman. Apabila tidak terdapat fasilitas ECMO, maka pasien sebaiknya dirujuk ke tempat yang memiliki ECMO.[12]

Penggunaan Antikoagulan:

Hingga kini belum ada cukup data untuk mendukung atau menentang penggunaan terapi antikoagulan pada ibu hamil dengan COVID-19 yang tidak menunjukkan bukti kejadian tromboembolisme. Pasien hamil dengan infeksi COVID-19 yang tidak memerlukan rawat inap tidak perlu antikoagulan kecuali ada indikasi yang jelas.

Terdapat beberapa literatur yang merekomendasikan profilaksis tromboemboli vena menggunakan antikoagulan. Unfractionated heparin (UFH) digunakan pada pasien yang akan melahirkan dalam waktu dekat, sedangkan low molecular weight heparin (LMWH) digunakan pada pasien yang belum akan melahirkan dalam waktu dekat. Risiko perdarahan maternal dan janin perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan menggunakan heparin.[11,12]

Penggunaan Glukokortikoid:

Pada pasien hamil, glukokortikoid dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan infeksi berat yang menggunakan oksigen tambahan atau ventilator. Glukokortikoid juga berperan dalam penanganan syok refraktori dan pematangan paru janin

Empat dosis dexamethasone 6 mg secara intravena tiap 12 jam dapat diberikan, dilanjutkan dengan dexamethasone 6 mg secara oral atau intravena sekali sehari hingga 10 hari atau hingga pasien pulang dari rawat inap. Jika dexamethasone tidak tersedia, maka dapat diganti dengan hydrocortisone atau methylprednisolone dalam dosis yang setara.[11,12]

Pemberian Antivirus:

Kebanyakan uji klinis yang mengevaluasi efikasi antivirus dalam penanganan COVID-19 tidak melibatkan ibu hamil sebagai partisipan. WHO menyatakan bahwa kombinasi nirmatrelvir-ritonavir dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien COVID-19 derajat non-severe yang hamil dan memiliki risiko tinggi terkait keperluan rawat inap. Meski demikian, dalam memberikan antivirus dokter perlu berdiskusi dengan ibu hamil terkait potensi manfaat dan risiko pada ibu dan janin.

Favipiravir dan molnupiravir dikontraindikasikan pada kehamilan karena kekhawatiran tentang cacat lahir. Selain itu, kemanjurannya untuk mencegah infeksi berat dan kematian belum dikonfirmasi.[12,13]

Antenatal Care pada Pasien COVID-19

COVID-19 pada ibu hamil sebaiknya tidak menghalangi atau menurunkan kualitas antenatal care yang didapat. Pada pasien dengan COVID-19 yang asimptomatik atau telah pulih sebagian, perawatan prenatal sama seperti pasien tanpa COVID-19.

Risiko persalinan preterm pada pasien dengan infeksi antepartum asimptomatik atau simtomatik yang telah teratasi dilaporkan serupa dengan ibu hamil yang tidak memiliki riwayat infeksi. Meski demikian, perlu diketahui ada dua penelitian yang melaporkan bahwa pasien dengan COVID-19 trimester pertama atau kedua mengalami sedikit peningkatan risiko luaran kehamilan yang merugikan.[6,8,12]

Manajemen Persalinan pada Pasien COVID-19

Keputusan mengenai manajemen persalinan harus dibuat berdasarkan indikasi obstetri dibandingkan diagnosis COVID-19. Pasien hamil dengan COVID-19 yang ringan atau telah pulih tidak memiliki perbedaan terkait manajemen persalinan dibandingkan mereka yang tidak memiliki COVID-19. Sementara itu, pada pasien dengan gejala berat atau kritis, persalinan dengan metode sectio caesarea lebih direkomendasikan.[11,12]

Sebagian besar penelitian belum menunjukkan adanya virus COVID-19 dalam ASI, sehingga menyusui tidak dikontraindikasikan pada pasien dengan COVID-19 positif. Meski demikian, tindakan pencegahan diperlukan untuk menghindari penularan ke bayi, yakni dengan mempraktikkan kebersihan tangan yang baik, mengenakan masker, dan melakukan pembersihan pompa yang benar sebelum dan setelah memompa ASI.[11]

Kesimpulan

Wanita hamil tergolong kelompok yang rentan terhadap infeksi COVID-19. Ibu hamil juga berisiko lebih tinggi mengalami infeksi berat. Secara garis besar, penanganan ibu hamil dengan COVID-19 serupa dengan pasien yang tidak hamil. Perawatan antenatal tetap dilakukan dan COVID-19 tidak menjadi penentu manajemen persalinan.

Hal yang perlu diperhatikan adalah penggunaan berbagai farmakoterapi yang mungkin dikontraindikasikan selama kehamilan. Selain itu, perlu dilakukan pengawasan terkait tanda vital ibu dan janin pada pasien dengan infeksi derajat berat.  Ibu hamil dengan saturasi oksigen di bawah 94% pada udara ruang, laju respirasi lebih dari 30 kali/menit, PaO2/FiO2 di bawah 300 mmHg, dan infiltrat paru lebih dari 50% harus dirawat inap.

 

 

Penulisan pertama: dr. Saphira Evani

Referensi