Strategi Meningkatkan Cakupan Imunisasi Anak Pasca Pandemi COVID-19

Oleh :
dr. Qorry Amanda, M.Biomed

Strategi meningkatkan cakupan atau tingkat imunisasi anak pasca pandemi COVID-19 harus dilakukan, karena pandemi telah sangat berdampak negatif terhadap akses imunisasi anak. Penelitian Kementerian Kesehatan Indonesia dan UNICEF menunjukkan penurunan cakupan imunisasi rutin sebesar 11% pada tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.

Penurunan tingkat imunisasi tersebut mencerminkan dampak langsung dari pembatasan mobilitas, penundaan pelayanan kesehatan rutin, kekurangan tenaga kesehatan, ketidakpastian pasokan vaksin, dan penurunan kunjungan ke fasilitas kesehatan karena kekhawatiran penularan virus.

imunisasianakpascacovid

Penyebab Cakupan Imunisasi Anak Rendah Pasca Pandemi

Pembatasan mobilitas akibat pandemi menyulitkan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan secara optimal. Fokus utama pada penanganan COVID-19 menyebabkan penundaan pelayanan kesehatan rutin. Kekurangan tenaga kesehatan berpengaruh pada ketersediaan layanan imunisasi, sedangkan ketidakpastian pasokan vaksin terjadi akibat gangguan rantai distribusi secara global.

Selain itu, adanya kekhawatiran penularan virus turut menyebabkan penurunan kunjungan ke fasilitas kesehatan. Semua kendala ini menjadi bagian dari tantangan besar dalam menjaga kelangsungan program imunisasi dan layanan kesehatan yang sangat penting, terutama untuk anak-anak.[1,2]

Dampak Penurunan Cakupan Imunisasi Anak di Indonesia

Penurunan imunisasi berpotensi meningkatkan risiko penyakit serius seperti, campak, polio, difteri, tuberkulosis, dan hepatitis B. Peningkatan kasus penyakit-penyakit tersebut dapat terjadi akibat penurunan cakupan imunisasi, terutama pada kelompok berisiko tinggi.

Dampak penurunan cakupan imunisasi anak juga akan menyebabkan gangguan kekebalan kelompok (herd immunity), peningkatan risiko penyebaran penyakit, serta kenaikan beban kesehatan masyarakat yang signifikan. Peningkatan kunjungan ke fasilitas kesehatan, biaya pengobatan, dan dampak negatif pada kesehatan anak-anak adalah konsekuensi yang mungkin terjadi.

Lebih lanjut, penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi, seperti campak dan difteri, dapat menjadi fatal, dan penurunan imunisasi anak meningkatkan risiko kasus parah dan kematian akibat penyakit tersebut.[1]

Langkah Strategis untuk Meningkatkan Cakupan Imunisasi Anak

Langkah strategi untuk meningkatkan cakupan imunisasi anak di Indonesia pasca pandemi COVID-19  adalah edukasi berorientasi orang tua dan penanganan kekhawatiran akibat pandemi. Selain dari sisi pasien dan keluarga, hambatan dari tenaga kesehatan terkait vaksin harus dihilangkan.

Edukasi Berorientasi Orang Tua atau Keluarga

Agar imunisasi anak di Indonesia meningkat, penting untuk membuat orang tua lebih paham dan termotivasi. Salah satu cara yang efektif adalah pendekatan berorientasi klien, yaitu dengan memberikan informasi dan pengingat langsung kepada orang tua. Dengan cara ini, kita dapat merespons kekhawatiran dan pertanyaan mereka, serta menjelaskan pentingnya imunisasi anak secara lebih personal.

Intervensi berorientasi klien dapat melibatkan pendekatan edukasi kesehatan serta pengingat personal kepada pasien dan orang tua melalui teknologi komunikasi efektif, seperti pesan teks dan panggilan telepon.[3,4]

Studi dari Milkman et al. pada tahun 2021 menemukan bahwa pengingat imunisasi melalui pesan teks mampu meningkatkan tingkat imunisasi sebanyak 5%. Begitu juga, penelitian oleh Amin et al. pada tahun 2022 yang menyimpulkan bahwa pengingat WhatsApp untuk perawatan antenatal menunjukkan hasil yang positif.[5,7]

Temuan dari penelitian Hanley et al. tahun 2023 juga menyarankan penggunaan pengingat elektronik untuk merangsang respons positif dari pasien. Hal serupa juga dibuktikan oleh studi oleh Szilagyi et al. pada tahun 2020, yang menunjukkan bahwa pesan yang dipersonalisasi dapat meningkatkan tingkat imunisasi influenza.[4,6]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengingat imunisasi melalui pesan teks dan WhatsApp memiliki potensi untuk efektif dan diterima oleh pasien di Indonesia. Berbagai hasil studi menekankan pentingnya penggunaan pengingat yang dipersonalisasi untuk meningkatkan partisipasi imunisasi.[4-7]

Penanganan Kekhawatiran Akibat Pandemi

Pandemi COVID-19 menyisakan banyak kekhawatiran signifikan terhadap berbagai aspek kesehatan. Pembuat kebijakan imunisasi harus bisa mengidentifikasi faktor sosial, ekonomi, budaya, etnis, dan bahkan agama yang mungkin mempengaruhi partisipasi orang tua dalam mengikutsertakan anaknya dalam program imunisasi.[8]

Strategi komunikasi yang disesuaikan, untuk mengatasi kekhawatiran psikososial, keyakinan budaya, dan hambatan ekonomi, diperlukan untuk menyesuaikan kampanye vaksin dengan efektif. Keterlibatan pemimpin agama dan budaya dapat membantu membangun kepercayaan dan mengatasi pengaruh agama dan budaya terhadap penerimaan vaksin. Upaya penjangkauan yang ditargetkan, dengan mempertimbangkan disparitas ekonomi dan hambatan psikososial, dapat meningkatkan penerimaan dan pemanfaatan vaksin.[9]

Menghilangkan Hambatan dari Tenaga Kesehatan terhadap Vaksin

Penting juga bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk tidak menambah berbagai aturan yang akan menghambat jadwal vaksinasi anak. Misalnya menjadwalkan ulang vaksin pada anak dengan penyakit tidak serius atau demam. Demam bukan merupakan alasan penundaan vaksin.

Kesimpulan

Cakupan atau tingkat imunisasi anak di Indonesia terpengaruh secara signifikan akibat pandemi COVID-19. Hal ini terlihat dari penurunan cakupan imunisasi pada tahun 2020, yang disertai dengan berbagai hambatan dalam program imunisasi. Dampak penurunan cakupan imunisasi adalah potensi munculnya wabah campak, polio, difteri, tuberkulosis, dan hepatitis B. Selain itu, kekebalan kelompok (herd immunity) akan menurun dan beban kesehatan masyarakat akan meningkat.

Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, strategi meningkatkan cakupan imunisasi anak pasca pandemi perlu difokuskan pada edukasi langsung kepada orang tua/keluarga, serta penanganan kekhawatiran akibat pandemi.

Edukasi langsung harus dapat merespons kekhawatiran dan pertanyaan orang tua, serta menjelaskan pentingnya imunisasi anak secara lebih personal. Intervensi berorientasi klien yang telah terbukti berhasil adalah pendekatan edukasi kesehatan serta pengingat personal kepada pasien dan orang tua melalui pesan teks (termasuk WhatsApp) dan panggilan telepon.

Sementara, penanganan kekhawatiran orang tua harus ditangani dengan bentuk kampanye vaksin yang efektif. Bentuk kampanye harus disesuaikan berdasarkan kondisi psikososial, keyakinan budaya, dan hambatan ekonomi pada keluarga pasien. Salah satunya dengan melibatkan pemimpin agama dalam memperkuat kepercayaan serta meningkatkan partisipasi imunisasi anak. Menjaga dan meningkatkan cakupan imunisasi anak merupakan tindakan esensial dalam melindungi kesehatan masyarakat dan mencegah potensi wabah penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi.

Referensi