Skrining Prediabetes dan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Anak dan Remaja

Oleh :
dr. Ferdinand Sukher

Skrining prediabetes dan diabetes mellitus tipe 2 pada anak dan remaja merupakan upaya untuk mendeteksi diabetes mellitus secara dini. Dengan deteksi yang lebih awal, intervensi diharapkan bisa dilakukan dengan lebih cepat dan komplikasi bisa dikurangi. Namun, studi yang mengevaluasi apakah skrining memang bisa mengurangi komplikasi dalam jangka panjang sebenarnya masih terbatas.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar Indonesia pada tahun 2018, diabetes mellitus umumnya terjadi pada kelompok usia ≥15 tahun. Prevalensi pada anak yang berusia <15 tahun hanyalah 0,00–0,01%. Pada kelompok yang berusia 15–24 tahun, prevalensi diabetes mellitus yang didiagnosis berdasarkan konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2015 adalah 2%.[1]

Skrining Prediabetes dan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Anak dan Remaja-min

Prevalensi tersebut terkesan cukup rendah. Namun, berdasarkan data riset yang sama, prevalensi gula darah puasa (GDP) terganggu pada kelompok usia 15–24 tahun adalah 10,7% dan prevalensi toleransi glukosa terganggu adalah 16,8%. Hal ini menandakan bahwa cukup banyak remaja Indonesia berisiko mengalami diabetes. Salah satu faktor risiko diabetes mellitus adalah obesitas. Saat ini, prevalensi obesitas pada anak dan remaja juga dilaporkan kian meningkat secara global.[1-3]

Kriteria Skrining Prediabetes dan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Anak dan Remaja

Rekomendasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyarankan anak atau remaja untuk menjalani skrining jika memiliki faktor risiko diabetes mellitus tipe 2, yaitu:

Namun, saat ini belum ada rekomendasi yang lebih detail di Indonesia tentang usia ideal untuk mulai skrining, frekuensi skrining, dan jenis pemeriksaan yang digunakan. Beberapa negara menggunakan gula darah puasa, HbA1c, atau glukosa urine untuk melakukan skrining diabetes mellitus tipe 2 pada anak. Namun, anak dan remaja yang tidak memiliki indikasi belum dianjurkan untuk menjalani skrining tersebut.[1,4,5]

American Diabetes Association (ADA) memberikan rekomendasi skrining pada anak dengan usia 10 tahun atau pada saat pubertas. Skrining dilakukan dengan pemeriksaan HbA1c (>6,5%). Peserta skrining adalah anak atau remaja dengan obesitas (Indeks Massa Tubuh atau IMT > persentil 95) atau overweight (IMT > persentil 85) yang disertai dengan 1 faktor risiko.[2,6,7]

Menurut ADA, pemeriksaan dilakukan berkala setiap 3 tahun dan dapat dilakukan lebih cepat jika terjadi peningkatan IMT. Faktor risiko yang digunakan ADA adalah:

  • Riwayat diabetes maternal atau diabetes gestasional pada ibu saat hamil
  • Riwayat diabetes mellitus pada keluarga derajat 1 atau 2
  • Etnis Afrika-Amerika, Amerika natif, Latin, dan Amerika-Asia
  • Tanda resistensi insulin[2,6,7]

Kelebihan dan Kekurangan Skrining Prediabetes dan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Anak dan Remaja

Suatu tinjauan sistematik terhadap 8 studi dengan total 856 partisipan (rata-rata usia 14 tahun) telah berusaha mengevaluasi keuntungan dan kerugian skrining prediabetes dan diabetes mellitus tipe 2 pada anak dan remaja. Angka kejadian diabetes mellitus tipe 2 meningkat jika dibandingkan dengan 12 tahun yang lalu, sehingga deteksi dan terapi yang lebih dini diharapkan bisa mengurangi komplikasi dalam jangka panjang.[8]

Namun, tinjauan sistematik tersebut tidak berhasil menemukan hasil yang konklusif karena studi-studi yang ada masih berskala kecil dan tidak langsung membandingkan keuntungan dan kerugian skrining prediabetes dan diabetes mellitus tipe 2 pada anak dan remaja tanpa gejala.[8]

Kurangnya studi yang bisa memberikan bukti mendukung tentang manfaat skrining prediabetes dan diabetes mellitus tipe 2 pada anak dan remaja tanpa gejala membuat skrining hingga saat ini belum dilakukan secara universal pada anak-anak dan remaja. Meskipun skrining memungkinkan deteksi dini, ada kemungkinan bahwa skrining justru menyebabkan pemberian terapi berlebih (overtreatment) pada anak dan remaja. Selain itu, ada penelitian yang menunjukkan bahwa sensitivitas skrining ADA rendah.[6,8]

Pada usia remaja, hiperglikemia reaktif yang berhubungan dengan perubahan sistem hormonal mungkin terjadi. Saat kondisi hormon kembali stabil, hiperglikemia mungkin kembali normal dan tidak berlanjut. Pada kondisi seperti ini, terapi untuk hiperglikemia tidak perlu diberikan. Overtreatment dapat menyebabkan hipoglikemia pada anak dan remaja.[8,9]

Intervensi untuk Prediabetes dan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Anak dan Remaja

Untuk mengetahui kebutuhan skrining pada anak dan remaja tanpa gejala, penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih besar masih diperlukan. Sampel penelitian juga perlu merepresentasikan karakteristik masyarakat secara luas. Perbedaan genetik, budaya, dan pola makan memengaruhi risiko diabetes pada anak. Strategi skrining pada anak dapat menggunakan pendekatan yang lebih spesifik dan selektif.[3,10]

Tata laksana utama pada anak dan remaja dengan prediabetes dan diabetes mellitus tipe 2 dimulai dengan perubahan pola hidup. Perubahan pola hidup mencakup jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi serta aktivitas sehari-hari. Terapi medikamentosa diabetes mellitus tipe 2 untuk anak dan remaja yang dapat diberikan adalah metformin atau insulin. Obat-obatan lain saat ini belum dianggap aman untuk digunakan pada anak dan remaja.[4,11]

Berdasarkan penelitian, metformin dianggap mampu menjaga fungsi ginjal anak yang menderita diabetes mellitus. Insulin diberikan jika kadar gula darah anak masih tidak terkontrol dengan metformin. Pengobatan dan kontrol diabetes dilakukan pada anak dengan penyesuaian kebutuhan dan kemampuan anak merespons terapi.[4,11]

Ada studi yang melaporkan bahwa probiotik mungkin bermanfaat untuk kontrol glikemik pada pasien prediabetes. Namun, hal ini masih memerlukan studi lebih lanjut.

Kesimpulan

Skrining prediabetes dan diabetes mellitus tipe 2 pada anak dan remaja diharapkan dapat mendeteksi kondisi prediabetes maupun diabetes mellitus tipe 2 secara lebih dini, sehingga intervensi dapat dilakukan lebih awal dan komplikasi dapat dikurangi. Akan tetapi, studi-studi yang ada saat ini belum bisa secara konklusif membuktikan bahwa skrining benar dapat mengurangi angka komplikasi dalam jangka panjang.

Skrining yang dilakukan secara universal (nonselektif) pada anak dan remaja yang tidak memiliki gejala maupun faktor risiko dikhawatirkan tidak bermanfaat dan justru berisiko menyebabkan overtreatment dan penggunaan biaya medis yang tidak perlu.

Beberapa asosiasi medis menyarankan agar skrining dilakukan secara selektif pada anak dan remaja yang memiliki gejala resistensi insulin atau faktor risiko diabetes. Ke depannya, studi lebih lanjut yang mempelajari usia ideal untuk mulai skrining, frekuensi skrining, dan akurasi skrining dengan berbagai metode pemeriksaan masih diperlukan.

Referensi