Plasma Konvalesen untuk Pasien COVID-19 Risiko Tinggi yang Menjalani Rawat Jalan-Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Audiza Luthffia

Early Convalescent Plasma for High-Risk Outpatients with Covid-19

Korley FK, Durkalski-Mauldin V, Yeatts SD, et al. Early Convalescent Plasma for High-Risk Outpatients with Covid-19. The New England Journal of Medicine. 2021. DOI: 10.1056/NEJMoa2103784

Abstrak

Latar Belakang: Plasma konvalesen yang diberikan pada tahap awal infeksi COVID-19 diharapkan dapat mencegah progresi penyakit pada pasien COVID-19 dengan risiko tinggi.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Metode: Studi C3PO (Covid-19 Convalescent Plasma in Outpatients) merupakan sebuah uji acak dengan penyamaran tunggal yang dilakukan di beberapa fasilitas kesehatan (multisenter). Penelitian ini melibatkan pasien dengan gejala COVID-19 yang ditangani di unit gawat darurat dengan usia ≥50 tahun dan/atau memiliki setidaknya satu faktor risiko progresi penyakit.

Selain itu, pasien harus memenuhi kriteria inklusi maksimal 7 hari setelah awitan gejala dan dalam kondisi stabil untuk menjalani rawat jalan. Subjek penelitian dibagi dibagi secara acak untuk mendapatkan plasma konvalesen dengan titer antibodi yang tinggi terhadap virus SARS-CoV-2 atau plasebo.

Luaran utama yang dinilai adalah progresi penyakit dengan parameter kebutuhan hospitalisasi dengan sebab apapun, keperluan perawatan gawat darurat, serta kematian tanpa hospitalisasi yang dinilai dalam waktu 15 hari setelah randomisasi. Sebagai luaran sekunder, penelitian ini menilai derajat keparahan terburuk yang dinilai dengan skala ordinal 8 kategori, jumlah hari tanpa hospitalisasi dalam waktu 30 hari setelah randomisasi, serta kematian dengan sebab apapun.

Hasil: Sebanyak 511 subjek penelitian dibagi menjadi 257 pasien di kelompok plasma konvalesen dan 254 pasien di kelompok plasebo. Rata-rata usia pasien adalah 54 tahun dengan rata-rata durasi gejala 4 hari. Pada sampel donor plasma yang diperiksa, rata-rata titer antibodi penetral SARS-CoV-2 adalah 1:641.

Progresi penyakit dialami oleh 77 pasien (30%) pada kelompok plasma konvalesen dan 81 pasien (31,9%) pada kelompok plasebo. Perbedaan risiko pada kedua kelompok hanya sebesar 1,9% dengan interval kredibilitas 95% antara -6,0 sampai 9,8 dan probabilitas posterior dari superioritas plasma konvalesen sebesar 0,68.

Kematian terjadi pada 5 orang dari kelompok plasma konvalesen dan 1 orang dari kelompok plasebo. Tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok terkait keparahan terburuk dan jumlah hari tanpa hospitalisasi.

Kesimpulan: Pemberian plasma konvalesen untuk pasien COVID-19 risiko tinggi yang menjalani rawat jalan dalam waktu 1 minggu setelah awitan gejala tidak mencegah progresi penyakit.

Plasma Konvalesen untuk Pasien COVID-19 Risiko Tinggi yang Menjalani Rawat Jalan-Telaah Jurnal Alomedika-min

Ulasan Alomedika

Infeksi COVID-19 lebih berisiko mengalami progresi menjadi kondisi sistemik berat sampai dengan fatal pada populasi lanjut usia dan pasien dengan komorbid. Beberapa vaksin dapat menurunkan risiko infeksi berat COVID-19 tetapi terapi yang terbukti bermanfaat untuk COVID-19 masih terbatas.

Pemberian plasma konvalesen yang mengandung antibodi SARS-CoV-2 dari donor penyintas COVID-19 berperan sebagai imunisasi pasif dan dianggap berpotensi menurunkan keparahan COVID-19. Donor plasma dari penyintas merupakan cara yang paling banyak digunakan pada fase awal epidemi dan telah digunakan sebagai strategi penatalaksanaan sejak lebih dari 1 abad lalu. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pemberian plasma konvalesen pada populasi lanjut usia yang menjalani rawat jalan dalam waktu 72 jam sejak awitan gejala bermanfaat dalam mencegah progresi penyakit.[1,2]

Meski begitu, sampai saat ini uji klinis yang menilai manfaat pemberian plasma konvalesen terhadap luaran klinis pasien COVID-19 masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian plasma konvalesen dapat mencegah progresi COVID-19 menjadi derajat berat pada pasien risiko tinggi yang menjalani rawat jalan dalam waktu 7 hari sejak awitan gejala.

Ulasan Metode Penelitian

Studi C3PO merupakan uji klinis multisenter dengan desain studi acak, terkontrol plasebo, dan penyamaran tunggal. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan infeksi SARS-CoV-2 yang dikonfirmasi oleh uji asam nukleat atau RT-PCR dengan awitan gejala maksimal 7 hari sebelum waktu registrasi, berusia ≥50 tahun dan/atau memiliki setidaknya satu faktor risiko progresi penyakit.

Kriteria inklusi adalah individu dengan faktor risiko progresi COVID-19 berat, yaitu hipertensi, diabetes, penyakit jantung koroner, penyakit paru kronis obstruktif, penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD), imunosupresi, penyakit sel sabit, dan obesitas.

Seluruh pasien dipastikan stabil dan tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Kriteria eksklusi meliputi usia di bawah 18 tahun, tahanan penjara atau tahanan kota, pasien yang dinilai tidak mampu melakukan follow up, tidak mampu mendapat cairan 250 ml, memiliki riwayat efek samping transfusi produk darah atau mendapat transfusi dalam waktu 120 hari terakhir, serta telah menerima terapi COVID-19, berupa antibodi monoklonal atau vaksinasi COVID-19.

Pasien dikelompokkan secara acak untuk mendapat 1 unit plasma konvalesen atau plasebo berupa cairan salin normal. Penyamaran dilakukan dengan memberikan konsentrat multivitamin pada cairan salin agar memiliki warna yang mirip dengan plasma, keduanya juga ditutupi oleh kantong kedap cahaya untuk memperkuat penyamaran.

Intervensi diberikan secara intravena dengan durasi minimal 30 menit, dilanjutkan dengan periode observasi 60 menit. Pasien diberikan formulir berisi penilaian gejala yang dikumpulkan setiap 2 hari sekali melalui telepon atau surel selama 14 hari. Evaluasi juga dilakukan secara langsung atau melalui telepon pada hari ke-15 dan hari ke-30 untuk menilai gejala, keperluan perawatan medis, atau efek samping.

Luaran utama yang dinilai adalah progresi penyakit dalam 15 hari setelah intervensi, mencakup kebutuhan hospitalisasi dengan sebab apapun, kebutuhan perawatan gawat darurat, serta kematian tanpa hospitalisasi.

Luaran sekunder yang telah ditetapkan adalah derajat keparahan terburuk dalam 30 hari setelah randomisasi, yang dinilai dengan skala ordinal 8 kategori keparahan penyakit WHO; waktu yang dibutuhkan untuk gejala memberat dalam 15 hari setelah randomisasi, yang dinilai dengan skala ordinal 5 kategori luaran rawat jalan COVID-19; jumlah hari tanpa hospitalisasi dalam 30 hari setelah randomisasi; dan kematian dengan sebab apapun dalam 30 hari.

Analisis primer yang dilakukan pada uji ini menggunakan intention-to-treat analysis yang berarti seluruh subjek penelitian yang telah dirandomisasi diikutsertakan dalam analisis. Efikasi didefinisikan sebagai probabilitas posterior ≥0.975, di mana proporsi pasien yang mengalami outcome events lebih tinggi pada kelompok plasebo. Probabilitas posterior lebih dari 0,999 dianggap sebagai bukti superioritas plasma konvalesen. Analisis sensitivita juga dilakukan menggunakan per-protocol analysis.

Ulasan Hasil Penelitian

Penetapan luaran utama berupa progresi penyakit dalam jangka waktu 15 hari setelah randomisasi sudah tepat dan sesuai dengan blueprint desain uji klinis terapi COVID-19 yang diterbitkan oleh WHO. Pada penelitian ini, pemberian plasma konvalesen untuk pasien risiko tinggi dalam 7 hari setelah awitan gejala tidak menurunkan insidensi progresi penyakit bila dibandingkan dengan plasebo. Didapatkan 77 dari 257 pasien (30%) di kelompok plasma konvalesen dan 81 dari 254 pasien (31,9%) di kelompok plasebo mengalami progresi penyakit setelah 15 hari.[1,3]

Probabilitas posterior dari superioritas plasma konvalesen adalah 0,68. Angka tersebut tidak memenuhi ambang probabilitas posterior yang sudah ditetapkan, yaitu 0,999. Analisis per-protokol pada tiap-tiap parameter juga menunjukkan hasil yang serupa setelah dilakukan penyesuaian umur, jenis kelamin, durasi gejala, serta lokasi perekrutan. Hampir seluruh subjek yang direkrut mengikuti tahapan penelitian sampai selesai.

Pemberian plasma konvalesen juga tidak memengaruhi luaran sekunder yang dinilai pada studi ini. All-cause mortality dalam 30 hari setelah randomisasi adalah 5 pasien (1.9%) dan 1 pasien (0.4%) pada kelompok plasma konvalesen dan plasebo secara berurutan dengan penyebab kematian yang diuraikan dalam jurnal. Nilai terburuk pada skala keparahan dalam 30 hari setelah randomisasi ditemukan sama pada kedua kelompok.

Rata-rata hari tanpa hospitalisasi adalah 28,3 pada kelompok plasma konvalesen dan 28,6 pada kelompok plasebo. Pemburukan gejala dalam waktu 15 hari setelah randomisasi dialami oleh 107 pasien (41,6%) pada kelompok plasma konvalesen dan 116 pasien (45,7%) pada kelompok plasebo. Waktu yang dibutuhkan sampai mengalami pemburukan gejala ditemukan sama pada kedua kelompok (hazard ratio 0.90; 95% CI 0.69-1.17).[1]

Kelebihan Penelitian

Kekuatan penelitian ini terletak pada desain penelitian dan pendekatan analisis statistik yang digunakan. Uji klinis acak terkontrol plasebo mampu mendistribusi subjek penelitian secara merata dan sebanding pada kedua kelompok, sehingga menghasilkan luaran penelitian berkualitas baik. Penelitian ini menampilkan hasil luaran utama menggunakan dua pendekatan, yaitu intention-to-treat analysis dan per-protocol analysis.

 

Penelitian ini melibatkan cukup banyak subjek penelitian yang berasal dari 48 pusat kesehatan di 21 negara bagian. Sebanyak 511 pasien dengan berhasil memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat sehingga penelitian ini benar-benar berfokus pada pasien risiko tinggi yang mengalami infeksi COVID-19 fase akut. Luaran utama yang ditetapkan dalam penelitian ini sudah sangat tepat dan sangat terukur. Begitu pula untuk luaran sekunder yang diukur menggunakan skala ordinal.

Adanya efek samping pada masing-masing kelompok studi juga dilampirkan pada penelitian ini. Efek samping yang paling sering terjadi pada kelompok intervensi adalah reaksi yang berkaitan dengan infus plasma konvalesen. Tidak terdapat efek samping lain yang berkaitan dengan intervensi.

Limitasi Penelitian

Walaupun pasien tidak mengetahui alokasi intervensi yang diberikan serta plasebo telah dimodifikasi menyerupai plasma dan keduanya diberikan dalam kondisi tertutup, uji klinis dengan penyamaran tunggal memiliki risiko performance bias. Potensi bias lainnya dapat timbul dalam proses pengumpulan data, karena tidak semua pasien dievaluasi secara langsung melainkan melalui telepon atau email.

Penelitian ini menggunakan batasan 7 hari sejak awitan gejala, di mana dalam waktu terebut antibodi alami sudah mulai terbentuk sebagai respon terhadap infeksi SARS-CoV-2. Secara teori, plasma konvalesen lebih efektif diberikan sebelum terbentuk antibodi alami. Hal ini mungkin memengaruhi luaran dari penelitian.

Selain itu, terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap progresi COVID-19 dan kegagalan terapi plasma konvalesen seperti pemburukan pada penyakit penyerta, perbedaan karakteristik dari tiap-tiap varian virus SARS-CoV-2, serta faktor-faktor yang memengaruhi respons individu terhadap infeksi. Variabel tersebut tidak dianalisis sebagai faktor perancu yang berpotensi memengaruhi hasil penelitian.

Jurnal ini mendeskripsikan kriteria subjek penelitian, skala ordinal yang digunakan dalam pengukuran, serta mekanisme pelaporan efek samping dengan lengkap. Namun, hal tersebut tidak secara langsung dituliskan dalam isi jurnal melainkan dalam dokumen terpisah sehingga menyulitkan pembaca.[1]

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Hasil penelitian ini dapat memiliki beberapa implikasi dalam penggunaan plasma konvalesen di Indonesia. Studi ini menunjukkan bahwa plasma konvalesen tidak dapat mencegah progresi penyakit pada pasien COVID-19 rawat jalan yang berisiko tinggi.

Kebutuhan plasma konvalesen terus meningkat seiring meningkatnya kasus COVID-19. Pencarian donor plasma konvalesen telah menjadi salah satu fenomena tersendiri di tengah lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh dokter dalam mempertimbangkan pemberian plasma konvalesen sehingga dapat mencegah pengobatan yang tidak diperlukan. Jurnal ini juga dapat dijadikan dasar melakukan edukasi terhadap pasien yang mungkin meminta dokter memberikan tranfusi plasma konvalesen tanpa adanya indikasi.

Untuk memaksimalkan manfaat dari plasma konvalesen, masih diperlukan penelitian lebih lanjut terkait waktu terbaik pemberian terbaik sekaligus karakteristik pasien yang mendapat manfaat dari plasma konvalesen.

Referensi