Pilihan Pengobatan untuk Gangguan Panik

Oleh :
dr.Tommy Raharja, Sp.KJ

Pilihan pengobatan gangguan panik berulang mencakup intervensi psikologis dan farmakologis, termasuk antidepresan dan benzodiazepin. Pemilihan pengobatan perlu menyesuaikan dengan kebutuhan, karakteristik klinis, dan toleransi pasien.

Gangguan panik ditandai dengan episode kecemasan berat yang berulang dan tidak dapat diprediksi, yang disebut dengan serangan panik. Gejala utama dari serangan panik melibatkan jantung berdebar, nyeri dada, berkeringat, gemetar, pusing, muka memerah, mual, pingsan, dan sesak napas.[1-3]

Pilihan Pengobatan untuk Gangguan Panik

Antidepresan untuk Gangguan Panik

Terdapat beberapa pilihan antidepresan, termasuk selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), serotonin norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI), antidepresan trisiklik (TCA), dan monoamine oxidase inhibitors (MAOI).[7-9,13]

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor dan Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor

Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) and serotonin norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI) adalah golongan obat yang sering digunakan untuk mengatasi gangguan panik. SSRI dan SNRI, selanjutnya disebut sebagai SRI, adalah pengobatan pilihan untuk penatalaksanaan farmakologis gangguan panik.

SRI meningkatkan transmisi serotonergik secara keseluruhan melalui blokade selektif transporter serotonin presinaptik (SERT) yang biasanya mengangkut serotonin (5-HT) kembali ke neuron untuk didaur ulang, menyebabkan peningkatan neurotransmisi 5-HT secara umum. Proses ini mengarah pada berbagai perubahan hilir yang dihipotesiskan berperan dalam pengobatan kecemasan dan depresi, termasuk desensitisasi reseptor 5-HT1A postsinaptik di nukleus raphe batang otak.

SRI juga diduga memiliki efek antiinflamasi sistem saraf pusat dan induksi peningkatan neuroplastisitas dan neurogenesis di sirkuit otak utama yang dimediasi oleh pensinyalan faktor neurotropik. SNRI juga menghambat SERT dan meningkatkan konsentrasi sinaptik 5-HT. Selain itu, SNRI meningkatkan kadar norepinefrin (NE) dengan mengganggu aktivitas transporter NE (NET).[8]

Antidepresan Trisiklik

Beberapa antidepresan trisiklik (TCA) telah menunjukkan efikasi dalam gangguan panik. TCA bekerja dengan mengikat dan menghambat SERT dan NET serta secara langsung memodulasi reseptor 5-HT tertentu. Sayangnya, obat ini tidak selektif dalam afinitas reseptornya, sehingga menimbulkan berbagai efek samping.

Efek antagonis TCA pada reseptor asetilkolin muskarinik dapat menyebabkan mulut kering, konstipasi, retensi urin, penglihatan kabur, takikardia, dan gangguan kognitif. Pasien mungkin mengalami kenaikan berat badan atau sedasi yang signifikan karena blokade reseptor histamin-1 yang kuat oleh TCA. Blokade adrenergik alfa-1 sering menyebabkan hipotensi ortostatik dan pusing yang signifikan.

Penghambatan SERT yang mirip SSRI juga dapat menyebabkan efek samping seksual jangka panjang. TCA juga memiliki indeks terapeutik yang sempit dan mungkin mematikan jika terjadi overdosis melalui hipotensi, aritmia jantung, keracunan antikolinergik, dan gangguan neurologis mulai dari kejang hingga koma. Oleh karena itu, TCA harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat percobaan bunuh diri dengan overdosis obat.[8]

Monoamine Oxidase Inhibitor

Monoamine oxidase inhibitors (MAOI) adalah kelas terpisah dari antidepresan lain yang dapat digunakan untuk gangguan panik. Sebagai antidepresan pertama yang diperkenalkan, MAOI telah dilaporkan efektif dalam gangguan panik. Walaupun demikian, karena tingginya efek samping golongan obat ini, MAOI hanya digunakan ketika semua pengobatan lain tidak berhasil.[9]

Basis Bukti Efikasi Antidepresan untuk Gangguan Panik

Sebuah tinjauan sistematik Cochrane mengevaluasi hasil dari 41 uji klinis yang melibatkan total lebih dari 9000 partisipan. Tinjauan ini menemukan adanya bukti kualitas rendah bahwa antidepresan lebih efektif dibandingkan plasebo dalam terapi gangguan panik. Tinjauan ini menemukan adanya number needed to treat for an additional beneficial outcome (NNTB) sebesar 7, serta NNTB sebesar 27 dalam hal angka drop out yang lebih rendah.

Hasil tersebut memiliki arti bahwa 7 orang dengan gangguan panik perlu diobati dengan antidepresan agar 1 orang dapat memperoleh manfaat yang signifikan dalam mengurangi gejala. NNTB 27 dalam konteks drop out berarti bahwa antidepresan berkaitan dengan kemungkinan lebih rendah seseorang menghentikan pengobatan, di mana 27 orang perlu diobati dengan antidepresan agar 1 orang lebih sedikit berhenti dari pengobatan dibandingkan plasebo.

Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa tinjauan ini memiliki berbagai keterbatasan. Banyak dari penelitian yang diikutkan dalam analisis hanya mengevaluasi luaran jangka pendek. Selain itu, beberapa studi yang dianalisis memiliki potensi bias akibat pembiayaan dari perusahaan farmasi.[15]

Benzodiazepin untuk Gangguan Panik

Benzodiazepin adalah golongan obat psikoaktif yang dikenal karena efek depresan pada sistem saraf pusat (SSP). Benzodiazepin dengan cepat berdifusi melalui sawar darah otak untuk mempengaruhi neurotransmiter penghambat GABA dan memberikan efek sedatif. GABA adalah neurotransmiter paling umum di sistem saraf pusat, dan benzodiazepin terutama bekerja pada subunit reseptor GABA-A. Benzodiazepin efektif dan dapat ditoleransi dengan baik pada kasus gangguan panik, tetapi tetap memiliki risiko penyalahgunaan.[4-7]

Pada kasus gangguan panik, penggunaan benzodiazepine disarankan tidak lebih dari beberapa minggu untuk mengurangi risiko ketergantungan dan gejala putus zat. Meskipun demikian, banyak penelitian melaporkan penggunaan selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun.

Bila digunakan dalam jangka panjang, benzodiazepin dikhawatirkan dapat menimbulkan efek berbahaya, terutama pada lansia yang berisiko lebih tinggi mengalami gangguan psikomotor, kecelakaan berkendara, dan gangguan kognitif. Beberapa efek samping tambahan yang menjadi perhatian termasuk perilaku agresif dan ekspresi kemarahan. Faktor pendorong utama ketergantungan adalah berkembangnya toleransi, menyebabkan pengguna memerlukan peningkatan dosis untuk meredakan gejala yang sama.[5]

Basis Bukti Efikasi Benzodiazepin untuk Gangguan Panik Berulang

Dalam sebuah tinjauan klinis terhadap 84 pasien, ditemukan hasil bahwa 90% pasien yang menerima clonazepam dan 82% pasien yang menggunakan paroxetine terlepas dari serangan panik setelah 8 minggu pengobatan. Pada akhir 3 tahun pengobatan, pasien yang diobati dengan clonazepam monoterapi memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami kekambuhan serangan panik. Clonazepam memiliki profil efek samping yang lebih baik selama fase akut pengobatan, jangka panjang, dan penghentian pengobatan dibandingkan pasien yang diobati dengan paroxetine.[6]

Dalam sebuah tinjauan Cochrane, dilakukan analisis untuk membandingkan efikasi obat antidepresan dan benzodiazepin dengan plasebo dalam pengobatan akut gangguan panik, baik dengan atau tanpa agorafobia. Hasil dari 70 uji klinis acak yang melibatkan lebih dari 22.000 partisipan menunjukkan bahwa sebagian besar obat lebih efektif dibandingkan plasebo. Beberapa obat yang menonjol termasuk diazepam, alprazolam, clonazepam, dan adinazolam.

Menurut tinjauan ini, meskipun ada perbedaan dalam kelas obat, seperti antidepresan dan benzodiazepin, efikasi relatif mereka cenderung serupa. Terdapat kecenderungan bahwa benzodiazepin memiliki keunggulan kecil namun signifikan dalam hal tolerabilitas dibandingkan kelas obat lainnya. Meski demikian, perlu dicatat bahwa kualitas bukti umumnya rendah atau tidak jelas, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperkuat temuan ini.[2]

Antipsikotik untuk Gangguan Panik

Pedoman dari Kanada merekomendasikan antipsikotik hanya sebagai pilihan lini ketiga atau terapi tambahan untuk gangguan kecemasan. Beberapa antipsikotik yang dapat digunakan termasuk olanzapine, quetiapine, risperidone, atau aripiprazole. Walaupun demikian, penggunaan antipsikotik generasi kedua tersebut kurang direkomendasikan untuk gangguan panik.[10,11]

Basis Bukti Efikasi Antipsikotik untuk Gangguan Panik

Sebuah uji klinis label terbuka melibatkan 26 pasien untuk mengevaluasi efikasi pemberian quetiapine extended release (XR) secara bersamaan dengan terapi SSRI pada pasien dengan gangguan panik yang resisten terhadap SSRI. Meskipun terdapat perbaikan umum pada skor keparahan gangguan panik selama masa percobaan 8 minggu, tidak ada perbedaan signifikan secara statistik antara kelompok yang menerima quetiapine XR dan kelompok plasebo. Kekuatan bukti penelitian ini termasuk lemah karena sampel yang kecil dan metode label terbuka.[16]

Suatu tinjauan sistematik mengevaluasi hasil dari 5 studi yang memenuhi kriteria inklusi, yang melibatkan penggunaan quetiapine extended release, risperidone, dan ziprasidone selama delapan minggu. Secara keseluruhan, terdapat kurangnya bukti yang mendukung efikasi antipsikotik dalam mengatasi gejala panik. Meski ada sedikit bukti awal mengenai efikasi risperidone dalam mengatasi gejala panik, bukti tersebut tidak cukup untuk mendukung penggunaannya pada gangguan panik.[17]

Psikoterapi untuk Gangguan Panik

Sebuah tinjauan sistematik menyelidiki berbagai komponen terapeutik yang digunakan dalam cognitive-behaviour therapy (CBT) untuk gangguan panik, seperti relaksasi, pelatihan pernapasan, restrukturisasi kognitif, interoceptive exposure, dan in vivo exposure. Studi ini ingin mengetahui apakah komponen-komponen tertentu atau kombinasinya lebih efektif dibandingkan yang lain dalam pengobatan gangguan panik. Studi ini menggunakan metode yang disebut component network meta-analysis (NMA), yang memungkinkan mereka memisahkan efek pengobatan dari berbagai komponen yang terlibat dalam intervensi gabungan.

Total 72 studi dengan 4064 peserta dimasukkan dalam analisis. Hasil tinjauan menunjukkan bahwa interoceptive exposure dan setting tatap muka berkaitan dengan efikasi dan penerimaan pengobatan yang lebih baik, sementara relaksasi otot dan paparan virtual-reality memiliki efikasi lebih rendah. Komponen-komponen seperti pelatihan pernapasan dan in vivo exposure dilaporkan dapat meningkatkan penerimaan pengobatan dengan efek kecil pada efikasi.[12]

Dalam studi lain, dilakukan desain eksperimental untuk mengevaluasi efikasi CBT pada pasien dengan gangguan panik yang juga menderita penyakit arteri koroner (CAD). Pada studi ini, pasien dengan gangguan panik dan CAD stabil menerima 14-17 sesi individual CBT yang disesuaikan. Hasil menunjukkan bahwa tingkat remisi mencapai 83% pada akhir pengobatan dan follow-up 6 bulan. Intervensi ini tampaknya memberikan efek positif pada gejala kecemasan dan depresi, serta kualitas hidup.[14]

Kesimpulan

Terdapat berbagai pilihan terapi untuk gangguan panik, termasuk intervensi farmakologi dan psikoterapi. Secara umum, antidepresan dan benzodiazepin merupakan pengobatan farmakologi pilihan untuk mengatasi gangguan panik.

Di antara golongan antidepresan yang berbeda, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) lebih direkomendasikan dibandingkan monoamine oxidase inhibitors (MAOI) dan antidepresan trisiklik. Hal ini tentunya dengan mempertimbangkan efikasi, tolerabilitas, dan kemungkinan efek samping yang dapat terjadi selama pengobatan. Selain itu, beberapa bukti juga menunjukkan efikasi dari benzodiazepine dan cognitive behavioral therapy (CBT).

Meski demikian, perlu dicatat bahwa kualitas bukti terkait efikasi berbagai modalitas terapi gangguan panik masih rendah. Oleh karena itu, masih diperlukan studi lebih lanjut untuk menarik kesimpulan yang lebih pasti dalam memandu pilihan terapi. Uji klinis lanjutan perlu memiliki sampel lebih besar, menggunakan blinding, pengacakan, dan berbagai aspek metodologi lain untuk mengurangi bias. Pemantauan juga perlu dilakukan dalam jangka lebih panjang untuk mengevaluasi tingkat remisi, rekurensi, serta tolerabilitas jangka panjang.

Referensi