Pendahuluan Kanker Sinonasal
Kanker sinonasal merupakan keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasal. Lesi kanker dapat berasal dari berbagai komponen histologi pada traktus sinonasal, seperti mukosa Schneiderian, kelenjar saliva minor, jaringan saraf, ataupun jaringan limfatik. Kebanyakan kanker sinonasal berasal dari sinus maksilaris (60%). Tipe yang paling sering ditemui adalah karsinoma sel skuamosa, diikuti dengan tumor nonepitelial dan tumor kelenjar.[1-4]
Kanker sinonasal merupakan kondisi yang jarang. Kanker ini berkontribusi sebesar 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher dan sekitar 0,2-0,8% dari seluruh tumor invasif. Sebanyak 7-15% kasus kanker sinonasal melibatkan nodus limfatik di leher. Karsinoma sel skuamosa dapat ditemukan pada sekitar 70-80% kasus kanker sinonasal. [1,2] Di Indonesia, data epidemiologi kanker sinonasal masih terbatas, namun mengindikasikan angka kejadian yang jauh lebih tinggi dibandingkan perkiraan epidemiologi global. Hal ini mungkin disebabkan oleh paparan terhadap faktor risiko, misalnya debu kayu atau penggunaan kayu bakar di rumah, yang masih tinggi.[9]
Gejala yang dialami pasien dapat mencakup epistaksis, rhinorrhea, dan hidung tersumbat. [2,3] Secara histologi, tipe-tipe kanker sinonasal memiliki gambaran yang tumpang tindih, sehingga pemeriksaan penanda imunohistokimia dapat bermanfaat dalam membedakan jenis-jenis kanker sinonasal.[1]
Kebanyakan kasus kanker di sinus paranasal datang pada kondisi yang sudah lanjut dan angka kesembuhan umumnya buruk (≤50%). Hal ini karena gejala kanker sinonasal kurang spesifik dan terkadang sering didiagnosis sebagai kondisi lain, misalnya sinusitis, sehingga diagnosis dan tata laksana menjadi terlambat. Oleh sebab itu, kewaspadaan diperlukan untuk penapisan pada pasien dengan gejala nonspesifik berulang dan memiliki faktor risiko. Modalitas tata laksana bervariasi, mulai dari pembedahan, radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi dari beberapa terapi tersebut.[1,2,4]