Pedoman penanganan keganasan sinonasal dipublikasikan oleh European Society for Medical Oncology (ESMO) pada tahun 2025. Pedoman ini berisikan rekomendasi pendekatan diagnosis, tata laksana, dan pemantauan dalam pengelolaan keganasan sinonasal. Pedoman ini menekankan diagnosis dan pengobatan yang berfokus pada perawatan multidisiplin, termasuk pembedahan, radiasi, dan kemoterapi, tergantung pada karakteristik tumor dan faktor pasien.
Menurut pedoman klinis ini, pasien yang mengalami gejala sinonasal persisten selama ≥3 minggu perlu menjalani pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan, termasuk endoskopi nasal. Penatalaksanaan mencakup pembedahan, yang disarankan dilakukan pada kasus-kasus yang mana reseksi komplit dianggap memungkinkan.[1]
Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini
Penyakit | Keganasan Sinonasal |
Tipe | Diagnosis dan Penatalaksanaan |
Yang Merumuskan | European Society for Medical Oncology (ESMO) |
Tahun | 2025 |
Negara Asal | Uni Eropa |
Dokter Sasaran | Dokter Umum, Spesialis Onkologi, Spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT). |
Penentuan Tingkat Bukti
Dalam menyusun pedoman klinis, ESMO menerapkan sistem Level of Evidence (LoE) dan Grade of Recommendation (GoR) yang dinilai berdasarkan kekuatan dan kualitas data dari studi yang diterbitkan di jurnal medis peer reviewed. Setiap rekomendasi mencantumkan LoE dan GoR yang sesuai. Misalnya, rekomendasi dengan bukti kuat dan manfaat klinis yang substansial akan diberikan tingkat A.
Proses penentuan tingkat bukti juga mempertimbangkan status regulasi terapi yang direkomendasikan. ESMO mengizinkan pencantuman terapi yang belum disetujui oleh EMA atau FDA, dengan syarat bahwa terapi tersebut menunjukkan manfaat klinis yang signifikan, memiliki bukti ilmiah yang kuat dari publikasi peer reviewed, dan dijelaskan secara jelas bahwa terapi tersebut belum disetujui secara resmi.[2]
Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis
Rekomendasi utama dari pedoman klinis ini berfokus pada diagnosis yang cepat, penentuan stadium yang akurat, dan pendekatan pengobatan yang disesuaikan dengan skenario klinis pasien. Secara khusus, pedoman ini menekankan pentingnya pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan yang lengkap, termasuk endoskopi hidung, untuk pasien dengan gejala sinonasal persisten.
Diagnosis perlu dikonfirmasi dengan pencitraan radiologis dan histopatologi, dengan studi molekuler untuk menentukan subtipe. Penatalaksanaan bedah, termasuk pendekatan terbuka dan endoskopi, direkomendasikan dengan pertimbangan kemoterapi neoadjuvan pada kasus lanjut.[1]
Diagnosis Kanker Sinonasal
- Pasien dengan gejala sinonasal ≥3 minggu sebaiknya menjalani pemeriksaan THT, termasuk endoskopi nasal.
- Diagnosis kanker sinonasal perlu dikonfirmasi dengan pencitraan radiologi dan histopatologi, serta ditambahkan pemeriksaan imunohistokimia dan studi molekular.
- Pada kasus di mana lesi bersifat poorly differentiated atau termasuk dalam high grade tumor, pemeriksaan patologi harus dilakukan oleh ahli patologi terlatih dan di institusi tingkat tinggi.
- Analisis genetik molekular perlu dilakukan untuk mengetahui subtipe.[1]
Penentuan Stadium dan Penilaian Tingkat Risiko
- Penyebaran lokoregional perlu diperiksa dengan MRI.
- Pada pencitraan, periksa adanya penyebaran pada area berikut: dinding orbital dan lemak ekstrakonal, apeks orbital, area otak dan dura, sinus, area kelenjar lakrimal, tulang-tulang nasal, jaringan lunak premaksila, fossa infratemporal, area perineural dan subperiosteal, serta nodus retrofaringeal.
- Evaluasi metastasis jauh dengan PET scan disarankan dilakukan pada pasien dengan high grade tumor.[1]
Tata Laksana Karsinoma Sinonasal
Pilihan tata laksana untuk karsinoma sinonasal meliputi pembedahan, radioterapi (RT) dan terapi sistemik. Pengobatan ini dapat dikombinasikan untuk mengoptimalkan luaran klinis atau membatasi morbiditas pengobatan secara keseluruhan.
Pembedahan:
- Pembedahan dilakukan dengan mempertimbangkan apakah tumor dapat direseksi dengan margin bebas. Berbeda dengan lokasi anatomi lain di kepala dan leher, tidak ada rekomendasi tentang seberapa lebar margin seharusnya.
- Karsinoma sinonasal harus dianggap tidak dapat direseksi jika salah satu lokasi berikut terlibat: apeks orbital, sinus kavernosus atau kiasma optik, pembungkus arteri karotis interna, invasi otak masif dengan edema perilesional atau keterlibatan pembuluh darah utama (misalnya arteri serebral anterior).
- Setelah ablasi tumor, rekonstruksi primer yang tepat harus direncanakan dengan tujuan untuk menutup komunikasi oronasal, menutup defek dural, mengembalikan kontur kerangka maksilofasial, melindungi pembuluh darah yang, menyediakan rehabilitasi gigi, dan meminimalkan komplikasi radioterapi pascaoperasi.
- Kemoterapi neoadjuvan dapat diindikasikan pada tumor stadium lanjut yang tidak dapat dioperasi atau radioterapi dengan tujuan untuk menyusutkan ukuran tumor, sehingga mempermudah pembedahan atau radioterapi dan kemoradioterapi.[1]
Radioterapi:
- Radioterapi pascaoperasi dapat diindikasikan ketika tumor stadium lanjut lokal (pT3-T4), margin positif, invasi perineural, invasi kelenjar getah bening, atau tumor stadium lanjut atau berdiferensiasi buruk.
- Radioterapi pascaoperasi tidak direkomendasikan untuk tumor pT1 tingkat rendah yang hanya melibatkan infrastruktur dan dengan batas negatif serta tidak ada faktor risiko lain. Radioterapi pascaoperasi dapat diindikasikan pada tumor pT2. Radioterapi definitif dengan atau tanpa terapi sistemik dapat direkomendasikan untuk tumor yang tidak dapat direseksi.
- Untuk pasien dengan kontraindikasi pembedahan, baik karena preferensi atau tumor yang tidak dapat direseksi, radioterapi merupakan tata laksana pilihan, dan bisa disertai dengan kemoterapi.
Intensity-modulated radiotherapy (IMRT) menjadi standar untuk radioterapi karsinoma sinonasal.[1]
Terapi Sistemik:
Meskipun hanya ada sedikit bukti yang tersedia karena kelangkaan dan heterogenitas penyakit, kemoterapi sistemik sering digunakan dalam penanganan keganasan sinonasal stadium lanjut. Pada tata laksana kuratif, kemoterapi dianggap sebagai bagian dari terapi multimodal, sebagian besar sebagai neoadjuvant chemotherapy (NACT) atau bersamaan dengan radioterapi.
- NACT dapat dipertimbangkan pada tumor stadium lanjut lokal yang berpotensi sensitif terhadap kemoterapi, di mana pembedahan atau radioterapi dianggap memiliki morbiditas yang sangat tinggi (misal karena invasi orbital yang signifikan, kedekatan dengan kiasma).
- Pada tumor stadium lanjut dan berdiferensiasi buruk, pengobatan lokal regional dapat disesuaikan dengan respons tumor. Misalnya, kemoradioterapi definitif pada pasien dengan respons parsial atau komplit, dan pembedahan atau kemoradioterapi jika pembedahan tidak memungkinkan pada pasien dengan penyakit stabil atau progresif.[1]
Tata Laksana Rekurensi Kanker Lokal atau Regional:
Hanya tersedia sedikit informasi tentang rekurensi kanker sinonasal. Kekambuhan lokal atau regional setelah operasi dan radioterapi adjuvan diperkirakan terjadi pada 40-80% pasien dengan histologis dan stadium pada diagnosis primer yang bervariasi.
Sebagian besar tumor kambuh dalam 2-5 tahun setelah tata laksana primer, tetapi beberapa histologi spesifik dapat kambuh beberapa dekade setelah presentasi pertama. Pilihan tata laksana harus mempertimbangkan karakteristik penyakit, histologi tumor, dan harus didiskusikan oleh ahli multidisiplin.
Pembedahan saat ini merupakan pilihan untuk tumor yang dapat direseksi jika memungkinkan. Kemoterapi paliatif pilihan biasanya adalah cisplatin, yang dapat dikombinasikan dengan 5-fluorouracil, paclitaxel, docetaxel, atau cetuximab. Pada karsinoma neuroendokrin, etoposide dapat ditambahkan.[1]
Pemantauan Kanker Sinonasal
- Sebagaimana kanker kepala dan leher lain, follow-up kanker sinonasal umumnya direkomendasikan setiap 3 bulan pada tahun pertama, setiap 3-6 bulan pada tahun kedua, setiap 6-8 bulan pada tahun ketiga dan keempat, dan sekali setahun setelahnya.
- Pemantauan mencakup pemeriksaan endoskopi dan pencitraan (sebaiknya MRI). MRI dapat direkomendasikan dengan interval 6 bulan selama 3 tahun pertama.
- Edukasi pasien tentang prosedur kebersihan hidung untuk mencegah atau menghilangkan kerak hidung direkomendasikan bersama dengan pembersihan rongga endoskopi secara berkala di bawah bimbingan endoskopi.
- Fungsi tiroid dan pemantauan fungsi hipofisis dapat dipertimbangkan untuk gangguan klinis yang relevan dan setelah paparan radioterapi.[1]
Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia
Belum ada panduan klinis spesifik untuk kanker sinonasal di Indonesia. Secara umum, tata laksana kanker sinonasal di Indonesia menggunakan pendekatan multimodal yang terdiri dari bedah reseksi diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi. Faktor yang memengaruhi penentuan terapi meliputi penentuan stadium tumor, tipe histopatologi, umur, dan riwayat pengobatan sebelumnya.[3]
Kesimpulan
European Society for Medical Oncology (ESMO) mempublikasikan pedoman klinis pengelolaan keganasan sinonasal pada tahun 2025. Pedoman ini ini memberikan rekomendasi dan algoritma utama untuk mengelola keganasan sinonasal, yang mencakup:
- Anjuran pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan, termasuk endoskopi nasal, pada pasien dengan gejala sinonasal ≥3 minggu, yang mana konfirmasi diagnosis dilakukan dengan pencitraan radiologi dan histopatologi, serta ditambahkan pemeriksaan imunohistokimia dan studi molekular.
- Pembedahan menjadi pilihan untuk tumor yang dapat direseksi dengan margin bebas, dengan rekonstruksi primer yang direncanakan secara individual untuk meminimalkan morbiditas dan memfasilitasi terapi lanjutan.
- Radioterapi pascaoperasi diindikasikan untuk tumor lokal lanjut (pT3-T4), margin positif, atau faktor risiko seperti invasi perineural.
- Kemoterapi sistemik dapat dipertimbangkan untuk tumor lokal lanjut yang tidak bisa dioperasi atau dengan risiko morbiditas tinggi.
- Pemantauan pasca terapi melibatkan endoskopi rutin dan pencitraan berkala (MRI tiap 6 bulan selama 3 tahun pertama), serta edukasi kebersihan hidung dan evaluasi fungsi tiroid dan hipofisis jika relevan.
Mengingat belum adanya pedoman penanganan keganasan sinonasal di Indonesia, pedoman klinis ini bisa digunakan untuk memandu keputusan klinis dokter terkait diagnosis dan penatalaksanaan.