Penatalaksanaan Atelektasis
Penatalaksanaan atelektasis ditentukan oleh penyebab yang mendasari. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk merestorasi serta mempertahankan patensi jalan napas, dan menyediakan tekanan transpulmonal yang adekuat untuk mengatasi tekanan recoil paru.
Tata laksana awal atelektasis meliputi stabilisasi tanda-tanda vital dan intervensi untuk mengatasi penyebab atelektasis, misalnya tindakan dekompresi pada pneumothorax. Apabila penyebab adalah obstruksi, tindakan yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan obstruksi adalah suction, fisioterapi, dan bronkoskopi terapeutik.[5]
Pada atelektasis kronis, pembedahan dapat dilakukan berupa reseksi segmental atau lobektomi.[2]
Oksigenasi dan Reekspansi Paru
Pada atelektasis yang menyebabkan hipoksia, dibutuhkan oksigenasi untuk mencapai saturasi oksigen arteri 90% atau lebih. Continuous positive airway pressure (CPAP) melalui nasal kanul atau masker dapat efektif meningkatkan oksigenasi dan membantu reekspansi paru.
Kasus hipoksia berat disertai distres pernapasan memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Selain untuk oksigenasi, intubasi memberikan akses untuk suction jalan napas dan bronkoskopi jika diperlukan. Ventilasi tekanan positif dan volume tidal yang lebih besar dapat membantu reekspansi paru.[2,5]
Fisioterapi
Fisioterapi dada umumnya dilakukan untuk atelektasis obstruktif akibat mucus plug. Fisioterapi bertujuan meningkatkan efektivitas batuk dan klirens sekresi dari jalan napas. Fisioterapi dada meliputi drainase postural, perkusi dan vibrasi dinding dada, serta teknik ekspirasi paksa (huffing). Kontraindikasi fisioterapi adalah pasien dengan trauma thorax dan pasien imobilisasi.[2,5]
Pada atelektasis lobar akut, posisi elevasi lobus yang terkena serta drainase sekret diharapkan dapat membuka kembali segmen paru atas. Pasien dengan obesitas berat umumnya diposisikan tegak untuk mencegah kompresi jalan napas. Mengubah posisi dari terlentang ke tegak meningkatkan kapasitas residu fungsional paru dan mengurangi atelektasis.[5,6]
Namun, reposisi kurang bermanfaat pada pasien dengan atelektasis adhesif atau jika sumbatan pada bronkus belum disingkirkan.[5]
Spirometri Insentif
Pada pasien post operatif, terutama setelah operasi jantung, ateletaksis sering menjadi komplikasi yang bisa memperberat kondisi pasien, memperpanjang durasi rawat inap, dan dapat menyebabkan mortalitas. Spirometri insentif digunakan untuk mengurangi keparahan ateletaksis. Spirometri insentif bekerja membuka alveoli dengan menjaga inspirasi maksimal. Walaupun demikian, keberhasilan intervensi ini bergantung dari tingkat kepatuhan pasien.
Spirometri insentif dilakukan menggunakan sebuah alat yang akan memberi sinyal pada pasien terkait pernapasannya. Sederhananya, alat spirometri insentif akan memberikan sinyal yang menandakan volume ataupun hembusan pernapasan pasien sudah adekuat. Hal ini akan membantu pasien mengambil napas maksimal, sehingga diharapkan mempercepat perbaikan fungsi paru.[12]
Bronkoskopi Fiberoptic
Bronkoskopi dilakukan ketika dicurigai terdapat obstruksi bronkus dan upaya batuk, penggunaan suction, fisioterapi, atau bronkodilator tidak berhasil. Sebuah studi menunjukkan bahwa bronkoskopi membantu mengetahui derajat dan penyebab obstruksi trakeobronkial.[2,6]
Terapi Farmakologis
Nebulisasi dengan N-acetylcystein dapat dilakukan pada atelektasis akibat mucus plug untuk meningkatkan klirens sekresi. Bronkodilator dapat bermanfaat sebagai ekspektoran dan membantu meningkatkan ventilasi.[2,5,6]
Antibiotik spektrum luas diindikasikan jika penyebab atelektasis adalah infeksi. Antibiotik juga diberikan pada atelektasis pasca pembedahan. Jika terdapat hasil kultur sputum atau sekresi bronkus, pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil pemeriksaan.[2,5]
Pemberian antitusif umumnya dihindari karena mengurangi refleks batuk dan dapat mengakibatkan obstruksi lebih lanjut. Penggunaan analgesik perioperatif dapat memudahkan pasien bernapas lebih dalam, batuk lebih keras, dan berpartisipasi dalam manuver fisioterapi dada.[2]