Efek Sevoflurane Terhadap Sindrom Gangguan Kognitif dan Delirium Pascaoperasi

Oleh :
dr. Andrian Yadikusumo, Sp.An

Sindrom gangguan kognitif dan delirium pascaoperasi (postoperative cognitive dysfunction/POCD) salah satunya disebabkan oleh penggunaan anestesi inhalasi jenis sevoflurane. POCD memiliki insidensi yang tinggi pada pasien dengan penyakit kritis dan sering ditemukan pada pasien yang menjalani operasi mayor. Secara umum, insidensi kejadian ini terjadi pada hari ketujuh pada operasi mayor selain operasi jantung adalah 25,8%. Ada beberapa perdebatan tentang peran sevoflurane dalam POCD. Menurut literatur sevoflurane memiliki efek neuroprotektif dengan dosis kurang dari 1 Minimal Alveolar Concentration (MAC) yang berkisar antara 1,8–2 Vol% pada pasien dewasa.[2]

Pada penelitian lain insidensi POCD ditemukan 21,2% setelah anestesi umum dan 12,7% pada anestesi regional. Usia lanjut merupakan faktor risiko yang sangat berperan terhadap kejadian POCD dengan insidensi 41,4% pada usia lebih dari 60 tahun.

Efek Sevoflurane Terhadap Sindrom Gangguan Kognitif dan Delirium Pascaoperasi-min

Penyebab Multifaktor Sindrom Gangguan Kognitif dan Delirium Pascaoperasi (POCD)

Penyebab terjadinya POCD masih belum dapat ditentukan dengan jelas.Proses tersebut diperkirakan proses terjadinya POCD. Kemungkinan etiologi termasuk kerusakan dari sel otak yang disebabkan oleh bahan-bahan racun (toxic substance) dan yang dapat berasal dari obat-obat anestesi. Selain itu, respon tubuh terhadap tindakan pembedahan yang menyebabkan pelepasan hormone dan mediator-mediator pro inflamasi atau keadaan hipoksia.[3]

Hipoksia intraselular dapat diakibatkan oleh arterial hipoksemia atau rendahnya perfusi yang diakibatkan oleh rendahnya cardiac output. Renda perfusi dapat menyebabkan lambatnya aliran darah, thrombosis atau terjadinya emboli. Terdapat bukti yang cukup baik tentang mekanisme terjadinya POCD pasca operasi jantung (cardiac surgery), dikatakan bahwa disebabkan karena multifactorial termasuk microemboli, stenosis pada arteri koroner sinistra lebih dari 50% dan infark miokard akut dengan syok kardiogenik.[3]

Faktor Risiko Sindrom Gangguan Kognitif dan Delirium Pascaoperasi  (POCD)

Faktor risiko terjadinya gangguan kognitif dan delirium pascaoperasi (POCD) karena beberapa faktor yaitu adanya faktor dari pasien, jenis pembedahan dan anestesi. Pada pasien yang mempunyai tingkat edukasi yang rendah, riwayat penyakit demensia, lanjut usia (>65 tahun) dan penyakit komorbiditas lainnya, dapat meningkatkan resiko terjadinya POCD.

Dalam studi Kotekar et. al, menunjukkan faktor anestesi yang berpengaruh terhadap terjadinya kejadian delirium dan penurunan fungsi kognitif pasca operasi. Penurunan fungsi kognitif pascaoperasi menurut Kotekar, berhubungan dengan teknik anestesi umum dengan pendekatan konvensional. Teknik anestesi umum dengan pendekatan konvensional ini adalah teknik dimana penggunaan anestesi didasarkan dengan pemakaian agen inhalasi murni atau intravena murni, penggunaan opioid dosis tinggi tanpa teknik multimodal analgesia, puasa preoperatif yang lama, dan penggunaan opioid pascaoperasi dosis tinggi.[4]

Pembedahan melibatkan stres, imobilisasi, dan lama tinggal yang tidak terduga di lingkungan yang tidak dikenal, yang semuanya memiliki hubungan dengan penurunan kognisi pada orang tua.[4]

Aktifitas fisik yang moderat and keterlibatan sosial memiliki peran positif dalam peningkatan fungsi kognitif pada lansia yang sehat ataupun yang memiliki riwayat gangguan kognitif. Selain itu, aktivitas fisik dapat menurunkan gangguan kognitif pada pasien-pasien depresi, terisolasi maupun yang menjadi tergantung pasca operasi.[4]

Dari semua faktor risiko tersebut, Evered et. al, menunjukkan bahwa tindakan coronary artery bypass surgery (CABG) memiliki kejadian POCD sebesar 43% dibandingkan dengan prosedur total hip replacement surgery yang hanya memiliki kejadian 17%.[6]

Sevoflurane Sebagai Agen Inhalasi

Sevoflurane sering digunakan sebagai agen anestesi inhalasi dikarenakan sifatnya yang memiliki volume distribusi yang tinggi, onset dan half-life yang cepat dan wash out yang mudah dilakukan. Konsentrasi minimum alveolar (MAC) sevoflurane dalam oksigen untuk orang dewasa 40 tahun adalah 2,1%. MAC sevoflurane menurun sesuai dengan usia.[7]

Efek Sevoflurane terhadap Sel Neuron

Sevoflurane memiliki efek neuroprotektif yang didasarkan pada mekanisme anti-reperfusi injury dan melalui perubahan sinyal sel ke sel yang menurunkan kejadian apoptosis sel-sel neuron.[8,9]

Menurut Wang et. al, sevoflurane memiliki efek neuroprotektif melalui jalur Anesthesia Preconditioning (APC) yang terbukti dengan penurunan area infark pada percobaan terhadap tikus yang menderita infark serebral, yang diberikan inhalasi sevoflurane dan oksigen selama 30 menit setiap harinya selama 4 hari. Selain itu, dalam studi Chen et. al, didapatkan bahwa VA (Volatile Anesthesia) memiliki efek yang menguntungkan untuk melindungi miosit dan neuron dari ischemia/reperfusion injury.[9]

Kejadian POCD Pada Penggunaan Sevoflurane

Studi terakhir menunjukkan tidak adanya perbedaan antara teknik anestesi yang digunakan dengan kejadian POCD yang terjadi. Pada tahun 2011, Guay melakukan meta-analisis studi pada 26 randomized controlled trials dengan 2365 pasien yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara teknik anestesi regional dan anestesi umum pada kejadian POCD pada pasien dengan operasi non cardiac.[11]

Menurut Schoen et. al, anestesi berbasis sevoflurane dikaitkan dengan kinerja kognitif pasca operasi jangka pendek yang lebih baik daripada propofol.[8]

Dalam studi ini, 128 pasien secara acak diberikan i.v. anestesi dengan propofol atau sevoflurane dan diuji tes The Abbreviated Mental Test, Stroop Test, Trail-Making Test, Word Lists, and mood-assessment  sebelum dan sesudah 2, 4, dan 6 hari setelah operasi jantung. Namun pada penelitian lain, menunjukkan bahwa propofol memiliki efek POCD yang lebih berat dibandingkan dengan sevoflurane.[5]

Penggunaan Sevoflurane Pada Pasien Pediatri

Penggunaan teknik low flow anesthesia (LF) dengan wash out sevoflurane yang cukup cepat, menghasilkan kejadian delirium pasca anestesi yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan high flow anesthesia (HF). Dalam studi ini, 200 pasien anak usia 6 bulan–6 tahun, diuji dalam penggunaan anestesi dengan teknik LF dan HF, disimpulkan efektivitas low flow anesthesia (LF) 92,7% dalam mengurangi kejadian delirium pasca anestesi.[12]

Penggunaan Sevoflurane pada Praktek Sehari-hari

Sevoflurane memiliki efek samping yaitu terjadinya delirium pasca anestesi yang ditengarai akibat washout yang kurang bersih saat terjadinya kondisi pulih sadar. Pada tahun 2010, Pieters et. al, menunjukkan kejadian delirium pasca anestesi pada anak–anak prasekolah yang mendapatkan propofol dibandingkan dengan sevoflurane didapatkan waktu pantau di PACU yang lebih pendek pada propofol. Dengan kejadian delirium pasca operative sadar sebesar 23,1% pada pasien yang menerima sevoflurane dibandingkan 3,7% dengan propofol.[13]

Menurut Makmur et. al, waktu pemulihan setelah anestesi umum dengan penggunaan teknik ERAS (early rise after anesthesia) with low flow anesthesia lebih cepat dibandingkan daripada teknik anestesi high flow anesthesia dengan konsumsi sevofluran lebih sedikit.[14]

Meminimalkan Risiko POCD

Pada proses pembedahan minor yang dilakukan pada pada pasien rawat jalan dengan rawat inap pascaoperasi yang minimal, memiliki risiko yang rendah pada pasien lansia untuk menjadi POCD. Dengan adanya kompleksitas operasi dan durasi yang lebih lama, meningkatkan resiko POCD. Program ERAS pra operasi memberikan prioritas pada optimalisasi penyakit kronis untuk mencapai status fisik terbaik, penilaian anestesi yang dipimpin konsultan, konseling pra operasi, dan pra-habilitasi.[4]

Kesimpulan

Penggunaan sevoflurane sebagai anestesi inhalasi terhadap efek POCD masih dalam perdebatan karena agen ini sudah lama digunakan dan mempunyai positive risk-benefit ratio pada pasien yang luas. POCD merupakan kondisi multifactorial dengan berbagai faktor risiko yang sulit dimodifikasi yang memiliki hipotesis yaitu perubahan hemodinamik yang masif dan menyebabkan hipoksia jaringan neuron yang memperparah fungsi kognitif pasca operasi.[2,15]

Sevoflurane merupakan agen anestesi utama saat ini dikarenakan sifatnya yang tidak iritan, onset dan half-life yang cepat, volume distribusi yang besar, biaya yang murah, dan wash out yang mudah dilakukan.[7,12]

Studi yang telah dikonfirmasi oleh Wang et al, dan Chen et. al, sevoflurane memiliki efek  neuroprotektif yang diperkirakan karena kondisi APC yang memiliki efek anti reperfusi dan merubah sinyal sel ke sel yang memperlambat terjadinya ischemia dan apoptosis.[9-10]

Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa dibandingkan dengan propofol, sevoflurane hanya meningkatkan kejadian POCD. Teknik seperti menggunakan anestesi aliran rendah, optimasi pra-operasi komorbiditas, penurunan waktu puasa dan tindakan ERA lainnya menurunkan risiko POCD. Efikasi dan jalur sevoflurane dalam mencegah terjadinya delirium pasca pulih sadar sampai saat ini merupakan topik yang perlu diteliti lebih lanjut.

 

Direvisi oleh: dr. Andrea Kaniasari

Referensi