Penatalaksanaan Infeksi CMV
Penatalaksanaan infeksi CMV (cytomegalovirus) perlu dibedakan untuk penatalaksanaan pada wanita hamil, bayi, pasien dewasa dengan status imunokompromais seperti penderita HIV, pasien pasca transplantasi, Sistemik Lupus Eritematosus, dan meminum obat kortikosteroid lama. Serta pasien dewasa dengan status imunokompeten. Selain itu, tindak lanjut diperlukan untuk dapat melihat progresifitas dari penyakit dan kemajuan pengobatan yang diberikan.
Penatalaksanaan Khusus pada Wanita Hamil
Hyperimmunoglobulin (HIG) cytomegalovirus tidak direkomendasikan untuk diberikan rutin pada ibu hamil dalam upaya mencegah infeksi CMV. HIG sebaiknya hanya diberikan pada ibu hamil yang sudah terbukti terinfeksi CMV. Hal ini disebabkan karena pemberian HIG dapat menurunkan angka malformasi kongenital pada janin. HIG dapat diberikan dengan dosis 200 U/kg.[1]
Penggunaan terapi antiviral tidak direkomendasikan untuk diberikan pada kehamilan. Modifikasi perilaku gaya hidup dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat diperlukan untuk mencegah penularan infeksi CMV pada ibu hamil. Pola hidup yang diperlukan adalah tidak berbagi makanan, minuman, maupun peralatan makan dengan anak-anak, hindari kontak saliva dengan anak-anak, termasuk ketika mencium ataupun membersihkan dot bayi, dan rajin mencuci tangan menggunakan air dan sabun ketika memiliki kontak erat dengan anak-anak.[1]
Antiviral pada Bayi
Penatalaksanaan infeksi CMV pada bayi hanya diberikan pada bayi yang memiliki gangguan saraf pusat dan pada bayi yang mengalami derajat berat ataupun adanya kerusakan organ (hepatitis, pneumonia, dan trombositopenia).[3] Pemberian antiviral tidak direkomendasikan pada neonatus yang terkena infeksi CMV, namun bersifat asimptomatik, juga pada pasien yang hanya memiliki gejala tuli sensorineural, serta pada neonatus dengan gejala ringan dari infeksi CMV. Pemberian antiviral dilakukan dalam usia 1 bulan pertama.[1]
Antiviral lini pertama yang digunakan adalah gansiklovir, yang merupakan analog nukleosida asiklik. Gansiklovir bekerja dengan fosforilasi pada sel yang terinfeksi virus dan kemudian mengeluarkan zat yang berperan sebagai antiviral pada sel yang terinfeksi. Gansiklovir hingga saat ini juga terbukti dapat memberikan dampak baik pada gangguan sistem saraf pusat yang diakibatkan oleh infeksi CMV tersebut.[3] Pada neonatus yang terinfeksi CMV yang bersifat simptomatik, pemberian gansiklovir 6 mg/kg/kali dan diberikan 2 kali per harinya selama 6 bulan menunjukkan perbaikan pada kelainan saraf.[1,2,4]
Alternatif antiviral lain yang dapat digunakan selain gansiklovir adalah valgansiklovir. Valgansiklovir juga hanya direkomendasikan untuk pasien dengan infeksi CMV kongenital derajat sedang-berat dengan durasi pemberian selama 6 bulan. Alternatif obat lainnya adalah valgansiklovir dengan dosis pemberian 16 mg/kg/kali sebanyak 2 kali per harinya.[1,2,4]
Pemberian antiviral dilakukan hingga didapatkan adanya perbaikan pada fungsi pendengaran ataupun perkembangan positif dari penyakit, namun tidak diberikan lebih dari 6 bulan. Selama pemberian antiviral, kadar neutrophil perlu dipantau pada minggu ke-6 setelah terapi dimulai, kemudian pada minggu ke-8, dan setiap bulannya selama pemberian terapi. Selain neutrophil, enzim hati juga perlu rutin diperiksakan setiap bulannya selama terapi.[1,2,4]
Tindak Lanjut
Tindak lanjut yang perlu dilakukan dari penatalaksanaan infeksi CMV ini, yaitu lakukan pemeriksaan oftalmologis, auditorik, dan tumbuh kembang secara rutin. Pemeriksaan oftalmologis perlu dilakukan secepatnya sebelum terapi dimulai, ataupun setelah pemberian terapi. Pemeriksaan auditori perlu dilakukan rutin setiap 6 bulan selama 3 tahun pertama, dan dilakukan pemeriksaan lanjutan setiap tahunnya hingga usia remaja. Tumbuh kembang anak harus rutin diperiksakan, terutama pada usia 1 tahun pertama.[1,2,4]
Penatalaksanaan pada Pasien HIV/AIDS
Penatalaksanaan infeksi CMV pada pasien dengan HIV/AIDS dilakukan apabila sudah adanya kerusakan organ, umumnya pada kondisi retinitis. Pemberian obat antiretroviral (ART) sebagai manajemen terapi HIV/AIDS tetap dilanjutkan. Manajemen terapi ditambahkan dengan obat yang diperlukan untuk kondisi kerusakan organ, contohnya pada kasus retinitis pemberian antivirus secara intravitreus, seperti gansiklovir dikatakan memiliki manfaat untuk mencegah perburukan retinitis yang cepat. Pada kasus pneumonitis, ataupun adanya gangguan sistem saraf tepi, pemberian antivirus gansiklovir juga diberikan sebagai tambahan terapi pada kasus infeksi CMV pada pasien dengan riwayat HIV/AIDS.[18]
Pada kasus infeksi CMV terkait dengan pasien HIV/AIDS yang sudah mengalami kegagalan fungsi organ, terutama retinitis, terapi letermovir juga dapat dijadikan sebagai pengobatan. Pengobatan dengan letermovir sendiri sudah terbukti dapat menyembuhkan retinitis dan angka kekambuhan dapat diminimalisir dengan letermovir. Selain sebagai pengobatan utama, letermovir juga dapat digunakan sebagai terapi lini kedua, apabila pengobatan dengan lini pertama (gansiklovir atau valgansiklovir) gagal.[19]
Penatalaksanaan pada Pasien dengan Riwayat Transplantasi Organ
Penatalaksanaan infeksi CMV sebaiknya sudah dilakukan dengan terapi profilaksis pada semua pasien yang akan melakukan transplantasi organ. Pemberian terapi bertujuan untuk menekan terjadinya replikasi virus sebelum timbulnya manifestasi klinis infeksi CMV pada pasien. Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antiviral, seperti gansiklovir atau valgansiklovir, baik secara oral maupun intravena. Pemberian terapi antiviral profilaksis ini dilakukan selama 90-180 hari dan pemberian terapi antiviral dilanjutkan selama 2-3 minggu setelah transplantasi organ sampai dipastikan dengan hasil serologi yang negatif. [20] Letermovir menjadi obat alternatif pilihan sebagai terapi infeksi CMV dan juga dapat digunakan sebagai terapi profilaksis pada pasien yang akan menjalani transplantasi organ.[19]
Tata Laksana Infeksi CMV Resisten Obat
Gansiklovir dan valgansiklovir menjadi pilihan obat utama terhadap kasus infeksi CMV, namun adanya mutasi pada protein virus, seperti pada protein kinase (UL97) atau polymerase (UL54), dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap pemberian gansiklovir ataupun valgansiklovir. Pasien yang mengkonsumsi gansiklovir dalam jangka waktu panjang, seperti pemberian profilaksis ataupun pengobatan berulang juga cenderung meningkatkan angka kejadian dari resistensi obat gansiklovir tersebut. Umumnya resistensi gansiklovir ini seringkali didapatkan pada pasien dengan status imunokompromais atau pada pasien dengan riwayat transplantasi organ.
FDA sempat mengeluarkan cidofovir dan foscarnet sebagai obat alternatif terhadap kasus resisten obat lini pertama. Namun, mutasi yang terjadi pada gen UL97 akan menyebabkan terjadinya resistensi terhadap gansiklovir, sedangkan mutasi yang terjadi pada gen UL54 akan menyebabkan resistensi terhadap gansiklovir, cidofovir, dan foscarnet. Selain itu, dikarenakan efek samping insufisiensi renal yang tinggi dan adanya kelainan darah neutropenia yang dihasilkan, maka kedua obat ini sudah tidak lagi dijadikan pilihan obat alternatif pada pasien dengan resistensi gansiklovir. Obat alternatif yang sudah disetujui oleh FDA saat ini sebagai terapi pengganti lini utama, yaitu letermovir. Letermovir terbukti sensitif terhadap virus CMV, sekalipun mengalami mutasi, serta pengobatan letermovir dapat digunakan sebagai terapi profilaksis dan digunakan dalam jangka panjang.[19,21]
Tata Laksana Multi Disiplin Ilmu
Pada infeksi CMV kongenital, perlu dilakukan observasi selama tumbuh kembang anak untuk melihat perkembangan dari sistem saraf. Pemeriksaan oftalmologis bersama dengan dokter spesialis mata perlu dilakukan secara rutin. Pemeriksaan auditorik juga sebaiknya dilakukan setiap 6 bulan hingga usia 3-5 tahun dikarenakan tuli sensorineural yang terjadi dapat baru bermanifestasi pada usia 1-5 tahun. Selain itu, kemampuan anak berpikir dan intelegensi anak pun harus dinilai selama masa tumbuh kembang untuk mendeteksi dini adanya sekuele menetap dari kelainan sistem saraf yang terkena.[22]
Pada infeksi CMV dewasa, perlu diperhatikan kemajuan dari terapi antiviral yang diberikan, karena tingginya kemungkinan kejadian resistensi obat. Observasi terhadap fungsi ginjal dan hematologi diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Selain itu, komplikasi yang mengancam nyawa seperti gagal napas juga perlu dilakukan penanganan cepat dan umumnya membutuhkan perawatan di ruang intensif.[23]