Penatalaksanaan Arteriovenous Malformation (AVM)
Pemilihan penatalaksanaan arteriovenous malformation (AVM) atau malformasi arteriovenosa didasarkan pada lokasi, ukuran nidus, gejala, risiko perdarahan, dan kondisi klinis pasien, dengan mempertimbangkan skor penilaian seperti Spetzler–Martin untuk AVM serebral. Keputusan terapi idealnya dibuat melalui diskusi multidisiplin untuk menyeimbangkan manfaat eradikasi lesi dengan risiko morbiditas neurologis atau fungsional.[3,4,8,39,40]
Medikamentosa
Farmakoterapi pada AVM berfokus pada penatalaksanaan simptomatik, khususnya pada pasien yang tidak memiliki indikasi atau memilih untuk tidak menjalani intervensi invasif. Pendekatan ini umumnya dipertimbangkan pada pasien usia lanjut atau pasien tanpa faktor risiko tinggi perdarahan.[1,4,41]
Antikonvulsan
Antikonvulsan diberikan sesuai tipe kejang yang dialami. Obat yang lazim digunakan meliputi phenytoin, carbamazepine, asam valproat, atau lamotrigine, terutama untuk kejang onset parsial.
Sebagian besar pasien menunjukkan kontrol kejang yang baik dengan terapi standar ini, namun tidak terdapat bukti yang mendukung pemberian antiepileptik profilaksis pada pasien AVM yang belum pernah mengalami kejang. Risiko kejang lebih tinggi pada AVM serebral yang terletak di korteks atau yang memiliki riwayat perdarahan atau defisit neurologis fokal sebelumnya.[4]
Analgesik
Penatalaksanaan nyeri pada AVM dilakukan berdasarkan karakteristiknya, baik menggunakan analgesik nonspesifik maupun terapi khusus migren. Serotonin agonis tidak secara mutlak dikontraindikasikan, kecuali jika muncul gejala neurologis fokal selama serangan migren.
Nyeri kepala akut dengan onset mendadak memerlukan evaluasi segera dengan pencitraan neurodiagnostik untuk menyingkirkan perdarahan intrakranial atau subaraknoid sebelum pemberian terapi simptomatik.[1,4,41]
Pembedahan
Terapi bedah merupakan salah satu modalitas utama yang dapat dilakukan tunggal atau dikombinasikan dengan embolisasi endovaskular maupun terapi radiasi terfokus. Risiko tindakan bedah biasanya dinilai menggunakan Spetzler–Martin grading system, yang mempertimbangkan ukuran AVM, lokasi pada area otak fungsional kritis (motorik, sensorik, bahasa, visual), dan adanya drainase vena dalam.
AVM kecil (<3 cm) pada lokasi non-kritis dengan grade I–II direkomendasikan untuk menjalani reseksi bedah primer bila dapat diakses dengan risiko rendah, sedangkan jika lokasi atau anatomi vaskular meningkatkan risiko bedah, terapi radiasi dapat menjadi alternatif. AVM dengan grade III biasanya ditangani melalui pendekatan multimodal, yaitu embolisasi diikuti reseksi bedah, atau bila risiko bedah tinggi, dilanjutkan dengan terapi radiasi pasca embolisasi.
Lesi dengan grade IV–V umumnya tidak layak untuk operasi tunggal karena risiko prosedural yang besar, sehingga penanganan lebih mengarah pada kombinasi embolisasi, radiosurgery, atau operasi selektif. Embolisasi sebaiknya dilakukan bila tujuannya adalah eradikasi total AVM bersama modalitas lain, kecuali pada kasus tertentu untuk tujuan paliatif seperti mengurangi aliran arteri pada AVM dengan obstruksi aliran vena atau steal phenomenon untuk mengontrol edema dan mengurangi beban shunt.[4]
Tabel 1. Spetzler-Martin Grading System
Domain | Skor |
Ukuran | |
0-3 cm | 1 |
3,1 – 6 cm | 2 |
>6 cm | 3 |
Lokasi Lesi | |
Area fungsional kritis (eloquent) | 1 |
Area fungsional non-kritis (non-eloquent) | 0 |
Drainase Vena Dalam | |
Superfisial | 0 |
Dalam | 1 |
Sumber: dr. Bedry Qintha, Alomedika, 2025.[4,46]
Reseksi Bedah
Reseksi bedah merupakan terapi definitif pada AVM berukuran kecil hingga sedang yang terletak di area non-eloquent otak. Prosedur ini diawali dengan kraniotomi, menggunakan panduan MRI untuk memastikan lokasi nidus secara akurat. Setelah itu, dilakukan identifikasi dan pengendalian feeding artery guna mengurangi risiko perdarahan selama tindakan.
Pengangkatan nidus dilakukan secara menyeluruh untuk mencegah perdarahan berulang serta memperbaiki gejala neurologis. Pemilihan tindakan ini didasarkan pada skor Spetzler-Martin, untuk menilai ukuran AVM, lokasi terhadap area eloquent otak, serta aliran vena, sehingga tindakan dilakukan jika risiko pembedahan rendah dan hasil klinis diperkirakan optimal.[3,4,8]
Embolisasi Endovaskular
Embolisasi endovaskuler pada AVM merupakan pilihan pertama dalam menurunkan risiko perdarahan, mengurangi kecepatan aliran, menurunkan ukuran AVM, serta mempermudah tindakan lanjutan seperti reseksi atau radiosurgery. Tindakan ini dipilih untuk AVM yang beraliran tinggi, yang dapat menimbulkan gejala berat, yang sulit direseksi langsung, dan tidak dapat menjalani radiosurgery.
Prosedur dilakukan dengan memasukkan mikrokateter melalui arteri femoralis, lalu diarahkan secara selektif ke nidus menggunakan digital subtraction angiography (DSA). Setelah posisi dikonfirmasi, agen embolisasi seperti polyvinyl alcohol (PVA) atau N-butyl cyanoacrylate (NBCA) disuntikkan untuk menghentikan aliran darah. Pemilihan bahan disesuaikan dengan ukuran, lokasi, serta dinamika aliran AVM.[3,4,8]
Radiosurgery
Radiosurgery adalah terapi non-invasif untuk AVM berukuran kecil hingga sedang, yang letaknya sulit dijangkau pembedahan. Prosedur ini menggunakan radiasi terfokus yang menyebabkan obliterasi nidus bertahap tanpa merusak jaringan otak sekitarnya.
Tindakan ini dipilih pada pasien dengan risiko operasi tinggi atau AVM berada di area otak eloquent. Meski hasilnya tidak langsung terlihat, radiosurgery terbukti efektif menurunkan risiko perdarahan jangka panjang.[3,4,8]
Terapi Suportif
Pendekatan non-farmakologis diperlukan untuk pasien yang memiliki kontraindikasi pembedahan atau mengalami gangguan fungsional jangka panjang. Rehabilitasi medis seperti fisioterapi, terapi okupasi, dan terapi wicara diperlukan untuk menangani defisit neurologis pasca perdarahan atau intervensi.[39-41]
Follow Up
Follow up pada AVM bertujuan untuk memastikan efektivitas terapi, deteksi dini komplikasi, serta pemantauan berulang tanda dan gejala perdarahan ulang. Evaluasi dilakukan secara berkala. baik melalui pemeriksaan klinis dan pencitraan.[1,4,8,39]
Follow up Pasca Intervensi
Pemantauan dilakukan berkala untuk menilai ada tidaknya nidus yang masih tersisa dan memastikan obliterasi nidus secara bertahap pada pasien yang menjalani radiosurgery. Pemantauan dilakukan dengan pemeriksaan fungsi neurologis, status fungsional, serta kualitas hidup pasien. Pemantauan dengan MRI/MRA dilakukan setiap 6-12 bulan selama 2–3 tahun.[1,4,8,39]
Follow up pada Unruptured AVM
Follow up pada unruptured AVM bertujuan untuk menilai progresi nidus, mengevaluasi risiko perdarahan, dan mengevaluasi gejala klinis. Pemantauan mencakup evaluasi adanya gejala baru seperti kejang, nyeri kepala progesif atau defisit neurologi.
Lakukan juga evaluasi ulang skor Spetzler-Martin dan profil risiko untuk membantu menentukan perlunya intervensi atau observasi lanjutan. MRI, MRA, atau DSA disarankan dilakukan setiap 1-2 tahun untuk memantau ukuran dan ada atau tidaknya perubahan morfologi nidus.[1,39]