Mortalitas COVID-19 pada Anak

Oleh :
dr. Joko Kurniawan, M.Sc., Sp.A

Mortalitas COVID-19 pada anak usia <20 tahun bervariasi antara 7–155 kematian per 1 juta anak per tahun. Angka ini jauh lebih rendah daripada kelompok dewasa, yakni sekitar 441–15.929 kematian per 1 juta orang per tahun. Mortalitas COVID-19 pada anak umumnya berkaitan dengan adanya komorbiditas, misalnya obesitas dan asma. Data-data ini perlu dipertimbangkan ketika membuat regulasi sosial.[1,2]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Menurut studi terhadap 55 rumah sakit di Jakarta yang melibatkan total 4.265 pasien COVID-19, risiko kematian memang lebih tinggi pada kelompok usia tua. Mortalitas pada kelompok usia anak yang dirawat inap di rumah sakit adalah: 11% untuk usia <5 tahun; 4% untuk usia 5–9 tahun; dan 2% untuk usia 10–19 tahun.

Sementara itu, mortalitas pada kelompok usia dewasa yang dirawat inap di rumah sakit adalah: 2% untuk usia 20–29 tahun; 3% untuk usia 30–39 tahun; 7% untuk usia 40–49 tahun; 17% untuk usia 50–59 tahun; 22% untuk usia 60–69 tahun; dan 34% untuk usia ≥70 tahun.[3]

Mortalitas COVID-19 pada Anak-min

Faktor yang Memengaruhi Derajat Keparahan COVID-19 pada Anak

Analisis multivariat yang melibatkan 651 anak usia <19 tahun di Inggris menyatakan bahwa anak-anak mengalami COVID-19 yang lebih ringan daripada orang dewasa. Hasil analisis ini menemukan bahwa hanya 6 anak (1%) dari 627 anak meninggal di rumah sakit dan semua anak yang meninggal tersebut memiliki komorbiditas.[4]

Menurut studi di Turki, dari 292 anak usia 1 bulan sampai 18 tahun yang dirawat di rumah sakit akibat COVID-19, komorbiditas yang paling sering ditemukan adalah obesitas (5,1%) dan asma (4,1%). Pada anak, obesitas meningkatkan risiko COVID-19 bergejala berat sebesar 9,1 kali dan asma meningkatkan risiko COVID-19 bergejala berat sebesar 4,1 kali.[5]

Suatu studi di Meksiko melaporkan bahwa ada perbedaan signifikan antara insidensi dan case-fatality rate pada grup anak-anak dan grup dewasa. Pada grup anak usia <20 tahun, case-fatality rate adalah 0,3%. Angka ini meningkat tajam setelah usia 40 tahun dan mencapai 18% pada usia >60 tahun.[1]

Pada anak-anak dalam studi tersebut, adanya komorbiditas berhubungan sangat erat dengan mortalitas (sekitar 80–98% mortalitas anak berkaitan dengan komorbiditas). Komorbiditas pada anak usia <10 tahun tidak dijabarkan dengan detail tetapi komorbiditas pada anak usia 11–20 tahun yang berpengaruh signifikan terhadap kematian adalah diabetes, obesitas, imunosupresi, dan penyakit ginjal kronis.[1]

Angka kematian pada anak juga dipengaruhi oleh ada tidaknya keterlibatan sindrom inflamasi multisistem (MIS-C). Studi terhadap 66 pasien anak yang terkonfirmasi positif COVID-19 melaporkan bahwa 6 anak (9%) didiagnosis MIS-C, di mana semuanya menunjukan derajat keparahan dan angka mortalitas yang lebih tinggi.[6]

Data COVID-19 pada Anak-Anak di Asia dan Jakarta

Studi analisis COVID-19 pada anak di Asia Tenggara, Asia Selatan, Jepang, dan Cina menunjukkan bahwa 40% anak tidak menunjukan gejala (asimptomatis) dan angka mortalitas anak adalah sebesar 2,3%. Anak berusia <12 bulan dan anak dengan komorbiditas lebih berisiko mengalami COVID-19 yang parah. Namun, penelitian lebih lanjut terhadap faktor risiko lain seperti faktor genetik, budaya, dan paparan lingkungan masih diperlukan.[7]

Studi yang dilakukan di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dari bulan Maret hingga Oktober 2020 melaporkan 490 anak yang didiagnosis suspek atau probable COVID-19. Dari 490 anak tersebut, 50 (10,2%) terkonfirmasi positif dan 20 (40%) menunjukan gejala berat. Derajat keparahan umumnya terjadi pada usia ≥10 tahun.[8]

Data Terbaru dari Studi COVID-19 pada Anak-Anak di Jerman

Studi yang lebih baru di Jerman memakai data seroprevalensi untuk menganalisis mortalitas COVID-19 pada anak, sehingga lebih optimal untuk “menangkap” data anak-anak yang tidak ikut diperiksa PCR (polymerase chain reaction) karena penyakitnya asimtomatik atau hanya bergejala ringan.

Studi ini menunjukkan bahwa pada anak-anak yang terinfeksi COVID-19, hanya 35,9/10.000 membutuhkan perawatan di rumah sakit dan hanya 1.7/10.000 membutuhkan ICU. Selain itu, case fatality hanya berjumlah 0,09/10.000. 

Pada anak yang sehat tanpa komorbiditas, case fatality bahkan terhitung lebih rendah, yaitu hanya 0,03/10.000. Perawatan di ICU hanya berjumlah 0,8/10.000 dan kebutuhan terapi COVID-19 hanya berjumlah 5,1/10.000. Bahkan, pada kelompok usia 5–17 tahun, fatalitas tidak ditemukan.[12]

Implementasi Data COVID-19 Anak pada Regulasi Sosial

Anak merupakan kelompok yang rentan mengalami masalah kesehatan fisik maupun psikologis akibat pembatasan aktivitas sosial. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa penutupan sekolah yang berkepanjangan dan pembatasan aktivitas sosial berisiko menimbulkan gangguan kesehatan mental anak, peningkatan insidensi obesitas anak, dan perburukan miopia anak.[1]

Oleh karena itu, studi telah menganjurkan agar kebijakan pembatasan aktivitas sosial anak dan penutupan sekolah perlu dipertimbangkan kembali dengan membandingkan manfaat dan risiko secara lebih dalam. Hal ini mengingat bukti yang ada menunjukkan bahwa insidensi COVID-19 yang parah pada anak dan mortalitas COVID-19 pada anak sebenarnya jauh lebih rendah daripada orang dewasa.[1]

Pembuat kebijakan juga perlu mempertimbangkan keadaan saat ini, di mana vaksinasi COVID-19 pada anak sudah mulai gencar dilakukan. CDC telah menyarankan vaksinasi anak yang berusia >5 tahun. Vaksinasi anak diharapkan dapat menghindarkan anak dari COVID-19 dan mengupayakan anak untuk dapat mengejar ketertinggalan yang terjadi selama pandemi berlangsung, khususnya dari segi pendidikan.[9,10]

Di Indonesia, vaksinasi COVID-19 pada anak usia >12 tahun telah dilakukan. Selain itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) saat ini juga telah merekomendasikan pemberian vaksin COVID-19 Sinovac pada anak usia 6 tahun ke atas.[11]

Kesimpulan

Insidensi COVID-19 yang parah dan mortalitas akibat COVID-19 dilaporkan jauh lebih rendah pada kelompok usia anak daripada kelompok usia dewasa. Pada populasi anak, mortalitas akibat COVID-19 umumnya berkaitan dengan adanya komorbiditas, seperti diabetes, obesitas, asma, dan imunosupresi.

Data tersebut perlu dipertimbangkan ketika membuat kebijakan restriksi sosial anak dan dibandingkan dengan bukti dari studi lain yang menunjukkan bahwa restriksi sosial bisa meningkatkan risiko gangguan kesehatan pada anak. Contohnya adalah gangguan kesehatan mental, obesitas, dan miopia.

Pembuat kebijakan di masing-masing daerah perlu menyeimbangkan keuntungan dan kerugian restriksi sosial dan penutupan sekolah. Bila pembelajaran secara tatap muka dilakukan kembali, penerapan protokol kesehatan dan vaksinasi merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi COVID-19 pada anak.

Referensi