Menghadapi Agresi Pasien di Klinik dan Rumah Sakit

Oleh :
dr. Adrian Prasetio

Agresi dan kekerasan adalah kumpulan perilaku atau tindakan yang dapat mengakibatkan cedera atau perlukaan pada orang lain, baik verbal atau non verbal, secara sengaja atau tidak disengaja di klinik dan Rumah Sakit.

Pada klinik dan rumah sakit, pasien dan keluarga pasien mungkin mengalami kesedihan, frustrasi, marah, dan bingung. Hal ini bisa bermanifestasi pada perilaku agresif yang tidak diinginkan dan membahayakan baik tenaga medis maupun pasien sendiri. Kekerasan pada tenaga kesehatan yang bekerja di unit pelayanan kesehatan dewasa ini semakin sering terjadi dan merupakan masalah signifikan bagi pelayanan kesehatan di seluruh dunia.

Depositphotos_128687300_m-2015_compressed

The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) di Amerika Serikat memperkirakan 11,370 tenaga kesehatan terluka setiap tahunnya yang disebabkan tidak hanya oleh pasien  melainkan juga keluarga pasien atau bahkan rekan kerja sendiri.[1]

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Agresi

Seorang tenaga kesehatan, terutama dokter, harus membekali diri dengan pengetahuan dan keahlian yang terstandar untuk memastikan keamanan diri sendiri dan orang lain. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan agresi pada pasien, seperti yang dijabarkan pada tabel 1.[2-4]

Tabel 1. Faktor yang Menyebabkan Agresi Pasien

Profesional Pasien Organisasi Sosial

●        Jenis kelamin perempuan

●        Kurang memiliki kemampuan interpersonal dan komunikasi

●        Sedang mengalami gangguan emosional

●        Tidak mampu melakukan de-eskalasi situasi

●        Jenis kelamin laki-laki dengan usia muda

●        Kontrol impuls yang buruk

●        Memiliki gangguan psikiatri

●        Kondisi gawat darurat

●        Dalam pengaruh obat atau alkohol

●        Pendidikan rendah

●        Administrasi yang buruk

●        Kurangnya peralatan medis

●        Suasana ramai

●        Waktu menunggu yang lama

●        Tidak ada manajemen keamanan

●        Kendala berbahasa

●        Kelainan adat istiadat

●        Ketidakpercayaan pasien

●        Stigma negatif terhadap tenaga medis

Sumber: Kumari A.et al., 2020.[3]

Kemudian, Kumari mengklasifikasikan kekerasan di tempat kerja menjadi lima tingkatan, yaitu:

  • Tingkat 1: pasien dan/atau penunggu pasien menyebabkan konflik kecil, misalnya argumen yang tidak diinginkan, berteriak, gerakan yang tidak ramah, dan ancaman emosional. Mempengaruhi sisi psikologis dari dokter dan mengganggu rutinitas sehari-hari
  • Tingkat 2: kekerasan verbal yang berat, misalnya penggunaan kata-kata kasar, ancaman mati, berkomentar secara ofensif, baik secara langsung maupun menggunakan telepon.
  • Tingkat 3: kekerasan fisik (mendorong, menendang/memukul, menggunakan objek seperti pisau atau pistol, menampar, mencekik, menarik rambut, yang menyebabkan gangguan moral dan psikologis namun tidak ada cedera fisik
  • Tingkat 4: kekerasan fisik yang menyebabkan cedera parah seperti gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dislokasi wajah, fraktur, dan gangguan psikologis.
  • Tingkat 5: kekerasan fisik yang menyebabkan cedera parah seperti gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dislokasi wajah, fraktur, dan gangguan psikologis[3]

Cara Menurunkan Risiko Agresi

Terdapat beberapa cara untuk mengatasi agresi pada pasien di klinik atau rumah sakit. Keahlian dalam berkomunikasi secara baik penting dimiliki seorang tenaga medis untuk mencegah terjadinya agresi. Pada pasien yang agresif, umumnya tindakan de-eskalasi merupakan cara yang pertama kali dipilih untuk menenangkan pasien. Apabila pasien tetap bertindak agresif dan membahayakan diri sendiri atau orang lain, bisa dipertimbangkan tindakan restriksi dengan restrain atau penggunaan obat penenang. [2,3]

Pencegahan

Pencegahan tindakan agresif membutuhkan keahlian dan kepemimpinan yang kuat dari tenaga medis. Tenaga medis diharapkan mampu berkomunikasi dengan jelas, simpatik, tidak menghakimi, dan memberikan peran kolaborasi antara pasien dan tenaga medis. Ketika bertemu dengan pasien atau keluarga pasien, perkenalkan diri dengan sopan dan bersahabat.[2]

Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, memastikan penerima informasi paham, dan bahasa tubuh yang baik penting dilakukan untuk membina hubungan baik dengan pasien. Apabila pasien mengalami disorientasi atau salah memberikan informasi, tenaga medis tidak perlu mengkonfrontasi atau bahkan mempermalukan pasien.[2]

Membina hubungan yang baik tidak hanya pada pasien tetapi juga keluarga pasien. Keluarga pasien seringkali memiliki informasi yang dibutuhkan. Apa saja yang bisa memprovokasi pasien? Apa saja yang bisa menenangkan pasien? Keluarga juga terlibat dalam penentuan keputusan dan rencana perawatan pasien selanjutnya.[2,5]

De-eskalasi

De-eskalasi adalah metode yang dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal, untuk menurunkan kemarahan dan agresi. Metode ini umumnya dilakukan dengan berkomunikasi, namun bisa ditambahkan pemberian medikamentosa terhadap pasien dengan agresi yang berat. Tujuan dari de-eskalasi adalah memberikan distraksi dan menenangkan pasien.[2]

Dalam melakukan de-eskalasi, tenaga medis diharapkan mampu mengenali tanda-tanda awal agresi. Tanda eskalasi yang bisa terjadi meliputi:

  • Bicara dengan nada keras
  • Pengguaan bahasa yang tidak pantas, misalnya menggunakan bahasa yang tidak senonoh, melakukan intimidasi
  • Memaksakan tindakan yang tidak diperlukan
  • Menuduh tenaga medis berkonspirasi terhadap pasien
  • Agresi terhadap benda mati, misalnya melempar atau memukul
  • Tindakan agitasi, misalnya berjalan kesana-kemari, gerakan bola mata cepat, menginvasi ruang pribadi, mengepalkan tangan, mengatupkan rahang
  • Tidak mengikuti arahan dari petugas[2]

Tindakan awal yang dilakukan adalah menjauhkan pasien agresif dari sumber yang memprovokasinya ke ruang yang lebih tenang dan nyaman, namun tidak mengisolasi tenaga medis. Ruangan tersebut harus bebas dari benda-benda tajam atau benda yang berpotensi membahayakan.

Tenaga medis kemudian berkomunikasi dengan pasien untuk mengklarifikasi penyebab agresi dan mencari jalan keluar terbaik tanpa memprovokasi pasien. Tetap tenang dan bersahabat, kemudian menanyakan kepada pasien ”apakah ada yang bisa saya lakukan untuk membantu?” Postur tubuh merupakan media komunikasi non verbal, dan de-eskalasi dilakukan dengan menjaga ketenangan emosional, tidak mengekspresikan kecemasan atau rasa frustrasi terhadap pasien.[2,5,6]

Penggunaan Intervensi Restriktif

Ketika de-eskalasi dan pemberian obat tidak mampu menenangkan pasien agresif, serta terdapat potensi tindakan yang mencederai diri sendiri dan orang lain, makan dapat dipertimbangkan intervensi restriktif.  Restrain dilakukan oleh tenaga medis terlatih, baik secara manual atau mekanik. Restrain manual dilakukan secara fisik dengan tujuan imobilisasi pasien agresi secara aman. Restrain mekanik menggunakan peralatan yang telah terstandar, misalnya dengan borgol atau sabuk pengikat. Restrain tidak dilakukan secara rutin dan harus dihentikan apabila pasien sudah tenang.[2]

Ketika melakukan restrain manual, tenaga medis harus menghindari menekan pasien ke lantai. Apabila terpaksa dilakukan, restrain dilakukan dengan posisi wajah menghadap ke atas dan tidak mengganggu jalan napas dan sirkulasi pasien. Tidak dianjurkan melakukan restrain manual selama rutin selama lebih dari 10 menit.[2]

Medikamentosa

Ketika pemberian obat secara oral tidak memungkinkan atau dibutuhkan sedasi cepat, maka obat bisa diberikan melalui jalur parenteral. Pemilihan obat penenang berdasarkan gejala dan riwayat pasien. Obat antipsikotik lebih baik diberikan pada pasien psikosis, manik, atau delirium. Benzodiazepine bekerja lebih baik pada gejala putus obat alkohol, epilepsi, penyakit Parkinson, atau demensia Badan Lewy.[2,5]

Apabila penggalian informasi kesehatan pasien tidak cukup untuk menentukan terapi pilihan, atau pasien sebelumnya tidak pernah menggunakan antipsikotik, diberikan lorazepam secara intramuskular. Lorazepam juga menjadi pilihan pada pasien psikosis dengan penyakit kardiovaskular, termasuk pemanjangan interval QT.[2]

Tabel 2. Obat Penenang dan Dosis Obat.

Pasien Pilihan Pertama Pilihan Kedua Dosis Maksimal dalam 24 jam
Pasien dengan peningkatan kesadaran, termasuk yang sudah mendapatkan antipsikotik Lorazepam 2 mg Ulangi, kemudian coba haloperidol 5 mg

Lorazepam 4 mg

Haloperidol 12 mg

Gejala putus alkohol Lorazepam 2 mg Ulangi Lorazepam 8 mg
Pasien lansia dengan masalah kesehatan atau gangguan napas berat Haloperidon 2,5 mg Lorazepam 0,5-1 mg

Haloperidol 10 mg

Lorazepam 4 mg

Demensia Badan Lewy atau penyakit Parkinson Lorazepam 0,5-1 mg Ulangi Lorazepam 4 mg
Delirium Haloperidol 2,5 mg Ulangi Haloperidol 12 mg

Sumber: Harwood, 2017.[5]

Apabila dengan dosis maksimal belum dicapai hasil yang diinginkan, maka sebaiknya dikonsultasikan dengan klinisi senior. Dosis maksimal dari haloperidol intramuskular bervariasi, antara 12-18 mg/hari. Setelah memberikan obat penenang, dilakukan pemantauan tanda vital, meliputi tekanan darah, laju nadi, laju napas, suhu tubuh, status hidrasi, dan status kesadaran minimal setiap 1 jam.[2,5]

Selain haloperidol, pemberian droperidol dapat menjadi pilihan untuk terapi agresi pasien (terutaman pasien psikosis). Droperidol memiliki keuntungan bekerja lebih cepat, memiliki efek samping yang lebih sedikit dan waktu sedasi yang lebih pendek dibandingkan haloperidol, sehingga dipakai sebagai lini pertama di negara Australia maupun negara lainnya.[6]

Manajemen Perilaku Agresif

Royal Children’s Hospital di Australia memberikan standarisasi penanganan pada perilaku agresif dan perilaku yang  bermasalah. Standarisasi ini bertujuan untuk memberikan pedoman pada tenaga medis untuk mengenali tipe perilaku agresif dan tindakan yang bisa dilakukan berdasarkan kajian etik.[5]

Tabel 3. Cara Menangani Perilaku Agresi

Tipe perilaku dari pasien, keluarga pasien, dan pengunjung Respon Tenaga Medis Respon Tim Multidisipliner (RTM)

Hijau: Perilaku dan respon keluarga pasien yang umum

●        Peningkatan emosi

●        Kemarahan

●        Frustrasi

●        Kecemasan

●        Bingung terhadap peran klinisi atau alur rumah sakit

Mendukung dan mengatasi masalah

RTM mengidentifikasi sumber daya yang ada untuk merespon reaksi emosional individu tersebut

Menentukan siapa yang terbaik untuk:

●        Memvalidasi keluhan pasien

●        Memberikan informasi

●        Memberikan dukungan emosional, psikologis, dan klinis

Merencanakan dukungan atau komunikasi yang disetujui bersama.

Kuning: respon yang berpotensi menantang tenaga medis

 

Menciptakan batasan-batasan yang sudah disetujui

Mengidentifikasi tipe yang disebabkan oleh individu tersebut dan :

●        Siapa saja yang terpengaruh?

●        Bagaimana mereka terpengaruh?

●        Pilihan apa saja yang ada, termasuk tipe batasan terhadap perilaku yang mampu memberikan keamanan tenaga medis dan juga mengoptimalkan perawatan pasien

Menentukan tindakan selanjutnya:

●        Mengkomunikasikan batasan kepada individu tersebut

●        Mengidentifikasi konsekuensi apabila individu tersebut melanggar batasan

Merah: agresif dan mengancam

●        Penggunaan bahasa atau perilaku yang agresif dan mengancam

Yang secara langsung:

●        Mengintimidasi atau secara pribadi menghina tenaga medis baik secara langsung maupun tidak langsung

●        Menghalangi perawatan pasien

●        Mengancam atau menyakiti pasien atau keluarga pasien lain

Memaksakan batasan pada pasien

Mengimplementasikan konsekuensi yang sudah disepakati sebelumnya terhadap perilaku yang tidak aman dan tidak bisa diterima. Tindakan yang diambil bisa meliputi:

●        Kode abu-abu (tanda tindakan agresif atau mengancam)

●        Peringatan tertulis dari petinggi rumah sakit

●        Dikeluarkan dari ruang perawatan

●        Pertemuan lanjutan untuk meninjau kembali batasan yang ada

Sumber: Delany et al., 2020.[7]

Kesimpulan

Agresi adalah manifestasi emosional pasien yang rentan terjadi pada klinik dan rumah sakit. Agresi dewasa ini semakin sering terjadi, tidak hanya dilakukan oleh pasien tetapi juga keluarga pasien. Tenaga medis diharapkan memiliki pengetahuan dan keahlian mumpuni untuk mengatasi agresi pasien.

Tindakan awal yang dilakukan adalah mencegah agresi dengan kemampuan berkomunikasi, baik verbal maupun non verbal, yang baik serta memberikan peran kolaborasi terhadap pasien. Apabila terjadi eskalasi tindakan agresi, maka tenaga medis melakukan de-eskalasi dengan memisahkan pasien agresif ke ruangan tersendiri yang nyaman dan aman. Kemudian dilakukan klarifikasi penyebab agresi dan mencoba bersama-sama mendiskusikan jalan keluar.

Pada kasus di mana pasien tidak bisa ditenangkan secara komunikasi dan bertindak membahayakan diri sendiri atau orang lain, maka dipertimbangan intervensi restriktif dengan pilihan restrain dan obat penenang. Tindakan restriktif ini tidak dilakukan secara rutin dan memerlukan pemantauan tanda vital untuk memastikan keamanan pasien.

 

Penulisan pertama oleh: dr. Hunied Kautsar

Referensi