Maraknya Hoaks Kesehatan dan Bagaimana Menghadapinya

Oleh :
Dr. drg. Paulus Januar S., MS

Bukan hanya terkait politik, ternyata hoaks mengenai kesehatan marak beredar di masyarakat. Hoaks kesehatan dapat menimbulkan akibat buruk bagi masyarakat, dan dapat pula merusak citra profesi kedokteran. Dengan demikian, dokter perlu tahu mengenai hoaks serta bagaimana cara mengatasinya.[1]

Hoaks atau informasi tidak benar/bohong tentang kesehatan yang selintas tampaknya meyakinkan tetapi ternyata tidak benar antara lain:

  • Tes PCR tidak bisa mendeteksi varian baru virus COVID-19[2]
  • Vaksin kanker serviks menyebabkan menopause dini[3]

  • Kanker dapat disebabkan AC yang dinyalakan tanpa buka kaca saat pertama masuk mobil[4]
  • Sakit jantung dapat terjadi karena malas kencing malam[5]
  • Suntikan KB menyebabkan kista ovarium[6]
  • Radiasi handphone menyebabkan pengecilan otak pada anak-anak[7]
  • Jus daun pepaya mentah merupakan obat demam dengue atau demam berdarah[8]

Maraknya Hoaks Kesehatan dan Bagaimana Menghadapinya-min

Alasan Muncul Hoaks Kesehatan

Hoaks secara umum adalah informasi yang tidak benar dalam bentuk pemutarbalikan fakta, pengaburan informasi, ataupun penyampaian informasi palsu. Salah satu sasaran utama hoaks adalah informasi kesehatan, karena kesehatan menyangkut unsur mendasar kehidupan dan sangat mudah untuk menimbulkan sensasi yang provokatif.[1,9-11]

Perkembangan internet dalam bentuk berbagai platform media sosial, seperti facebook, whatsapp, twitter, dan Instagram, mempercepat penyebaran hoaks. Keunggulan media sosial termasuk mempermudah setiap orang memperoleh maupun mengunggah konten buatannya, yang dapat tersebar secara luas.[9-11]

Media sosial bersifat ubiquitous yaitu ada dimana-mana, serta pervasive yakni penetrasinya menjangkau berbagai sektor kehidupan, termasuk di bidang kesehatan. Namun, kemajuan teknologi tersebut dapat menjadi masalah bila digunakan untuk menyebarkan informasi yang salah atau tidak benar.[9-11]

Survei MAFINDO Terkait Hoaks Kesehatan

Survei MAFINDO (masyarakat anti fitnah Indonesia) yang dipublikasikan pada November 2020 menunjukkan bahwa hoaks kesehatan merupakan hoaks yang terbanyak pada semester pertama 2020. Hal ini tampaknya berkaitan dengan pandemi COVID-19.[1]

Selama kurun waktu Januari‒Juni 2020, dari total 926 hoaks yang terbanyak adalah hoaks kesehatan sejumlah 519 (56%). Sedangkan hoaks politik menempati peringkat kedua sebanyak 172 (18,6%), hoaks kriminalitas 79 (8,6%), dan tema lain-lain 53 (5,7%). Di seluruh dunia terjadi lonjakan jumlah hoaks yang berkaitan dengan pandemi COVID-19, hingga memunculkan istilah baru yaitu infodemi.[1]

Jumlah hoaks yang diklarifikasi oleh MAFINDO pada paruh pertama 2020 meningkat tajam sebesar 53,5%, dari 603 hoaks pada 2019 menjadi 926 pada tahun 2020. Rata-rata hoaks setiap bulan meningkat, dari 101 per bulan di tahun 2019 menjadi 154 per bulan pada paruh pertama tahun 2020.[1]

Dari segi saluran penyebaran, fakta MAFINDO menunjukkan hoaks paling banyak disebarkan melalui Facebook yang mencapai 56,5% (523 hoaks). Sementara untuk kategori aplikasi chat online, terbanyak melalui WhatsApp 17,7% (164 hoaks), diikuti Twitter 7,8% (72 hoaks).[1]

Tipe-Tipe Penyebaran Hoaks

Penyebaran hoaks dapat dilakukan oleh orang yang memiliki maksud buruk, atau dilakukan oleh seseorang yang tidak mengetahui kebenaran informasi yang diterimanya. Orang yang tidak mengetahui tersebut tidak memeriksa kebenarannya sebelum menyebarkannya.[9-11]

Disinformasi

Hoaks merupakan disinformasi atau informasi bohong bila orang yang menyebarkan mengetahui bahwa informasi tersebut tidak benar. Pihak yang sengaja menyebarkan berita tidak benar dikategorikan telah melakukan disinformasi.[9-11]

Misinformasi

Hoaks disebut misinformasi atau informasi yang keliru bila yang menyebarkan tidak tahu bahwa berita tersebut tidak benar. Dengan demikian, orang yang menerima dan tidak menyadari bahwa suatu berita tidak benar, kemudian menyebarkannya telah melakukan misinformasi. [9-11]

Malinformasi

Malinformasi atau penyalahgunaan informasi yaitu informasi yang benar disalahgunakan dengan menyebarkannya secara tidak semestinya. Malinformasi umumnya dilakukan berdasarkan niat buruk serta tidak ada justifikasinya demi kepentingan umum. Contoh malinformasi misalnya secara ilegal memberitakan tentang isi rekam medik seorang pejabat untuk menjatuhkan reputasinya.[9-11]

Alasan Seseorang Menyebarkan Hoaks                  

Menyebarnya misinformasi, disinformasi, atau malinformasi akan menimbulkan kerancuan informasi (information disorder). Biasanya seseorang menyebarkan informasi karena ingin mendapatkan perhatian, yaitu menjadi yang pertama membagikan sehingga orang lain akan merujuk dirinya. Alasan inilah yang sering menyebabkan seseorang tidak mengecek ulang sebelum menyebarkan.[9-11]

Alasan lainnya adalah secara emosional terpancing sehingga tanpa berpikir panjang segera meneruskan. Terdapat pula alasan sengaja menyebarkan informasi yang tidak benar dengan maksud politik, ekonomi, atau menimbulkan keresahan. Bahkan mungkin untuk menutupi fakta yang sebenarnya.[9-11]

Sedangkan mengenai informasi kesehatan, seseorang sering menyebarkan dengan maksud baik, yaitu untuk memberikan informasi yang bermanfaat bagi sekitarnya. Namun, tanpa disadarinya ternyata informasi tersebut tidak benar.[9-11]

Klasifikasi Hoaks

Claire Wardle dari FirstDraft menyusun klasifikasi hoaks yang kemudian menjadi acuan internasional, termasuk digunakan oleh UNESCO. Di bawah ini adalah klasifikasi hoaks versi FirstDraft, yang diurutkan berdasarkan akibat buruk yang paling ringan hingga paling berat.

Satir atau Parodi

Satir adalah sindiran, sedangkan parodi adalah peniruan untuk mengolok-olok. Satir dan parodi biasanya disampaikan secara humor dengan melebih-lebihkan. Penyampaian satir dan parodi mungkin tidak ada niat buruk untuk membohongi, tetapi bisa mengecoh terutama bila penerima informasi tidak menyadari bahwa yang disampaikan merupakan satir atau parodi.[9-11]

Misalnya parodi tentang dokter gigi yang merawat pasien secara mengerikan, kemudian dapat disalahtafsirkan bahwa sifat pekerjaan dokter gigi memang demikian.[12]

Keterkaitan yang Salah

Judul, gambar, atau kutipan yang berbeda dengan isi informasi sehingga bila dilihat secara sekilas dapat memberikan kesan yang keliru. Umumnya dalam bentuk judul atau gambar yang sensasional dan menggugah emosi, tetapi isi informasi berbeda sama sekali. Bila orang hanya melihat sekilas judulnya atau gambar yang terpampang dapat memberikan pemahaman yang salah.[9-11]

Misalnya pernah beredar postingan mengenai dokter Israel membantu pasien COVID-19 di Cina, yang disertai foto yang diklaim merupakan tim dokter Israel tersebut. Berdasarkan pencarian fakta, informasi tersebut ternyata tidak benar karena foto  yang dicantumkan merupakan foto tim dokter Israel Defense Forces (IDF) yang sedang menangani korban topan Haiyan di Filipina pada 8 November 2013. Foto tersebut tidak ada hubungannya dengan isi  informasi (false connection), selain itu isi informasi tersebut juga tidak benar.[13]

Clickbait:

Klasifikasi hoaks ini dapat dikaitkan dengan upaya clickbait, yaitu judul atau gambar yang dibuat sedemikian rupa agar timbul rasa penasaran pembaca sehingga akan mengklik tautan berita tersebut. Hal ini banyak dilakukan pada media online yang semakin kompetitif.[9-11,14,15]

Dalam hal ini perlu dibedakan antara judul yang menarik minat dengan clickbait yang bersifat hoaks. Dikategorikan clickbait sebagai hoaks manakala antara judul atau gambar sangat berbeda dengan isi informasi, kemudian pembaca akan merasa terkecoh.[14,15]

Misalnya notifikasi ponsel dengan tulisan “Pasien Virus Corona Tidak Akan Ditanggung BPJS,” hingga dapat menimbulkan kesan harus membayar sendiri. Padahal isi pemberitaannya adalah pasien virus Corona dibiayai anggaran Kementerian Kesehatan hingga memang tidak ditanggung BPJS Kesehatan.[14,15]

Konten yang Menyesatkan

Informasi dipelintir untuk memberikan gambaran yang berbeda dan tidak benar. Narasinya membangun persepsi tertentu yang tidak sesuai tentang suatu hal atau peristiwa (framing), sehingga menyesatkan. Untuk mendukung framing, di antaranya dapat menggunakan potongan gambar yang disatukan, pemotongan gambar (cropping) hingga tidak didapat gambaran secara utuh, dan penyalahgunaan kutipan.[9-11]

Misalnya beredar informasi tidak benar tentang vaksin dapat menyebabkan autisme untuk membangun persepsi (framing) agar menolak vaksinasi.[16]

Konteks yang Salah

Konten informasi asli disajikan dengan konteks yang berbeda. Misalnya sempat beredar hoaks bahwa air nanas panas dapat menyembuhkan kanker. Ternyata hal ini karena penyebar berita menemukan kesamaan kandungan zat tertentu dalam obat dan buah nanas secara gegabah, sehingga menyebarkan berita salah bahwa buah tersebut bisa menjadi obat kanker.[9-11,17]

Imposter Content Konten Palsu

Seseorang, biasanya tokoh yang terpandang atau lembaga yang terpercaya, dicantumkan sebagai sumber informasi padahal bukan. Dengan kata lain mencatut nama orang atau lembaga). Informasi dengan konten palsu ini biasanya akan dipercayai seseorang yang tidak teliti menelisik sumber informasinya.[9-11]

Misalnya beredar di media sosial mengenai WHO yang menyebut vaksin COVID-19 buatan Sinovac punya respons imun paling rendah daripada 10 vaksin lainnya. Ternyata setelah dikonfirmasi kepada WHO, tidak ada dokumen dan informasi resmi dari WHO yang membandingkan respon imunitas 10 vaksin COVID-19, atau pernyataan bahwa vaksin Sinovac rendah efikasinya.[18]

Konten yang Dimanipulasi

Informasi dimanipulasi untuk mengecoh, antara lain dengan mengubah tulisan, gambar, atau video sedemikian rupa sehingga berbeda dengan informasi aslinya. Misalnya beredar video bayi bermata tiga, yang ternyata hasil suntingan/editan. Tidak ada informasi valid mengenai bayi yang mempunyai mata ketiga di dahi seperti yang ada dalam video tersebut.[9-11,19]

Konten Palsu

Informasi yang seluruhnya (100%) palsu/bohong dengan maksud untuk mengelabui orang dan menimbulkan akibat buruk. Misalnya hoaks tentang vaksin Sinovac yang memberikan efek pembesaran alat kelamin pria, bahkan diusulkan penyuntikan vaksinasi dilakukan di alat kelamin.[9-11,20]

Menghadapi Hoaks dengan Literasi Informasi dan Media

Upaya mengatasi hoaks agar terhindar dari informasi yang menyesatkan adalah dengan mengembangkan kemampuan memilah informasi yang benar. Masyarakat dan semua tenaga kesehatan harus memiliki kemampuan ini untuk menghadapi hoaks kesehatan.[10,11]

UNESCO memperkenalkan literasi informasi dan media (information and media literacy / IML) untuk mengatasi hoaks.  IML adalah kemampuan untuk mengakses informasi dan media, memahami dan mengevaluasi informasi, serta kritis dalam menggunakan dan mengkomunikasikan informasi. Di bidang kesehatan, IML merupakan unsur penting dalam pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.[10,11]

Beberapa kegiatan pokok dalam rangka mengembangkan IML dijelaskan di bawah ini.

Memeriksa Fakta

Pemeriksaan fakta dapat mendeteksi informasi yang benar dan yang hoaks atau disinformasi. Cara pemeriksaan fakta antara lain dengan membandingkan informasi dengan sumber-sumber valid lainnya, seperti media yang kredibel, sumber pertama, pihak otoritas, atau dari pihak lain yang dapat diandalkan.[10,11]

Beberapa media massa telah menyediakan layanan bagi masyarakat yang ingin melakukan pengecekan suatu informasi. Terdapat pula berbagai peranti/aplikasi yang dapat digunakan untuk pengecekan informasi, termasuk informasi di bidang kesehatan.[11]

Saat ini, beberapa peranti di Indonesia untuk memverifikasi fakta, seperti stophoax.id milik Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta turnbackhoax.id dan cekfakta.com yang merupakan kolaborasi antara MAFINDO, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan 25 media massa terpercaya. Pada tingkat internasional, terdapat International Fact Checking Network (IFCN).[11,21,22]

Menggunakan Media yang Kredibel

Hanya menggunakan media yang kredibel atau dapat dipercaya sebagai sumber informasi merupakan cara yang efektif agar terhindar dari hoaks. Terdapat berbagai media umum dan khusus tentang kesehatan yang telah diakui reputasinya, sehingga dapat dijadikan acuan sebagai media yang dapat dipercaya.[10,11,23,24]

Media yang kredibel umumnya menjalankan prinsip kehati-hatian dalam memeriksa kebenaran informasi yang akan disampaikannya. Informasi yang disajikan selalu akurat dan proporsional sehingga masyarakat tidak salah dalam menafsirkannya.[23,24]

Lebih jauh lagi, kadang perlu membandingkan informasi dari beberapa media yang kredibel. Bahkan dapat dilakukan penelusuran hingga ke sumber informasi pertama.[10,11,23,24]

Menganalisis Informasi dan Media

Makna dari IML adalah mampu secara kritis dan cerdas menganalisis informasi yang didapat. Tahapan dalam menelaah informasi secara kritis dan cerdas adalah:

  • Evaluasi reputasi sumber informasi
  • Argumentasikan maksud dan latar belakang yang mendasari informasi
  • Pahami informasi dalam konteks yang lebih luas, yaitu membandingkannya dengan informasi lain terutama bila terjadi pro dan kontra
  • Verifikasi dengan seksama dan ambil sikap yang tepat terhadap informasi yang diterima
  • Sebelum meneruskan/menyebarkan informasi, pertimbangkan dampak baik manfaat yang akan muncul [10,11,23,24]

 

KESIMPULAN

Hoaks adalah informasi tidak benar/bohong di mana saat ini semakin bertambah banyak jumlahnya, termasuk hoaks di bidang kesehatan. Hoaks kesehatan meningkat tajam hingga 53,5% sejak pandemi di tahun 2020, dan proporsinya menempati peringkat pertama di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan dokter, tenaga kesehatan lain, dan masyarakat untuk menghadapinya.

Literasi informasi dan media (information and media literacy) merupakan upaya untuk mengatasi hoaks, yang terdiri atas kegiatan pemeriksaan fakta, penggunaan sumber yang terpercaya, serta analisis informasi dan media. Sebelum menyebarkan informasi, kebenarannya harus diverifikasi dengan seksama. Selain itu, perlu dipertimbangkan mengenai manfaat dan dampak baik yang akan timbul.

Referensi