Mengatasi Underdiagnosis Preeklampsia di Indonesia

Oleh :
dr. William Alexander Setiawan, SpOG

Preeklampsia sering mengalami underdiagnosis di negara berkembang, termasuk Indonesia, serta masih memiliki beban kesakitan dan kematian yang tinggi. Hal ini mungkin diakibatkan oleh keterbatasan dalam sistem deteksi dini dan penatalaksanaan tepat waktu. Secara definisi, preeklampsia adalah komplikasi kehamilan yang ditandai dengan hipertensi awitan baru setelah usia kehamilan 20 minggu hingga 6 minggu postpartum, dan disertai dengan disfungsi organ, seperti proteinuria.

Menurut WHO, preeklampsia menyumbang sekitar 14% dari seluruh kematian ibu di dunia setiap tahun. Sementara itu, data Riskesdas dan berbagai studi regional di Indonesia juga memperlihatkan tren peningkatan kasus preeklampsia dalam satu dekade terakhir.[1-3]

Underdiagnosis Preeklampsia

Tren Peningkatan Kejadian Preeklampsia di Indonesia

Preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama komplikasi obstetri di Indonesia, dengan tren kejadian yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Data nasional menunjukkan bahwa preeklampsia berkontribusi terhadap sekitar 25% kasus kematian ibu di Indonesia, menjadikannya penyebab mortalitas kedua terbesar setelah perdarahan postpartum.[3]

Angka kejadian preeklampsia di fasilitas kesehatan primer dan sekunder di Indonesia juga telah dilaporkan berkisar antara 3–10% dari seluruh kehamilan, dengan variasi tergantung wilayah dan metode diagnosis yang digunakan. Peningkatan angka kejadian ini tidak terlepas dari perubahan profil risiko populasi ibu hamil di Indonesia, seperti peningkatan usia ibu saat hamil pertama kali, prevalensi obesitas yang terus naik, serta meningkatnya gaya hidup sedenter.[2,4]

Sayangnya, belum ada sistem pelaporan nasional yang komprehensif dan terintegrasi mengenai angka pasti kejadian preeklampsia di Indonesia. Hal ini menyebabkan kemungkinan underreporting yang tinggi, apalagi jika ditambah dengan kemungkinan diagnosis yang tidak ditegakkan secara akurat di tingkat fasilitas kesehatan dasar.[2,3]

Mengapa Preeklampsia Sering Tidak Terdiagnosis di Indonesia?

Meskipun preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dan bayi di Indonesia, diagnosis dini kondisi ini masih sering terlewatkan. Banyak kasus baru dikenali dalam kondisi berat, bahkan setelah terjadi komplikasi. Underdiagnosis preeklampsia merupakan masalah sistemik yang melibatkan berbagai faktor, mulai dari infrastruktur kesehatan hingga kesadaran masyarakat dan kapasitas tenaga medis.[5-7]

Faktor Sistem Kesehatan

Di banyak wilayah Indonesia, terutama di area terpencil, fasilitas kesehatan sering kekurangan alat diagnostik dasar preeklampsia, seperti tensimeter yang akurat, urine dipstick untuk deteksi proteinuria, atau pemeriksaan laboratorium sederhana. Sistem rujukan berjenjang juga masih menghadapi tantangan geografi dan administratif, sehingga banyak kasus dengan tanda awal preeklampsia terlambat mendapat penanganan.[5]

Faktor Pasien

Banyak ibu hamil tidak mengenali tanda dan gejala preeklampsia, seperti edema ekstremitas, nyeri kepala hebat, atau gangguan penglihatan, sebagai gejala serius yang perlu dikonsultasikan dengan dokter. Keterlambatan mencari pertolongan medis sering terjadi akibat anggapan bahwa gejala tersebut “wajar” dalam kehamilan. Selain itu, kunjungan antenatal yang tidak lengkap atau tidak sesuai standar menyebabkan kehilangan momen skrining preeklampsia secara dini.[6]

Faktor Tenaga Kesehatan

Di sisi tenaga medis, masih terdapat tantangan dalam standarisasi diagnosis preeklampsia. Perbedaan pemahaman kriteria diagnosis, kurangnya pelatihan berkelanjutan tentang hipertensi dalam kehamilan, serta beban kerja tinggi di fasilitas kesehatan dasar sering membuat deteksi dini preeklampsia menjadi suboptimal.

Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa diagnosis preeklampsia masih terlalu sering bergantung pada tekanan darah dan proteinuria semata, tanpa mempertimbangkan tanda-tanda disfungsi organ yang dapat mendahului gejala klasik.[2,7]

Cara Mengatasi Underdiagnosis Preeklampsia di Indonesia

Upaya mengatasi underdiagnosis preeklampsia di Indonesia melibatkan berbagai langkah terpadu. Ini mencakup peningkatan kualitas perawatan antenatal untuk mendeteksi dini preeklampsia, serta berbagai langkah pencegahan dan edukasi yang diharapkan bisa menurunkan angka kejadian maupun morbiditas dan mortalitas terkait preeklampsia.[8-10]

Peningkatan Kualitas Layanan Perawatan Antenatal

Kunjungan antenatal (ANC) yang berkualitas merupakan kunci utama dalam deteksi dini dan pencegahan preeklampsia. Pemeriksaan tekanan darah, penilaian status gizi, skrining riwayat hipertensi dan preeklampsia sebelumnya, serta edukasi red flags harus menjadi standar pada setiap kunjungan.

WHO merekomendasikan minimal 8 kali kunjungan ANC dengan pemantauan parameter vital dan penilaian risiko secara menyeluruh. Perlu diketahui bahwa risiko preeklampsia akan meningkat pada ibu hamil dengan riwayat preeklampsia, ibu dengan diabetes, hipertensi kronik, kehamilan pertama, serta bila usia ibu ≥35 tahun.[4,8]

Selain itu, perlu diketahui pula bahwa preeklampsia utamanya ditandai oleh peningkatan tekanan darah pada ibu hamil dengan tekanan darah sebelumnya normal. Hipertensi ini muncul pada kehamilan usia di atas 20 minggu, serta secara klasik diikuti dengan proteinuria. Meski demikian, preeklampsia bisa terjadi tanpa proteinuria, melainkan disertai dengan trombositopenia, disfungsi ginjal, disfungsi hati, gangguan neurologi, atau gangguan penglihatan.[4]

Perawatan Postpartum

Preeklampsia postpartum seringkali tidak dipertimbangkan oleh dokter untuk pasien yang datang setelah melahirkan dengan gejala seperti sakit kepala atau gejala neurologis lain, edema kaki, hipertensi, atau nyeri perut. Selain itu, pasien dengan preeklampsia antenatal atau hipertensi seringkali tidak mendapatkan tindak lanjut yang memadai atau penanganan medis berkelanjutan setelah melahirkan, yang menyebabkan morbiditas ibu dan bayi serta kematian ibu.[11]

Edukasi dan Pemberdayaan Pasien

Dokter dan bidan berperan penting dalam memberikan edukasi terhadap ibu hamil dan meningkatkan kesadaran serta peran aktif pasien. Edukasi perlu mencakup gejala awal preeklampsia, pentingnya perawatan antenatal untuk ibu hamil, serta manfaat intervensi nutrisi. Edukasi yang efektif dapat meningkatkan kesadaran pasien dan keluarga untuk segera mencari pertolongan saat muncul gejala mencurigakan.[2,3]

Pencegahan dengan Suplementasi Kalsium dan Suplemen Mikronutrien Multipel

Salah satu intervensi yang terbukti efektif dalam mencegah preeklampsia adalah suplementasi kalsium. WHO merekomendasikan pemberian kalsium 1,5–2 gram/hari pada ibu hamil dengan asupan rendah, terutama di negara-negara dengan prevalensi preeklampsia tinggi seperti Indonesia. Suplementasi ini menurunkan risiko preeklampsia hingga 55% dan risiko kematian maternal hingga 20% dalam kelompok risiko tinggi.[9]

Selain kalsium, suplemen mikronutrien multipel (multiple micronutrient supplementation/MMS) seperti formulasi UNIMMAP telah menunjukkan manfaat signifikan dalam menurunkan kejadian preeklampsia, prematuritas, dan berat badan lahir rendah. Suplementasi MMS sejak trimester pertama juga membantu memperbaiki status gizi ibu secara menyeluruh, termasuk zat besi, asam folat, vitamin D, dan zinc yang diduga berperan dalam patofisiologi preeklampsia.[10]

Kesimpulan

Underdiagnosis preeklampsia di Indonesia merupakan tantangan serius yang berkontribusi pada tingginya morbiditas dan mortalitas maternal. Deteksi dini melalui layanan antenatal yang berkualitas, edukasi pasien secara aktif, serta pemahaman klinis yang lebih luas terhadap spektrum gejala preeklampsia (termasuk bahwa preeklampsia bisa terjadi tanpa proteinuria) merupakan langkah krusial.

Saat kunjungan antenatal, lakukan pemeriksaan tanda dan gejala preeklampsia, seperti peningkatan tekanan darah awitan baru pada ibu dengan usia kehamilan di atas 20 minggu dan edema ekstremitas. Identifikasi pula faktor risiko, seperti usia ibu ≥35 tahun, kehamilan pertama, dan riwayat hipertensi atau preeklampsia sebelumnya.

Di sisi lain, intervensi preventif seperti suplementasi kalsium dan mikronutrien multipel sebaiknya menjadi bagian dari protokol rutin perawatan ibu hamil. Intervensi mudah dan murah tersebut bisa secara signifikan menurunkan angka kejadian preeklampsia dan kematian.

Referensi