Manfaat dan Pilihan Antibiotik Profilaksis untuk Penyakit Paru Obstruksi Kronik

Oleh :
dr.N Agung Prabowo, Sp.PD, M.Kes

Manfaat dan pilihan antibiotik profilaksis untuk pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) harus memperhatikan keseimbangan antara keuntungan dan risiko pada pasien secara individu, serta potensi bahaya bagi masyarakat. Penggunaan antibiotik profilaksis memberikan manfaat dalam mengurangi kejadian eksaserbasi pada pasien PPOK. Akan tetapi, kekhawatiran tentang efek samping obat dan resistensi antibiotik menjadi pertimbangan pemberian antibiotik profilaksis tersebut.

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

Penyakit paru obstruksi kronis adalah penyakit yang ditandai dengan gangguan pernapasan persisten, disertai keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan pada saluran napas dan/atau alveolar. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh paparan partikel atau gas yang berbahaya, misalnya merokok atau menghirup polusi. Banyak penderita PPOK mengalami eksaserbasi akut, yang didefinisikan sebagai gejala pernafasan akut yang memburuk hingga membutuhkan terapi tambahan.[1,2]

Manfaat dan Pilihan Antibiotik Profilaksis untuk Penyakit Paru Obstruksi Kronik-min

Upaya mencegah dan mengobati eksaserbasi adalah bagian penting dari manajemen PPOK, sehingga bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan prognosis pasien. Infeksi pernapasan adalah  pemicu eksaserbasi PPOK, dimana bukti saat ini menunjukkan bahwa infeksi virus merupakan penyebab utama eksaserbasi dan perubahan di lingkungan setempat, seperti peningkatan polusi udara. Karena itu, pencegahan eksaserbasi PPOK termasuk menghindari asap rokok dan polusi udara, serta pemberian vaksinasi influenza, vaksinasi pneumokokus, obat bronkodilator, kortikosteroid, mukolitik, inhibitor phosphodiesterase 4 (PDE4), dan vitamin D. Terdapat teori bahwa pemberian antibiotik profilaksis juga diharapkan dapat mencegah eksaserbasi PPOK, karena salah satu penyebab infeksi pernafasan adalah bakteri.[1-3,8]

Manfaat Antibiotik Profilaksis pada PPOK

Penggunaan antibiotik profilaksis berkelanjutan dipercaya akan mengurangi jumlah pasien dengan eksaserbasi dan frekuensi eksaserbasi. Selain itu, juga dapat memperpanjang waktu rata-rata eksaserbasi pertama, dan meningkatkan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan. Antibiotik yang biasa digunakan adalah dari golongan makrolida yaitu azitromisin.

Selain itu, dapat juga digunakan:

Pilihan antibiotik harus berdasarkan pola resistensi bakteri lokal. Pada pasien PPOK yang sering mengalami eksaserbasi, gejala pernapasan berat, dan/atau eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanis, harus diperikas pemeriksaan kultur dari dahak atau bahan lain dari paru-paru. Bakteri gram negatif seperti Pseudomonas sp atau patogen resisten yang mungkin ada tidak akan sensitif terhadap antibiotik tertentu. Rute pemberian tergantung kemampuan pasien dan farmakokitetik antibiotik, tetapi lebih baik diberikan peroral. Keberhasilan klinis dinilai dari gejala dispnea dan purulensi sputum.[8]

Antibiotik Profilaksis PPOK berdasarkan Guideline GOLD

Pada guideline GOLD tahun 2020 (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease), disebutkan bahwa salah satu intervensi yang diberikan untuk mengurangi frekuensi eksaserbasi PPOK adalah pemberian antiinfeksi, termasuk pemberian antibiotik profilaksis makrolida jangka panjang. Hingga saat ini, hasil studi membuktikan azitromisin terbaik untuk pasien PPOK yang masih mengalami eksasebasi walau sudah menggunakan kombinasi LAMA/LABA/ICS (long acting muscarinic antagonist / long acting beta agonist / inhaled corticosteroid).[8]

Pemberian azitromisin untuk mencegah eksaserbasi PPOK telah diteliti pada pasien dengan obstruksi aliran udara sedang hingga sangat berat. Hasil penelitian membuktikan manfaat antibiotik profilaksis golongan makrolida tersebut tidak terlalu besar, hanya terlihat cukup signifikan pada pasien yang tidak aktif merokok dan berusia 65 tahun atau lebih. Namun, perlu pertimbangan antara manfaat dan risiko organisme berkembang menjadi resisten.  harus menjadi pengambilan keputusan.[1,8]

Meskipun pengobatan menggunakan antibiotika makrolida untuk mencegah eksaserbasi telah direkomendasikan secara kondisional oleh GOLD, tetapi mekanisme yang mendasarinya tidak sepenuhnya jelas. Faktor-faktor yang telah terbukti bermanfaat bagi pasien PPOK adalah efek antiinflamasi, antivirus, dan potensi modulasi imun.  Studi meta analisis dari Huckle et al  menunjukkan efek antibiotik pada penurunan jumlah sel inflamasi (neutrofil dan makrofag), penurunan tingkat sitokin inflamasi (IL-1β, IL-6, IL-8, IL-10, TNF-α, faktor stimulasi koloni granulosit-makrofag, CXC-kemokin), dan penurunan penanda inflamasi lainnya (protein C-reaktif).[4,5]

Mekanisme Antibiotik Profilaksis PPOK

Neutrofil dan makrofag memiliki peran penting dalam respons imun awal pada PPOK, yaitu reaksi lipopolisakarida yang ditemukan dalam asap rokok. Reactive Oxygen Specific (ROS) menyebabkan aktivasi faktor transkripsi seperti Nuclear Factor kappa B (NF-κB) dan protein kinase. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokin proinflamasi dari makrofag dan neutrofil, sehingga menyebabkan keadaan peradangan kronis yang terus menerus.[4]

Azitromisin dapat meningkatkan fagositosis makrofag atau mekanisme pro-phagocytic, yaitu melalui efek pada jalur phosphatidylserine yang menyebabkan fagositosis makrofag sel epitel. Klaritromisin memiliki mekanisme antiinflamasi yang mengurangi onset inflamasi pada tikus yang terpapar asap rokok, dimana klaritromisin mengurangi infiltrasi makrofag alveolar yang menyebabkan berkurangnya pelepasan sitokin proinflamasi, dan dapat mengurangi kerusakan jaringan ekstraseluler. Sedangkan eritromisin telah terbukti menurunkan aktivitas NF-κB dalam monosit manusia yang telah diinduksi dengan ekstrak asap rokok, sehingga dapat mengurangi peradangan.[4]

Risiko Antibiotik Profilaksis

Manfaat yang dicapai oleh antibiotik profilaksis untuk mencegah eksaserbasi PPOK memiliki berbagai efek samping, salah satunya adalah kekhawatiran tentang resistensi antibiotik. Peningkatan isolat resisten terlihat selama intervensi dengan antibiotik profilaksis, yang melibatkan azitromisin, doksisiklin, dan moxifloxacin. Penelitian Brill et al. menemukan bahwa penggunaan antibiotika profilaksis, baik azitromisin, moksifloksasin, dan doksisiklin memang dapat menurunkan jumlah bakteri setelah 13 minggu pemberian. Akan tetapi, didapatkan kasus resistensi yang meningkat terhadap antibiotik tersebut pada infeksi bakteri non-pneumonia.[2,4,6]

Selain resistensi, beberapa efek samping yang sering terjadi pada penggunaan antibiotik jangka panjang, adalah gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, diare; gejala kardiovaskular yaitu prolong QT pada gambaran EKG; gejala muskuloskeletal atau nyeri otot; dan gangguan sistem saraf atau neuropati.[2,6]

Antibiotika golongan makrolida terbukti menimbulkan risiko perpanjangan QT pada gambaran EKG, dan  dapat mengganggu metabolisme sitokrom p450 dari obat aritmogenik lainnya sehingga bisa menimbulkan aritmia ventrikel. Pengaruh pada perpanjangan QT tergantung pada konsentrasi makrolida yang diberikan. Azitromisin adalah makrolida dengan gangguan minimal pada sitokrom p450 sehingga memiliki risiko aritmia ventrikel yang rendah.[7]

Manfaat Vs Risiko Antibiotik Profilaksis

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa antibiotik profilaksis lebih bermanfaat pada pasien PPOK derajat sedang hingga berat jika dibandingkan dengan efek sampingnya. Studi meta analisis oleh Wang et al tahun 2018, menganalisis 12 percobaan acak terkontrol yang melibatkan 3683 pasien PPOK sedang hingga berat dalam kondisi stabil. Hasil studi ini menyebutkan bahwa antibiotik profilaksis efektif dalam mencegah eksaserbasi PPOK dan meningkatkan kualitas hidup, terutama pada pemberian azitromisin atau eritromisin.

Tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat keseluruhan efek samping antara kelompok yang mendapatkan antibiotik dan plasebo. Selain itu, tidak ada perubahan signifikan pada fungsi paru-paru, bacterial load dan radang saluran napas. Akan tetap, isolat yang resisten terhadap antibiotik meningkat secara signifikan (OR 4,49, 95% CI 2,48-8,12), sehingga pilihan antibiotik profilaksis harus dianalisis dan dipertimbangkan kasus per kasus, terutama untuk penggunaan jangka panjang dan terus menerus.[4]

Studi meta analisis terbaru lainnya oleh Herats et al, 2018, telah menganalisis 14 penelitian dan melibatkan 3932 penderita PPOK sedang hingga sangat berat.  Dengan pemberian antibiotik profilaksis, jumlah subjek yang mengalami >1 kali eksaserbasi berkurang. Antibiotik profilaksis diberikan selama 3-12 bulan, pemberian secara kontinyu dan intermiten mungkin lebih efektif daripada pemberian sewaktu-waktu.

Pengobatan antibiotik profilaksis juga memberikan penurunan frekuensi eksaserbasi per pasien per tahun, dan peningkatan yang signifikan secara statistik dalam kualitas hidup yang diukur oleh St George's Respiratory Questionnaire (SGRQ). Namun, antibiotik profilaksis tidak menunjukkan efek signifikan pada hasil sekunder, yaitu tidak menurunkan frekuensi kejadian rawat inap, tidak merubah fungsi paru, tidak meningkatkan kapasitas fungsional paru, dan tidak menurunkan angka kematian.[2]

Efek samping yang dicatat bervariasi di antara penelitian, tergantung pada antibiotik yang digunakan. Azitromisin dikaitkan dengan gangguan pendengaran secara signifikan pada kelompok perlakuan, yang dalam banyak kasus bersifat reversibel. Moxifloxacin dilaporkan memberikan efek samping gastrointestinal yang jauh lebih tinggi pada kelompok pengobatan. Beberapa efek samping yang menyebabkan penghentian obat, seperti perpanjangan QT pada gambaran EKG atau tinitus, tidak secara signifikan lebih sering pada kelompok pengobatan daripada kelompok plasebo, tetapi menimbulkan pertimbangan penting dalam praktik klinis.[2]

Perkembangan resistensi antibiotik di masyarakat menjadi perhatian utama. Terdapat 6 penelitian yang melaporkan tentang ini, tetapi kesimpulannya tidak dapat digabungkan. Satu studi menemukan kelompok subjek yang mengalami tingkat resistensi antibiotik lebih tinggi. Kelompok subjek yang terinfeksi moxifloxacin‐sensitive pseudomonas pada awal terapi, setelah mendapatkan antibiotik profilaksis dengan cepat menjadi resisten terhadap pengobatan kuinolon. Sebuah studi lebih lanjut dengan tiga kelompok pengobatan aktif, menemukan kenaikan tingkat resistensi antibiotik pada ketiga kelompok setelah 13 minggu pengobatan.[2]

Kesimpulan

Antibiotik profilaksis terbukti bermanfaat pada pencegahan eksaserbasi pasien PPOK dan peningkatan kualitas hidup pasien. Namun, antibiotik profilaksis tidak berpengaruh pada frekuensi kejadian rawat inap, fungsi paru, dan angka kematian. Selain itu, pemberian antibiotik profilaksis dalam jangka waktu lama memiliki risiko efek samping dan meningkatkan kejadian resistensi antibiotik pada masyarakat. Pemeriksaan CRP dapat membantu keputusan pemberian antibiotik ini.

Berdasarkan strategi GOLD tahun 2020, antibiotik profilaksis dapat diberikan pada pasien PPOK yang sering mengalami eksaserbasi walau sudah diberikan LAMA/LABA/ICS, terutama pasien yang tidak merokok aktif.  Pilihan antibiotik adalah azitromisin (250 mg/hari atau 500 mg 3x/minggu), atau eritromisin (500 mg 2x/hari), maksimal selama 1 tahun. Belum ada data yang menunjukkan efikasi dan keamanan pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah eksaserbasi PPOK lebih dari 1 tahun.[8]

Referensi