Tatalaksana Febrile Neutropenia Pasca Kemoterapi

Oleh :
Yelvi Levani

Febrile neutropenia merupakan salah satu komplikasi dari kemoterapi pada pasien kanker. Febrile neutropenia adalah suatu keadaan munculnya demam saat terjadi neutropenia signifikan. Neutropenia akan meningkatkan risiko seseorang terkena infeksi dan meningkatkan derajat keparahan infeksi tersebut.

Secara klinis, febrile neutropenia didefinisikan sebagai peningkatan suhu tubuh > 38 C dengan pembacaan berturut-turut dalam waktu 2 jam, dan disertai dengan jumlah hitung neutrofil absolut <0,5 x 109 /L. [1] Komplikasi febrile neutropenia pasca kemoterapi pada pasien kanker seringkali menyebabkan diturunkannya dosis kemoterapi atau ditundanya pemberian kemoterapi sehingga dapat mempengaruhi respon terapi.[2]

febrile neutropenia

Faktor Risiko Terjadinya Febrile Neutropenia Pasca Kemoterapi

Febrile neutropenia dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi serta membutuhkan perawatan intensif di Rumah Sakit. Risiko kejadiannya bergantung pada karakteristik pasien, tipe keganasan, komorbiditas, dan komplikasi infeksi.[3] Tingkat mortalitas febrile neutropenia pasca kemoterapi pada pasien dengan solid tumor sekitar 5%, sedangkan pada pasien dengan keganasan hematologi adalah sekitar 11%.[1] Faktor risiko terjadinya febrile neutropenia pada pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi dibagi menjadi dua yaitu faktor pasien dan faktor regimen kemoterapi.

Faktor Risiko Pasien

Faktor risiko yang berasal dari pasien diantaranya adalah jenis kanker, stadium kanker, kondisi kesehatan sebelum kemoterapi, komorbiditas yang dimiliki pasien, dan usia ≥70 tahun.

Faktor Regimen Kemoterapi

Sedangkan faktor regimen kemoterapi juga termasuk faktor risiko terjadinya febrile neutropenia karena beberapa regimen kemoterapi lebih mielotoksik dibandingkan regimen yang lain.[4] Contohnya kombinasi siklofosfamid, methotrexate dan 5-fluorourasil yang kurang mielotoksik dibandingkan dengan kombinasi siklofosfamid, doksorubisin dan 5-fluorourasil, sehingga kombinasi yang pertama lebih sering digunakan untuk pasien usia tua dengan kanker payudara.[5] Bila diberikan regimen kemoterapi dengan mielotoksisitas yang tinggi, maka pasien dapat diberikan injeksi growth factors atau colony-stimulating factors yang bertujuan untuk membantu menstimulasi perkembangan neutrofil sehingga dapat mencegah terjadinya febrile neutropenia.[6]

Keparahan Infeksi pada Febrile Neutropenia Pasca Kemoterapi

Kondisi neutropenia dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi secara cepat. Prognosis febrile neutropenia pasca kemoterapi menjadi lebih buruk pada pasien dengan hasil kultur bakteri darah yang positif, dimana tingkat mortalitas menjadi sekitar 18% bila ditemukan kultur bakteri gram negatif dan tingkat mortalitas 5% bila ditemukan kultur bakteri gram positif.[1] Bakteri gram negatif yang sering menginfeksi pasien kanker diantaranya Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan bakteri gram positif yang sering menginfeksi pasien kanker diantaranya Staphylococcus sp, Streptococcus sp dan Enterococcus.[7]

Tatalaksana Febrile Neutropenia

Tatalaksana febrile neutropenia dibedakan berdasarkan risiko pada pasien. Penilaian awal dapat dilakukan dengan:

  • Menggali riwayat medis pasien untuk mengetahui jenis kanker, stadium kanker, regimen terapi yang diberikan, pemberian antibiotik profilaksis sebelumnya, penggunaan kortikosteroid dalam waktu lama, prosedur pembedahan yang dilakukan, dan adanya riwayat alergi termasuk alergi obat.
  • Melakukan pemeriksaan fisik lengkap, termasuk melihat adanya tanda infeksi dan peradangan pada jalur intravena
  • Mencari tanda dan gejala infeksi pada sistem respirasi, saluran pencernaan, kulit, sistem urogenital, orofaring, dan sistem saraf pusat
  • Mencari tahu hasil kultur darah sebelumnya di rekam medik bila ada
  • Lakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, faal koagulasi, rontgen thoraks C-reactive protein (CRP), urinalisis, dan kultur. Kultur utamanya menggunakan sampel darah, namun dapat juga diambil dari urin, feses, luka pada kulit, ataupun infeksi yang terdapat pada jalur insersi intravena.[1]

Penentuan Indeks Prognosis Pasien

Derajat risiko pasien serta prognosis dapat dihitung menggunakan indeks skoring MASCC (Multinational Association for Supportive Care in Cancer), dimana komplikasi diperkirakan rendah bila indeks MASCC ≥ 21 (risiko 5%) dan komplikasi diperkirakan tinggi bila indeks MASCC ≤ 15 (risiko 40%).[8]

Tabel 1. Indeks MASSC

Karakteristik Skor
Gejala ringan 5
Gejala sedang 3
Gejala berat 0
Tekanan darah sistolik > 90 mmHg 5
Tidak memiliki riwayat PPOK 4
Tumor solid / limfoma tanpa adanya infeksi jamur sebelumnya 4
Tidak dehidrasi 3
Saat demam, pasien sedang poliklinis 3
Usia < 60 tahun 2

Profilaksis

Profilaksis febrile neutropenia diantaranya:

  • Antibiotik: Sejak tahun 1990, antibiotik fluoroquinolone digunakan sebagai profilaksis. Tetapi seiring dengan peningkatan resistensi bakteri maka pemberian antibiotik profilaksis sebelum kemoterapi harus mempertimbangkan manfaat dan risiko pada masing-masing pasien. Studi meta analisis Cochrane masih merekomendasikan penggunaan levofloxacin atau ciprofloxacin.[9]

  • Growth colony stimulating factor (G-CSF): dapat diberikan sebagai profilaksis bila kemungkinan risiko >20%. Untuk pasien dengan risiko sedang (10-20%) maka harus dipertimbangkan usia dan komorbiditas. G-CSF dapat diberikan 5 ug/kg/hari secara subkutan selama 24-72 jam setelah hari terakhir kemoterapi sampai sekitar 10 hari [10]

Tatalaksana pada Pasien Risiko Rendah

Pasien febrile neutropenia pasca kemoterapi dikatakan memiliki risiko komplikasi rendah bila skor MASCC ≥ 21, kondisi hemodinamik pasien stabil, tidak mengalami leukemia akut atau kegagalan fungsi organ, tidak menderita pneumonia, pembengkakan pada jalur intravena, serta tidak memiliki infeksi pada jaringan lunak. Pada pasien ini, antibiotik dapat diberikan secara oral. Namun, bila sebelumnya pasien mendapatkan antibiotik intravena, maka dapat diganti menjadi antibiotik oral setelah 48 jam bebas demam.

Pemberian antibiotik quinolone tunggal (moxifloxacin) dilaporkan tidak inferior dibandingkan pemberian antibiotik kombinasi (quinolone dengan amoksisilin serta asam klavulanat). Namun, antibiotik kombinasi saat ini lebih banyak dipilih karena semakin banyaknya infeksi bakteri gram positif pada pasien febrile neutropenia.

Antibiotik quinolone oral tidak dapat diberikan untuk pasien febrile neutropenia yang mendapatkan antibiotik quinolone sebagai profilaksis.

Pasien febrile neutropenia dengan risiko rendah dapat keluar rumah sakit lebih awal bila kondisi stabil, gejala klinis membaik, dan tidak demam minimal 24 jam saat dirawat di Rumah Sakit.[11] Pemulangan pasien lebih awal dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan pasien serta menurunkan risiko infeksi nosokomial.[12]

Tatalaksana pada Pasien dengan Risiko Tinggi

Pasien febrile neutropenia pasca kemoterapi dikatakan memiliki risiko komplikasi tinggi bila skor MASCC < 21 maka harus dirawat inap di Rumah Sakit, diberikan injeksi antibiotik spektrum luas secara intravena, serta dimonitor secara intensif karena risiko terjadinya sepsis sangat tinggi.[12]  

Resusitasi dan Disposisi Pasien Febrile Neutropenia:

Pada pasien risiko tinggi, lakukan identifikasi sumber infeksi. Apabila sumber infeksi berasal dari tempat insersi jarum infus, maka IV line harus dilepaskan sementara. Apabila terdapat abses, maka dapat dilakukan tindakan pembedahan. Perawatan pasien sebaiknya dilakukan di ruangan yang terpisah dengan pasien lain, misalnya di ICU.

Pemilihan Antibiotik:

Terapi antibiotik empiris dapat dilakukan secara monoterapi (misalnya ceftazidime, cefepime, imipenem, meropenem atau piperacillin-tazobaktam) ataupun kombinasi (golongan beta laktam dan aminoglikosida).[10]

Pemberian terapi spesifik bisa diberikan bila diketahui pathogen dan sumber infeksinya, diantaranya:

  • Penggunaan jalur kateter intravena sentral: pasien febrile neutropenia yang menggunakan jalur kateter intravena sentral harus dilakukan kultur darah dari kateter tersebut dan darah tepi untuk mengetahui differential time to positivity (DTTP), bila DTTP +/- 2 jam maka dicurigai bakteremia spesifik akibat pemasangan kateter. Antibiotik yang dapat digunakan adalah Vankomisin. Pada pasien yang dicurigai sumber infeksi berasal dari pemasangan jalur IV dan pasien dalam kondisi stabil maka kateter IV tidak perlu dicabut tanpa adanya bukti hasil pemeriksaan mikrobiologi.[13] Kateter IV dapat dipertimbangkan untuk dicabut bila terdapat pocket infection, tunnel infection, bakteremia persisten walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat, infeksi mycobacterium atypical, dan infeksi jamur candida.

  • Pneumonia: Apabila pasien terdiagnosa pneumonia, maka antibiotik yang diberikan harus mencakup organisme atipikal seperti Legionella dan Mycoplasma, yaitu dengan cara menambahkan makrolida atau fluoroquinolone dengan antibiotik beta laktam. Pada pasien risiko tinggi dengan neutropenia berat dan gambaran infiltrasi paru pada foto rontgen, maka direkomendasikan untuk diberikan antifungal seperti vorikonazol atau liposomal amfoterisin B
  • Selulitis: Pasien febrile neutropenia dengan selulitis dapat diberikan antibiotik vankomisin. Alternatif lain adalah linezolid dan daptomycin

  • Sepsis: Bila terdapat sepsis yang disebabkan oleh infeksi saluran pencernaan, maka antibiotik metronidazole dapat ditambahkan. Kecuali bila pasien sudah mendapatkan piperasilin-tazobaktam atau karbapenem
  • Kandidiasis: Terapi lini pertama dari kandidiasis adalah liposomal amfoterisin B dan ekinokandin seperti caspofungin. Pemberian antifungal harus diberikan sampai neutropenia membaik, atau setidaknya sekitar 14 hari
  • Diare: Bila pasien diare maka harus dipertimbangkan adanya infeksi Clostridium difficile, dapat diberikan vankomisin oral atau metronidazole.

  • Lesi vesikuler: Pasien febrile neutropenia dengan lesi vesikuler dapat diberikan acyclovir. Bila kecurigaan mengarah ke infeksi cytomegalovirus, maka terapi yang diberikan adalah Gancyclovir.

Bila demam masih dialami dalam waktu 48 jam tetapi kondisi klinis stabil, maka terapi antibiotik dilanjutkan. Bila kondisi pasien tidak stabil, maka terapi dapat diganti dengan antibiotik yang lebih luas atau sesuai dengan hasil pemeriksaan kultur dan resistensi. Bila demam masih dialami > 4 – 6 hari walaupun dengan pemberian antibiotik yang tepat, maka mungkin diperlukan penambahan terapi antifungal.

Bila pasien sudah tidak demam selama 48 jam, tidak didapatkan bakteri pada kultur darah, dan hitung neutrofil ≥ 0,5 x 109 /l, maka pemberian antibiotik dapat dihentikan. Bila pasien sudah tidak demam selama 5 – 7 hari, tetapi hitung neutrofil < 0,5 x 109 /l, maka terapi antibiotik dapat dihentikan, kecuali pada kasus tertentu misalnya pada kasus leukemia akut yang dapat dilanjutkan sampai 10 hari atau hitung neutrofil menjadi ≥ 0,5 x 109 /l.

Penggunaan G-CSF:

Granulocyte colony stimulating factor (G-CSF) dapat diberikan sebagai profilaksis febrile neutropenia apabila risiko pasien ≥ 20%. Dosis yang dapat digunakan adalah 5 mcg/kgBB/haru secara subkutan 24-72 jam setelah regimen kemoterapi terakhir hingga angka hitung neutrofil membaik atau stabil. [10]

Kesimpulan

Febrile neutropenia merupakan salah satu komplikasi pemberian kemoterapi pada pasien kanker yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh serta penurunan jumlah hitung neutrofil. Febrile neutropenia berhubungan dengan risiko infeksi yang cepat sehingga dibutuhkan penanganan segera. Profilaksis berupa antibiotik (levofloxacin atau ciprofloxacin) dan Growth colony stimulating factor (G-CSF) dapat diberikan pada pasien dengan risiko tinggi. Pemberian terapi antibiotik disesuaikan dengan derajat risiko komplikasi pasien. Pasien dengan derajat komplikasi rendah dapat diberikan antibiotik secara per oral menggunakan moxifloxacin tunggal atau kombinasi dengan amoxicillin klavulanat. Sedangkan pasien dengan derajat komplikasi tinggi harus dirawat inap di Rumah Sakit sehingga dapat diberikan antibiotik spektrum luas melalui intravena, sambil dilakukan pemantauan ketat.

Referensi