Keamanan Penurunan Berat Badan secara Drastis

Oleh :
Maria Rossyani

Keamanan penurunan berat badan secara drastis masih kontroversial. Menurunkan berat badan, terutama pada penderita obesitas dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 30 kg/m2, dapat menurunkan resiko penyakit kardiometabolik. Namun, manakah yang lebih baik, penurunan berat badan jangka panjang secara perlahan atau penurunan drastis dalam jangka pendek?

Tinjauan Fisiologis Penurunan Berat Badan

Pada penurunan berat badan, terdapat fase berkurangnya konsumsi energi secara signifikan, sehingga menciptakan kondisi defisit energi yang akan menyebabkan penurunan berat badan. Selain itu, terjadi respon hormon dari dalam tubuh, seperti penurunan hormon tiroid, leptin, insulin, dan testosteron serta meningkatkan hormon ghrelin dan kortisol.

Keamanan Penurunan Berat Badan secara Drastis-min

Kortisol merupakan hormon stres, yang juga berfungsi sebagai penanda penghancuran protein. Secara khusus, kortisol berperan pada penghancuran protein dalam otot. Perubahan hormon ini tidak hanya terjadi pada fase penurunan berat badan, tetapi akan bertahan, bahkan setelah fase penurunan berat badan aktif telah selesai.[1]

Bukti Klinis Penurunan Berat Badan Secara Drastis vs Perlahan

Tahun 2014, randomized controlled trial (RCT) oleh Purcell et al. membandingkan dua modalitas diet yang berbeda. Pada fase 1 partisipan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu diet sangat rendah kalori selama 3 bulan, dengan 450-800 kalori per hari, atau disebut kelompok diet cepat, dan kelompok diet bertahap, yaitu memotong asupan kalori sebanyak 500 kalori per hari selama 9 bulan.[2]

Pada akhir fase 1, jumlah partisipan yang berhasil menurunkan berat badan pada kelompok diet cepat dan diet bertahap adalah sebesar 50 dan 81%. Setelah itu, untuk fase 2, partisipan mendapatkan program diet rumatan selama 144 minggu. Luaran akhir penelitian adalah jumlah partisipan yang tidak mengalami kenaikan berat badan kembali.[2]

Pada akhir fase 2, tingkat kenaikan berat badan kembali (weight regain) antara dua kelompok hampir sama, yaitu 71,2% pada kelompok diet bertahap, dan sebesar 70,5% pada kelompok diet cepat. Hasil penelitian di atas menunjukkan kecepatan penurunan berat badan tidak memengaruhi proporsi kenaikan berat badan. Program diet cepat selama 3 bulan juga lebih mudah diikuti, dan jumlah pasien yang bertahan mengikuti program diet 3 bulan lebih tinggi dibandingkan dengan program diet 9 bulan.[2]

Sebuah tinjauan sistematis dan metaanalisis tahun 2020 membandingkan penurunan berat badan drastis dan perlahan pada partisipan overweight dan obesitas terhadap luaran total penurunan berat badan, komposisi tubuh, dan resting metabolic rate (RMR).[3]

Meskipun jumlah penurunan berat badan antara kedua kelompok hampir serupa, dengan rerata perbedaan hanya 0,3 kg, penurunan perlahan menghasilkan reduksi massa lemak dan persentase lemak tubuh yang lebih besar secara bermakna. Selain itu pada kelompok penurunan drastis terjadi penurunan RMR yang lebih besar.[3]

Penelitian oleh Bagheri et al. tahun 2020 membandingkan efek penurunan berat badan yang drastis dan bertahap pada subjek perempuan yang overweight dan obesitas. Hasil penelitian menunjukkan kehilangan massa otot yang lebih besar pada penurunan berat badan drastis.[4]

Efek Samping Penurunan Berat Badan Secara Drastis Terhadap Organ Tubuh

Efek samping utama dari penurunan berat badan secara drastis adalah perubahan fisiologis atau fungsi tubuh yang terlalu drastis, sehingga dapat menimbulkan penyakit.

Secara umum, penurunan berat badan menurunkan risiko terbentuknya batu empedu. Namun, pada penurunan drastis, misalnya lebih dari 1,5 kg/minggu atau berat badan berkurang lebih dari 25% dengan cepat dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu empedu. Penurunan berat badan drastis menyebabkan tubuh berada pada keadaan litogenik sehingga memudahkan terbentuknya batu empedu.[5]

Keadaan berat badan yang naik turun dengan cepat juga merupakan faktor risiko terbentuknya batu empedu. Fluktuasi berat badan sedang, yaitu 4,5–8,5 kg, dan berat, yaitu lebih 9 kg, meningkatkan risiko kolesistektomi 31 dan 68% secara berurutan.[5]

Tidak hanya pada empedu, jantung juga dapat terpengaruh secara langsung terpengaruh. Penurunan berat badan yang signifikan, terutama dengan very low calorie diet (VLCD), dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya, seperti aritmia dan kematian mendadak. Penelitian menunjukkan adanya perubahan sistem listrik jantung, yaitu pada repolarisasi jantung, yang muncul setelah penurunan berat badan sekitar 13,4%.[6]

Sementara itu, dapat terjadi penurunan kadar kepadatan tulang pada pasien yang mengalami penurunan berat badan drastis. Namun, efek ini bisa ditanggulangi dengan mengonsumsi suplementasi kalsium dan olahraga yang rutin. Sayangnya, efek penurunan kepadatan tulang ini tetap bertahan pada wanita yang sudah mengalami menopause, sehingga semakin berisiko mengalami osteoporosis.[7]

Pada populasi non atlet, komplikasi medis dari penurunan berat badan secara drastis adalah bradikardia, hipotensi hingga masalah elektrolit, seperti hipokalemia dan hipofosfatemia. Walau demikian, perlu diingat bahwa kebanyakan subyek penelitian merupakan pasien obesitas.[8]

Efek Samping Penurunan Berat Badan Secara Drastis Terhadap Psikologi

Selain organ-organ tubuh, efek penurunan badan yang drastis juga mempengaruhi psikologi dan kualitas hidup secara keseluruhan. Beberapa literatur yang telah ada meneliti subpopulasi atlet yang sering kali harus menurunkan atau menaikkan berat badan secara drastis terkait performa di cabang olahraga masing-masing.[9,10]

Secara umum, penelitian pada kelompok atlet yang telah ada dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pada atlet dengan olahraga bela diri dan olahraga lainnya. Penelitian pada petinju dan atlet mixed martial art menunjukkan efek negatif dari penurunan badan secara drastis.[9,10]

Penelitian pada atlet mixed martial art yang melakukan program penurunan berat badan secara drastis menemukan peningkatan hormon stres berupa kortisol dan meningkatkan kadar SGOT, LDH dan CK, di mana ketiganya merupakan penanda kerusakan otot.[9]

Selain dari kerusakan otot dan peningkatan hormon stres, penurunan berat badan secara signifikan dalam waktu singkat juga menyebabkan penurunan mood dan performa secara signifikan, sama seperti yang dilaporkan pada petinju. Kedua penelitian tersebut menggunakan perubahan berat badan yang lebih signifikan, yaitu penurunan berat badan lebih besar dari 10% dalam durasi 1 minggu atau kurang.[10]

Kesimpulan

Penurunan berat badan bukanlah hanya sekedar penurunan angka di timbangan, tetapi diharapkan juga menurunkan risiko penyakit secara keseluruhan dan meningkatkan kualitas hidup. Penurunan berat badan juga sebaiknya dipertahankan, dan tidak terjadi kenaikan berat badan kembali. Sebaiknya, penurunan berat badan dilakukan secara hati-hati dengan penurunan perlahan dalam jangka panjang, dibandingkan penurunan secara drastis.

 

 

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi