Gut-Brain Axis: Mitos atau Fakta

Oleh :
dr. Irwan Supriyanto PhD SpKJ

Gut-brain axis merupakan konsep yang kontroversial, sehingga dipertanyakan apakah hal ini merupakan fakta atau hanya mitos semata. Penelitian pada hewan dan penelitian awal pada manusia telah membuktikan konsep ini. Namun, potensi aplikasi klinisnya, baik untuk penyakit neuropsikiatri, maupun untuk penyakit lainnya, masih perlu dibuktikan melalui uji klinis.

Gut brain axis atau terkadang juga dikenal sebagai microbiota-gut-brain axis adalah mekanis pertukaran sinyal dua arah antara saluran gastrointestinal dengan sistem saraf pusat. Gut brain axis diatur oleh milyaran mikroorganisme yang ada dalam usus.[1]

Depositphotos_13281447_xl-2015_compressed2

Seiring waktu, semakin banyak bukti klinis maupun preklinis yang mendukung keterlibatan mikrobiota sebagai faktor suseptibilitas terjadinya berbagai gangguan neuropsikiatri, antara lain penyakit Alzheimer, autism spectrum disorder, multiple sclerosis, penyakit Parkinson, dan stroke.[2,3]

Mekanisme Komunikasi Brain Gut Axis

Otak mengatur saluran cerna melalui aksis hypothalamic-pituitary-adrenal dan sistem persarafan otonom. Sebagai contoh, norepinefrin akan dilepaskan otak saat tubuh mengalami stres dan diketahui dapat menyebabkan patogen usus berproliferasi.

Sebaliknya, saluran cerna mengatur sistem saraf pusat melalui berbagai metabolit usus, substansi neuroaktif, dan hormon pencernaan yang bekerja melalui sistem persarafan enterik, nervus vagus, sistem sirkulasi dan sistem imun untuk mencapai otak. Salah satu rute langsung adalah dengan nervus vagus. Aferen vagal dapat mendeteksi, lalu melakukan transmisi stimulus dari saluran cerna ke otak.[2]

Interaksi Neuroimun Mikrobiota pada Perkembangan Otak

Pengaruh mikrobiota terhadap saluran cerna dijelaskan dalam berbagai mekanisme. Mikrobiota usus dapat memengaruhi sistem saraf pusat pada tahap perkembangan mikroglia. Metabolit usus, short chain fatty acid (SCFA), diketahui berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan fungsi mikroglia.

Interaksi antara mikrobiota dan sistem saraf pusat juga dapat terlihat dari sel astrosit. Astrosit berperan dalam mengatur homeostasis ion, klirens neurotransmitter, penyimpanan glikogen, pemeliharaan sawar darah otak, dan menyokong neuronal signaling. Selain itu, astrosit juga memegang peranan penting pada neuroinflamasi. Metabolit mikroba usus dapat mengaktivasi aryl hydrocarbon receptors (AhRs) untuk meringankan inflamasi melalui regulasi interferon tipe I dalam astrosit.[4]

Dampak Gangguan Gut Brain Axis

Percobaan pada mencit germ free menunjukkan bahwa ketiadaan mikrobiota saluran cerna pada masa perkembangan otak menyebabkan berbagai gangguan neurologis dan psikiatri.

Mencit germ free mengalami perubahan neurobiologis yang berhubungan dengan berbagai gangguan neurologis, misalnya perilaku mirip ansietas, penurunan volume hipokampus, dan berkurangnya mielinisasi. Mencit germ free juga memiliki mielinisasi berlebihan pada korteks prefrontal, peningkatan neurogenesis pada hipokampus, perubahan konsentrasi dari berbagai neurotransmitter, dan perubahan arborisasi dendritik.[5]

Mikroglia pada mencit germ free tampak sebagai fenotipe imatur dan gagal berespon secara efektif terjadi pola molekuler bakteri, seperti lipopolisakarida. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas sawar darah otak. Berkurangnya integritas sawar darah otak dapat menyebabkan translokasi sel imun dan bakteri sehingga mengakibatkan neuroinflamasi.[6,7]

Mikrobiota saluran cerna maternal juga dilaporkan memodulasi perkembangan mikrobiota, neurodevelopmental, dan perilaku anak. Pemberian antibiotik yang dapat mempengaruhi flora normal saluran cerna ibu pada masa perinatal akan menyebabkan perubahan mikrobiota saluran cerna anak dan menimbulkan gangguan, seperti hipoaktivitas, perilaku kecemasan, dan defisit lokomotor.[8,9]

Namun mekanisme pasti bagaimana mikrobiota saluran cerna maternal bisa mempengaruhi perkembangan otak dan perilaku anak masih belum diketahui.

Selain mempengaruhi perkembangan otak pada masa prenatal, mikrobiota saluran cerna juga mempengaruhi perkembangan otak postnatal. Proses neurogenesis postnatal terbatas pada pada zona subventrikular dari ventrikel lateralis dan zona subgranular pada girus dentatus hipokampus.[10]

Pemberian antibiotik broad spectrum dalam jangka panjang pada mencit dewasa dihubungkan dengan perubahan kimia otak, perilaku, juga struktur mikrobiota. Pada mencit, didapatkan penurunan kadar triptofan dan kynurenine, yang merupakan metabolit dari serotonin, serta penurunan vasopresin dan oksitosin. Perubahan kimiawi ini diduga menyebabkan ansietas, serta gangguan memori dan fungsi neurokognitif.[11]

Aplikasi Konsep Brain Gut Axis

Teori brain gut axis bisa diterapkan baik untuk penyakit gastrointestinal maupun untuk penyakit neuropsikiatri. Walau demikian, aplikasi konsep ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Penanganan dengan target mikrobiota saluran cerna menunjukkan potensi untuk penanganan gangguan psikiatri terkait stres, seperti depresi, gangguan ansietas, dan post-traumatic stress disorder.

Penyakit Psikiatri

Penanganan dengan target mikrobiota saluran cerna dilaporkan bisa memperbaiki gangguan terkait stres dan stabilisasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).

Suplementasi diet dengan polyunsaturated fatty acid docosahexaenoic acid (DHA) pada mencit yang diberi perlakuan isolasi sosial ternyata dapat menurunkan perilaku kecemasan dan depresi. Hal ini berhubungan dengan perubahan komposisi mikrobiota saluran cerna akibat suplementasi DHA.[12]

Pemberian eicosapentaenoic acid dapat menormalisasi mikrobiota saluran cerna pada tikus yang terpapar stres pada masa awal kehidupan dan menurunkan reaktivitas terhadap stres pada tikus-tikus ini.[13]

Penelitian-penelitian ini menunjukkan potensi penanganan gangguan-gangguan psikiatri yang terkait dengan stres melalui modifikasi mikrobiota saluran cerna dengan cara pemberian suplementasi flora normal, prebiotik, dan probiotik.

Tinjauan sistematis oleh Barbosa, et al. pada tahun 2020 menilai justifikasi penggunaan probiotik atau prebiotik pada pasien psikiatri. Probiotik ditemukan memberikan manfaat pada pasien dengan depresi mayor dan penyakit Alzheimer. Satu penelitian mendapatkan bahwa probiotik dapat menurunkan hospitalisasi pada pasien mania akut.[14]

Hasil kontroversial didapatkan untuk manfaat pada autisme, tetapi 1 studi menyatakan pemberian probiotik dini dapat mencegah terjadinya autisme. Probiotik maupun prebiotik tidak ditemukan bermanfaat bagi pasien skizofrenia.[14]

Stroke

Studi potong lintang oleh Yin, et al. pada tahun 2015 menemukan disregulasi komposisi mikrobiota pada pasien stroke, dibandingkan pasien kontrol yang sehat. Penurunan metabolit bakteri usus, yaitu trimethylamine N-oxide dihubungkan dengan meningkatnya risiko kejadian kardiovaskular. Berdasarkan hal ini, modulasi mikrobiota usus mungkin dapat berperan pada terapi stroke.[15]

Selain itu, mikrobiota usus juga diduga berkaitan dengan luaran pada cedera otak. Perubahan komposisi mikrobiota dapat terjadi setelah cedera otak, dan C butyricum terbukti memiliki efek protektif pada model tikus yang mengalami cedera serupa.[16]

Parkinson

Mikrobiota saluran cerna dilaporkan juga mempengaruhi gangguan motorik pada model binatang untuk penyakit Parkinson, yang mungkin berhubungan dengan produksi asam lemak rantai pendek sebagai hasil fermentasi mikrobiota saluran cerna. Beberapa studi juga melaporkan adanya perubahan komposisi mikrobiota usus pada pasien penyakit Parkinson.[17,18]

Penyakit Gastrointestinal

Gejala gastrointestinal sering dihubungkan dengan munculnya gangguan psikologis. Sebaliknya, ansietas dan depresi juga sering disertai dengan terjadinya gejala gastrointestinal awitan baru.

Dysbiosis bakteri usus dapat dijumpai pada berbagai penyakit gastrointestinal, seperti penyakit Celiac, irritable bowel syndrome (IBS), dan inflammatory bowel disease (IBD). Perubahan komposisi mikrobiota ini dapat mengganggu gut brain axis, melalui perubahan neuroendokrin, neuroimmunol, dan sistem sensorik viseral. Pada IBS dan IBD, terapi yang berfokus pada gut brain axis, seperti terapi psikologis dan antidepresan dapat memperbaiki gejala dan kualitas hidup pasien.[19,20]

Kesimpulan

Konsep brain gut axis menunjukkan adanya hubungan dua arah antara saluran cerna dan otak. Konsep ini berpotensi diaplikasikan untuk penanganan penyakit gastrointestinal serta penyakit neuropsikiatri, seperti gangguan ansietas, depresi, parkinson, dan stroke. Walau demikian, masih dibutuhkan studi-studi dengan desain longitudinal yang berkualitas lebih baik, untuk membantu aplikasi secara klinis.

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi