Inisiasi Tata Laksana Depresi di Layanan Primer

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Inisiasi tata laksana depresi di layanan primer sangat penting sebab kebanyakan pasien dengan gejala depresi berobat ke layanan primer dan hanya sebagian kecil pasien dapat dirujuk ke pelayanan kesehatan mental.[1-3]

Berdasarkan World Health Organization (WHO), sekitar 24% pasien yang berobat ke fasilitas layanan primer merupakan pasien dengan diagnosis gangguan jiwa.[4]

Inisiasi Tata Laksana Depresi di Layanan Primer-min

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di tahun 2018 menunjukkan diantara gangguan jiwa, tingkat prevalensi nasional penderita gangguan emosional (GME) dan depresi adalah yaitu 9,8% dan 6,1%.[1,4-6]

Kompetensi dan Wewenang Dokter Umum

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No 4 tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan, pelayanan kesehatan penderita Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di fasilitas layanan primer dapat dilakukan oleh minimal 1 orang dokter dan/atau perawat terlatih jiwa dan/atau tenaga kesehatan lainnya.[5,7]

Adapun jenis pelayanan yang dapat diberikan berupa pemeriksaan kesehatan jiwa yang terdiri dari wawancara dan pemeriksaan status mental, edukasi kepatuhan berobat, dan melakukan rujukan jika diperlukan.[5,7]

Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012, kompetensi dokter umum terhadap kasus depresi berada dalam tingkat kompetensi 2; artinya dokter umum diharapkan mampu mendiagnosis dan melakukan rujukan yang tepat bagi tatalaksana pasien selanjutnya. Dokter umum juga harus mampu melakukan tatalaksana lanjutan setelah kembali dari rujukan.[8]

Penapisan dan Diagnosis Depresi di Layanan Primer

Data menunjukkan bahwa kebanyakan pasien dengan depresi datang ke layanan primer untuk mencari pertolongan awal, sehingga diharapkan layanan primer dapat melakukan inisiasi tatalaksana.[2,6]

Penapisan dapat dilakukan sebagai langkah awal melakukan inisiasi tatalaksana. Adapun alat penapisan yang dapat digunakan mencakup penggunaan nine-item Patient Health Questionnaire (PHQ-9) untuk pasien dewasa, anak dan remaja; atau penggunaan Geriatric Depression Scale (GDS) untuk pasien lansia.[6,9]

Sementara menurut Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama, diagnosis depresi dapat ditegakkan menurut kriteria diagnosis International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem Tenth Revisions (ICD-10).[5,10]

Penapisan terutama dilakukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko terjadinya depresi. Faktor risiko depresi terbagi menjadi faktor internal, faktor eksternal dan mengalami peristiwa kehidupan yang buruk. Faktor internal mencakup jenis kelamin wanita, riwayat gangguan cemas, kepercayaan diri rendah dan kondisi neurotik. Sementara faktor eksternal meliputi gangguan perilaku (conduct disorder) dan penyalahgunaan zat.[9]

Adapun peristiwa buruk yang sering memicu depresi antara lain pelecehan seksual di masa kanak, gangguan medis kronis, masalah dalam keluarga, riwayat perceraian, kejadian traumatis, status pendidikan yang rendah, dukungan sosial rendah dan kehilangan orang tua.[9]

Tata Laksana Depresi di Layanan Primer di Indonesia

Tata laksana depresi di layanan primer telah diatur dalam Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama di tahun 2015. Adapun jenis penatalaksanaannya meliputi tata laksana non farmakologi dan farmakologi.[5,10]

Tata Laksana Non Farmakologi

Tatalaksana non farmakologi berupa konseling dan edukasi pada pasien dan keluarga mengenai gejala gangguan, pemberian dukungan keluarga terhadap pasien, pengobatan, dan kepatuhan berobat.

Selain itu, intervensi psikososial mencakup beberapa hal yaitu:

  • Penentraman,
  • Peningkatan pemahaman pasien akan kondisinya, rencana pengobatan, rencana evaluasi, dorongan kembali ke aktivitas normal,
  • Pelatihan teknik relaksasi,
  • Mempertahankan perilaku hidup sehat, seperti berolahraga

  • Manajemen stres[5,10]

Tata Laksana Farmakologi

Tatalaksana farmakologi mencakup pemberian antidepresan dengan peningkatan bertahap setelah 2-3 minggu. Antidepresan baik golongan trisiklik (TCA), serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI), serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI) dan noradrenergic and specific serotonergic antidepressant (NaSSA), dinilai efektif dalam tata laksana depresi di layanan primer.[2]

Adapun jenis antidepresan yang dapat diberikan pada layanan primer di Indonesia antara lain fluoksetin dengan dosis 10-20 mg sekali sehari, sertralin 25-50 mg sekali sehari, amitriptilin 12,5-50 mg sekali sehari, atau imipramine 10-25 mg satu hingga dua kali sehari.[5,10]

Tantangan dan Potensi Pengembangan Tatalaksana Depresi di Layanan Primer

Penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2018 mengungkapkan inisiasi tatalaksana episode pertama kasus depresi di layanan primer masih rendah yaitu kurang dari 36%. Hambatan spesifik inisiasi terapi di layanan primer antara lain keenganan pasien mengatasi gejala depresinya di layanan primer, tuntutan bersaing, kendala waktu dan prioritas yang berbeda antara pasien dan penyedia layanan kesehatan.[6]

Di sisi lain, terdapat data penelitian yang menyebutkan tidak seluruh kasus gejala depresi di layanan primer membutuhkan rujukan. Selain itu, penanganan gejala ringan di layanan primer dinilai lebih efektif dan efisien dibandingkan perlunya penanganan di layanan psikiatri secara khusus.[1-3]

Tata Laksana yang Ideal di Layanan Primer

Tantangan lain berupa jenis tatalaksana yang ideal untuk dilakukan di layanan primer, terkait terbatasnya moda terapi yang dimiliki. Menurut ulasan sistematik yang dilakukan di tahun 2003 dan 2012, aksi tunggal berupa penapisan depresi atau hanya penanganan psikologis baik oleh dokter umum dan perawat terlatih di layanan primer; terbukti tidak memberikan kualitas yang lebih baik dibandingkan pelayanan seperti biasa/care as usual (CAU).

Pelayanan seperti biasa (CAU) mencakup kunjungan ke dokter umum atau perawat, pemberian antidepresan, psikoterapi tatap muka, mendata sakit yang dihadapi, ataupun kombinasi di antaranya.[1,11]

Penatalaksanaan tunggal dengan antidepresan juga berhadapan dengan kendala tersedianya jenis yang dibutuhkan ataupun efektivitas terapi. Sebuah penelitian di tahun 2019 menunjukkan penggunaan sertralin di layanan primer untuk kasus depresi sedang, menunjukkan tidak berbeda bermakna dengan plasebo.[2,12]

Psikoterapi sebagai Modalitas Tata Laksana di Layanan Primer

Psikoterapi dianggap salah satu modalitas terapi yang terbukti efektif mengatasi depresi dan dapat diterapkan di layanan primer, namun memerlukan pelatihan atau tenaga terlatih khusus. Pada negara berkembang, khususnya Indonesia, terbatasnya tenaga ahli yang tersebar dapat menjadi tantangan tersendiri.[2]

Lewat perkembangan teknologi, terdapat penelitian mengenai psikoterapi jarak jauh menunjukkan tidak ada perbedaan dibandingkan dilakukan secara tatap muka.[2,13]

Selain itu modalitas seperti cognitive behavior therapy (CBT) juga dapat dilakukan secara individual, grup, berbasis telepon ataupun guided self-help, dan memberikan efikasi yang setara.[2,14]

Pada CBT guided self-help, pasien secara mandiri mengerjakan modul dengan dukungan dari terapis profesional. Modul dapat berbentuk buku atau melalui internet, sedangkan dukungan terapis dapat melalui telepon, surel atau chat. Modalitas CBT lain yaitu unguided internet-based self-help tidak seefektif CBT dengan bantuan profesional, namun tetap memberikan respons baik dibandingkan pasien yang tidak dilakukan psikoterapi. Unguided self-help CBT mungkin dapat menjadi alternatif pada beberapa pasien dan kasus depresi ringan.[2,14]

Intervensi Kolaboratif sebagai Modalitas Tata Laksana di Layanan Primer

Beberapa negara maju juga telah menerapkan pengembangan berupa intervensi berbasis penanganan kolaboratif di layanan primer. Dibandingkan CAU, intervensi ini terbukti efektif menurunkan gejala, frekuensi kekambuhan depresi, meningkatkan kualitas hidup, penurunan biaya pengobatan maupun kehilangan akibat depresi, dan kecukupan antidepresan.[1,3,11]

Penanganan ini melibatkan manajer kasus yang mampu mengintegrasikan tim di layanan primer untuk mencari dukungan, meningkatkan komunikasi interprofesional, serta menggunakan perencanaan perawatan yang terstruktur.[1,3,11]

Manajer kasus secara spesifik memiliki dua fungsi besar yaitu meningkatkan akses dan keberlangsungan perawatan pasien ke layanan primer melalui kontak pasien; serta pengembangan edukasi di layanan primer untuk meningkatkan komunikasi dan pemberian timbal balik baik di dalam tim layanan primer maupun ke layanan sekunder.[1,3,11]

Secara teknis, hal-hal yang dilakukan oleh manajer kasus adalah:

  • Menemui pasien secara tatap muka,
  • Mengembangkan rencana perawatan individual,
  • Melakukan follow-up via telepon secara regular sebanyak 6-8 kali selama 12 minggu pertama,
  • Memberikan informasi mengenai depresi, edukasi perilaku, dan saran perawatan diri,
  • Memberikan perkembangan pasien ke dokter umum yang menangani pasien[1,3,11]

Kesimpulan

Tidak seluruh kasus depresi memerlukan rujukan sehingga layanan primer dianggap mampu memberikan tatalaksana yang lebih efektif dan efisien.[1-3]

Panduan tatalaksana depresi pada layanan primer dan kewenangan klinis dokter umum di Indonesia sendiri telah diatur dalam SKDI dan Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama di tahun 2015.[5,8,10]

Namun, inisiasi tatalaksana depresi di layanan primer masih bersifat rendah. Adapun tantangan yang dihadapi berupa stigma, resistensi pasien, kurangnya keterampilan atau ketidakyakinan tenaga kesehatan di layanan primer, dan hambatan akses.[6] Pengembangan yang saat ini telah dilakukan berupa pemanfaatan teknologi di bidang psikoterapi dan intervensi kolaboratif.[1-3,11]

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Alexandra Francesca Chandra

Referensi