Penggunaan Antihipertensi pada Pasien Asma

Oleh :
Sunita

Penggunaan antihipertensi pada pasien asma memerlukan perhatian khusus. Beberapa studi melaporkan bahwa pasien asma memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengalami hipertensi daripada pasien yang tidak asma, sementara hipertensi sendiri dapat meningkatkan risiko eksaserbasi asma dan gangguan fungsi paru.

Pada dasarnya, pemberian antihipertensi bagi pasien asma yang mengalami hipertensi tetap mengacu pada panduan praktik klinis tata laksana hipertensi yang telah dikenal secara luas, misalnya panduan dari American College of Cardiology dan American Heart Association (ACC-AHA).

Handsome,Young,Man,Taking,Pill,At,Home,,Closeup

Namun, artikel ini akan mengulas bukti terkini tentang penggunaan obat antihipertensi seperti β-blockerangiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I), angiotensin receptor blocker (ARB), calcium channel blocker (CCB), dan thiazide pada pasien hipertensi yang memiliki asma secara lebih spesifik.

Penggunaan β-Blocker pada Pasien Asma dengan Hipertensi

Penggunaan β-blocker pada pasien asma perlu memperhatikan efek bronkokonstriksi. Umumnya obat golongan β-blocker tidak dianjurkan sebagai terapi tunggal bagi pasien asma dengan hipertensi. Namun, pertimbangan khusus dapat dilakukan apabila pasien sangat memerlukan β-blocker, misalnya pada pasien dengan gagal jantung kongestif yang disertai aritmia atau riwayat infark miokard.

Berdasarkan aktivitasnya terhadap reseptor β1 dan β2, obat golongan β-blocker dapat dibedakan menjadi jenis nonselektif dan kardioselektif. β-blocker kardioselektif memiliki afinitas lebih tinggi untuk reseptor β1 jantung, sehingga umumnya memiliki pengaruh yang lebih minimal pada jalan napas. Akan tetapi, selektivitas ini bisa menurun seiring dengan peningkatan dosis obat.

Meta analisis Morales et al pernah mempelajari dampak β-blocker selektif pada pasien asma. Hasil menunjukkan adanya penurunan forced expiratory volume (FEV1) dengan rerata -6,9%. Nilai ini dianggap kecil tetapi dilaporkan dapat menimbulkan gejala yang cukup signifikan pada pasien asma yang memiliki tonus kolinergik kuat. Sebanyak 1 dari tiap 8 pasien dilaporkan mengalami penurunan FEV1 ≥20%.[1]

Morales et al menyimpulkan bahwa penggunaan β-blocker selektif memang ditoleransi lebih baik tetapi tidak sepenuhnya bebas risiko. Oleh karena itu, dosis yang diberikan harus berupa dosis efektif terendah. Di lain sisi, penggunaan β-blocker yang nonselektif dapat meningkatkan gejala asma pada 8% pasien dan dapat memperlemah respons jalan napas terhadap terapi agonis βyang short-acting (SABA).

Berdasarkan bukti-bukti yang ada, β-blocker biasanya dipertimbangkan bagi pasien asma dengan hipertensi bila status penyakit asma stabil, tidak menunjukkan penurunan FEV1, tidak mengalami peningkatan kebutuhan agonis reseptor beta, dan tidak sedang mengalami peningkatan gejala yang memerlukan pengobatan asma berkelanjutan.[1,2]

Penggunaan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) pada Pasien Asma dengan Hipertensi

Adanya batuk akibat ACE-I dianggap dapat berpengaruh pada eksaserbasi asma. Tingkat kejadian batuk akibat ACE-I ini bervariasi antara 3–40% dan dipengaruhi oleh polimorfisme gen, riwayat penyakit kardiovaskular, dan zat aktif ACE-I yang dipakai.[3]

Studi kasus kontrol oleh Christiansen et al mengungkapkan bahwa penggunaan ACE-I berkaitan dengan peningkatan morbiditas asma, kebutuhan SABA, jumlah kunjungan ke unit gawat darurat maupun rawat inap, serta kebutuhan glukokortikoid sistemik.[2]

Dalam kohort prospektif, Morales et al juga menilai risiko intoleransi ACE-I pada pasien hipertensi dengan asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dibandingkan populasi umum. Hasil menunjukkan bahwa pasien hipertensi dengan asma yang belum terkontrol memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami intoleransi ACE-I dan perubahan rejimen antihipertensi menjadi golongan ARB bila dibandingkan populasi umum.

Peneliti melaporkan bahwa risiko penggantian terapi ACE-I ke ARB semakin tinggi pada pasien dengan tingkat keparahan asma yang tinggi (langkah terapi British Thoracic Society ≥3), pada wanita, pada pasien berusia >60 tahun, pada pasien dengan indeks massa tubuh (IMT) >25, dan pada pengguna enalapril.[4]

ARB lebih disarankan untuk pasien hipertensi yang memiliki asma. Walaupun panduan praktik klinis umumnya menganjurkan ACE-I sebagai terapi lini pertama, bukti menunjukkan bahwa ARB dan ACE-I memiliki efikasi yang tidak berbeda bermakna. ARB memiliki efek samping yang lebih rendah daripada ACE-I, sehingga berpotensi menjadi pilihan pertama pada pasien hipertensi dengan asma yang belum terkontrol, khususnya pasien wanita, pasien usia >60 tahun, dan pasien IMT >25.[2,4,5]

Penggunaan Calcium Channel Blocker pada Pasien Asma dengan Hipertensi

Manfaat penggunaan calcium channel blocker (CCB) pada pasien asma dengan hipertensi masih terbatas pada dugaan teoritis. Secara teori, CCB dapat mengurangi kontraksi otot polos dan bronkokonstriksi yang dipicu oleh sejumlah pencetus, seperti antigen, aktivitas fisik, histamin, dan udara dingin.

Namun, pada praktik nyata, CCB belum menunjukkan efek yang signifikan terhadap luaran asma. Menurut teori, CCB dapat dipertimbangkan sebagai obat antihipertensi yang bermanfaat bagi pasien asma dengan hipertensi yang memiliki intoleransi atau kontraindikasi terhadap ACE-I dan ARB.[6]

Penggunaan Thiazide pada Pasien Asma dengan Hipertensi

Penggunaan thiazide pada pasien hipertensi dengan asma memerlukan perhatian khusus. Hal ini terutama harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien berusia lanjut yang memiliki komorbiditas dan mendapatkan terapi agonis β2 long-acting (LABA).

Pasien yang mendapatkan LABA dosis tinggi dan thiazide memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami hipokalemia dan aritmia yang dipicu kadar kalium plasma yang rendah. Hal ini juga dapat memburuk bila pasien mendapat terapi glukokortikoid atau teofilin. Oleh sebab itu, pemantauan kadar kalium plasma perlu dilakukan sebelum dan selama pemberian thiazide dan LABA.

Strategi lain yang dapat dipertimbangkan adalah penggunaan kombinasi thiazide dan ACE-I atau ARB untuk mengurangi risiko hipokalemia akibat LABA.[7,8]

Kesimpulan

Pemberian antihipertensi bagi pasien asma yang mengalami hipertensi tetap mengacu pada panduan praktik klinis tata laksana hipertensi yang telah dikenal. Namun, ada beberapa pertimbangan khusus yang perlu didasarkan pada tingkat keparahan asma, risiko penyakit kardiovaskular, usia, komorbiditas, dan respons masing-masing pasien terhadap antihipertensi yang pernah diberikan.

Umumnya, pasien asma dengan hipertensi lebih disarankan menerima ARB daripada ACE-I karena ARB memiliki risiko efek samping yang lebih rendah dan memiliki efikasi yang tidak jauh berbeda dengan ACE-I. Sementara itu, bila dokter harus meresepkan β-blocker, pilihlah β-blocker yang kardioselektif agar mengurangi risiko bronkospasme.

Penggunaan CCB pada populasi asma masih memiliki data yang terbatas. Oleh karena itu, CCB hanya disarankan bila pasien tidak dapat menerima ARB atau ACE-I. Thiazide dapat diberikan pada pasien asma tetapi harus berhati-hati bila pasien juga menerima LABA karena kombinasi kedua obat ini dapat menimbulkan hipokalemia dan aritmia.

Referensi