Resistensi Antibiotik Mata Topikal

Oleh :
dr. Utami Noor Syabaniyah SpM

Sejak awal ditemukannya antibiotik, masalah resistensi bakteri menjadi momok bagi penyakit infeksi, tidak terkecuali infeksi yang mengenai mata. Adanya resistensi antibiotik diantara patogen pada mata semakin mempersulit pemilihan antibiotik karena antibiotik mata masih terbatas jenisnya dan dapat menyebabkan kegagalan terapi.

Infeksi mata dan komplikasinya menjadi masalah kesehatan yang cukup serius karena dapat mengakibatkan kebutaan. Lebih dari 70% infeksi mata disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Moraxella sp, dan jamur Candida albicans, Aspergillus sp, dan Fusarium sp. Seberapa banyak dan sering kuman tersebut menyebabkan penyakit bervariasi tergantung pada lokasi geografis, iklim, usia, jenis kelamin, akses pada pelayanan fasilitas kesehatan, dan kebiasaan kultur. Contohnya pada dewasa penyebab terbanyak konjungtivitis adalah S.aureus, sedangkan pada anak-anak adalah H. influenza dan S. pneumonia, sedangkan P. aeruginosa penyebab keratitis terbanyak pada pengguna lensa kontak.[1-4]

Resistensi Antibiotik Mata Topikal-min

Konjungtivitis bakteri biasanya self-limiting, namun penggunaan antibiotik topikal dapat mempercepat kesembuhan dan mengurangi rasa tidak nyaman dan morbiditas, sehingga penggunaan antibiotik pada kasus konjungtivitis bakteri dapat mengurangi beban sosial dan pelayanan kesehatan. Seringkali pemberian antibiotik juga dilakukan pada kondisi infeksi konjungtivitis virus atau konjungtivitis bakteri ringan, yang sebetulnya tidak diperlukan. Hal ini dapat menyebabkan terbentuknya resistensi antibiotik diantara patogen okular yang jumlahnya semakin meningkat beberapa dekade terakhir ini.[1,5-7]

Penggunaan Antibiotik Topikal Mata Pada Layanan Kesehatan

Penyakit mata pada umumnya menggunakan obat-obatan yang diberikan secara topikal untuk tatalaksana penyakit, khususnya yang melibatkan segmen anterior mata (kornea, konjungtiva, sklera, dan uvea anterior). Penggunaan antibiotik topikal untuk infeksi mata bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi obat pada mata karena pemberian secara sistemik terhambat oleh adanya blood-retinal barrier (BRB). Namun, terdapat beberapa laporan mengenai kegagalan terapi atau kurang optimalnya terapi menggunakan generasi terbaru dari fluorokuinolon topikal, meskipun konsentrasi obat tersebut cukup tinggi di jaringan mata. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan sudah terbentuk resistensi antibiotik topikal.[3,8]

Walaupun demikian, belum diketahui prevalensi resistensi antibiotik dan kaitannya dengan kegagalan klinis. Standar pelayanan yang berlaku hampir di setiap negara saat ini adalah obati dulu secara empirik baru kultur kemudian. Hal ini dilakukan untuk mencegah terlambatnya terapi karena untuk melakukan kultur dan tes resistensi antibiotik diperlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.  Selain itu, sebagian besar kultur direkomendasikan hanya pada kasus infeksi berat, kronik, rekuren, ataupun kasus yang tidak responsif terhadap terapi yang ada.[3,5-7]

Penggunaan Antibiotik Tidak Tepat Meningkatkan Resistensi Antibiotik

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi antibiotik obat mata ialah penggunaan antibiotik sistemik yang berlebihan (overuse) dan penggunaan antibiotik topikal yang tidak sesuai indikasi, pemberian dosis yang tidak tepat, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus, penggunaan antibiotik pada kasus agrikultur, kondisi globalisasi dan migrasi, penggunaan antibiotik yang sama secara berulang, penggunaan antibiotik profilaksis sebelum operasi katarak. Beberapa fakta medis telah menunjukan ada keterkaitan antara tidak tepat penggunaan dengan resistensi antibiotik.[4,6]

Suatu studi surveilans yang dilakukan pada tahun 2009 yang tergabung dalam ARMOR memonitor resistensi antibiotik terhadap bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi mata, yaitu: Staphylococcus. sp, Streptococcus. sp, P. aeruginosa, dan H.influenza. Studi tersebut melaporkan tingginya angka resistensi antibiotik terutama di antara spesies Staphylococcus sp.[1]

Lebih dari Sepertiga Isolat Bakteri Menunjukan Resistensi Antibiotik Topikal Mata

Asbell et al.  melakukan studi longitudinal cross-sectional di Amerika Serikat pada tahun 2009-2018, yang merupakan bagian dari studi Antibiotic Resistance Monitoring in Ocular Microorganisms (ARMOR). Studi tersebut menilai sebanyak 6091 isolat bakteri dari 6091 pasien yang mengalami infeksi mata. Sebanyak 34.9% S.aureus dan 49.3% Coagulase Negative Staphylococcus (CoNS) merupakan methicillin-resistant, dan memiliki kecenderungan resisten dibandingkan dengan isolat methicillin-susceptible terhadap azithromycin, ciprofloxacin, dan tobramycin.

Sebanyak 32.2% S.aureus memiliki resistensi terhadap ciprofloxacin, dan sekitar 58.6% S.aureus memiliki resistensi terhadap azithromycin. Hal ini berbeda dengan chloramphenicolvancomycin dan fluorokuinolon generasi terbaru, yaitu besifloxacin, dimana S.aureus hanya memiliki resistensi < 1% terhadap chloramphenicol dan masih 100% susceptible terhadap besifloxacin dan vancomycin. Sebanyak 36.3% Streptococcus pneumonia memiliki resistensi terhadap azithromycin, dan 32.2% memiliki resistensi terhadap penicillin. Sedangkan P.aeruginosa dan H.influenza memiliki tingkat resistensi yang rendah (<10%) pada semua antibiotik yang diujikan (fluorokuinolon, polymixin, tobramycin, azithromycin, tetracyclin).[5,6]

Sementara itu, Lee et al. melakukan penelitian retrospektif multisenter yang menggunakan data dari tahun 2009-2015 di London, Britania Raya menggunakan latar belakang pelayanan primer, sekunder, dan tersier. Penelitian tersebut mendapatkan hasil sebanyak 2681 kuman patogen diperoleh dari 2168 pasien.  Kuman patogen terbanyak pada dewasa adalah Staphylococcus sp. terutama pada pelayanan primer dan Pseudomonas sp. menjadi patogen kedua terbanyak yang ditemukan di pelayanan tersier.  Sedangkan kuman patogen terbanyak pada anak adalah Haemophilus sp. dan patogen kedua tersering adalah Staphylococcus sp. Di Britania Raya, musim juga mempengaruhi variasi patogen. Musim semi memiliki jumlah patogen terbanyak (31.6%) dengan Haemophilus sp. sebagai patogen tersering pada anak dan dewasa.[7]

Berbeda dengan studi ARMOR, resistensi antibiotik ditemukan pada chloramphenicol sebanyak 33.8%, moxifloxacin sebesar 25.5%, dan asam fusidat sebanyak 58.7% pada pelayanan tersier. Hal ini memberikan implikasi pada pelayanan kesehatan mata di UK, dimana chloramphenicol dan asam fusidat menjadi agen lini pertama untuk kasus konjungtivitis bakteri.[6,7]

Resistensi Bakteri Lebih Tinggi Pada Usia Tua

Angka resistensi antibiotik yang tinggi didapatkan pada isolat S.aureus yang methicillin resistance (MRSA) yang diperoleh dari pasien usia tua. Hal ini terjadi karena pasien usia tua sering keluar masuk rumah sakit, yang merupakan faktor risiko terpaparnya bakteri yang multiresisten. Hal ini memiliki implikasi pada pasien tua yang memiliki infeksi mata, maka dapat diberikan antibiotik yang susceptible berdasarkan data surveilans yang ada (contohnya pada studi ARMOR, dapat diberikan chloramphenicol, vancomycin, atau besifloxacin). Thomas juga menyatakan dalam studi longitudinal 2009-2016 bahwa resistensi antibiotik terdapat lebih banyak pada pasien usia tua dibanding usia muda.[4,6]

Resistensi Antibiotik Tergantung Dari Letak Geografis  dan Populasi Pasien

Satu review yang dilakukan oleh Miller menyebutkan bahwa monoterapi dengan fluorokuinolon memiliki cakupan <80% untuk bakteri gram positif, sedangkan terapi kombinasi fluorokuinolon dan vancomycin dapat meningkatkan cakupan hingga 99.1%, begitupun dengan terapi kombinasi fluorokuinolon dan gentamycin sebesar 98.3%.[3]

Menurut Miller, data resistensi antibiotik bervariasi berdasarkan letak geografis dan populasi pasien. Oleh karena itu resistensi antibiotik dapat berbeda di setiap negara, bahkan di satu negara sekalipun. Khususnya bagi negara besar, seperti Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, pasti memiliki pola resistensi kuman yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.[3]

Untuk mengurangi resistensi antibiotik, profil resistensi yang berasal dari data surveilans dapat membantu mengarahkan terapi antibiotik bila belum ada data kultur dan sensitivitas terhadap suatu antibiotik. Diperlukan data surveilans yang memadai sehingga terapi empiris menggunakan antibiotik dapat tepat sasaran. Oleh karena itu, penting sekali memiliki  fasilitas laboratorium yang bagus dan tenaga ahli yang memadai sehingga dihasilkan data kultur lokal yang baik.[1,3,7,9]

Kesimpulan

Resistensi antibiotik topikal semakin meningkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena dapat menyebabkan kegagalan terapi yang dapat mengakibatkan infeksi yang lebih serius dan dapat berakhir dengan kebutaan.

Upaya untuk mengurangi resistensi antibiotik topikal dapat dilakukan upaya seperti penggunaan antibiotik topikal sesuai dengan indikasi dan pemilihan antibiotik pada terapi empiris sudah disesuaikan dengan data surveilans setempat, pengumpulan data kultur dan uji resistensi setempat.

Referensi