Beta blocker selektif seperti metoprolol, atenolol, dan bisoprolol tidak sepenuhnya aman untuk pasien dengan komorbid asma. Meskipun mekanisme kerja beta blocker selektif lebih berfokus untuk mengikat reseptor β1 di jantung daripada reseptor β2 di saluran pernapasan, obat golongan ini masih bisa mengikat reseptor β2.[1,2]
Hal ini mengingatkan klinisi bahwa meskipun ada asumsi bahwa risiko bronkospasme akibat beta blocker selektif lebih rendah daripada beta blocker nonselektif, risiko tetap ada dan tetap perlu diwaspadai pada pasien dengan komorbid asma.[1,2]
Sekilas tentang Mekanisme Kerja Beta Blocker
Beta blocker berperan sebagai antagonis reseptor beta. Ada 3 jenis reseptor beta, yaitu β1, β2, dan β3. Mayoritas reseptor β1 terdapat di otot jantung, sedangkan mayoritas reseptor β2 terdapat di otot polos (sebagian besar di otot polos jalan napas). Sementara itu, mayoritas reseptor β3 terdapat di sel lemak dan otot kandung kemih. Saat ini obat beta blocker yang ada fokus menghambat reseptor β1 dan β2.[2]
Beta Blocker Reseptor β1
Beta blocker ini menghambat reseptor β1 sehingga terjadi relaksasi otot jantung dan penurunan denyut jantung. Selain itu, beta blocker ini menghambat pelepasan hormon renin, yang menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah.[2]
Beta Blocker Reseptor β2
Beta blocker ini menghambat reseptor β2 yang mayoritas terletak di saluran napas, sehingga menyebabkan konstriksi bronkus atau bronkospasme.[2]
Perbedaan Beta Blocker Selektif, Nonselektif, dan Dual
Beta blocker dibedakan menjadi beta blocker selektif, nonselektif, dan dual mechanism (berikatan dengan reseptor β1, β2, dan α1). Selain itu, beta blocker bisa diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan ada tidaknya intrinsic sympathomimetic activity (ISA).[2-4]
Beta Blocker Nonselektif
Beta blocker ini menghambat reseptor β1 dan β2, sehingga tidak hanya menurunkan denyut jantung dan tekanan darah tetapi juga menyebabkan bronkospasme. Oleh sebab itu, beta blocker golongan ini tidak direkomendasikan pada pasien yang memiliki komorbid asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Contoh golongan ini yaitu propranolol, timolol, pindolol, nadolol, dan alprenolol.[2-4]
Beta blocker ini juga dibedakan berdasarkan ada tidaknya ISA. Obat yang memiliki ISA tidak hanya memiliki sifat antagonis terhadap reseptor β tetapi juga memiliki sifat agonis terhadap reseptor β, sehingga menyebabkan penurunan denyut jantung dan tekanan darah yang lebih lambat (tidak drastis). Contoh obat golongan ini yang mempunyai ISA adalah pindolol dan alprenolol, sedangkan contoh tanpa ISA adalah propranolol, timolol, dan nadolol.[2-4]
Beta Blocker Selektif
Beta blocker ini memiliki afinitas lebih tinggi terhadap reseptor β1 di jantung. Namun, hal ini tidak bersifat absolut karena masih ada afinitas terhadap reseptor β2.[2-4]
Beta blocker golongan ini diharapkan hanya menimbulkan efek pada denyut jantung dan tekanan darah tanpa menimbulkan bronkospasme. Namun, pada kenyataannya, ada studi yang melaporkan 10–15% kasus asma bersamaan dengan penggunaan beta blocker selektif. Contoh obat dari golongan ini adalah bisoprolol, esmolol, metoprolol, atenolol, nebivolol, acebutolol, dan celiprolol.[2-4]
Beta blocker golongan ini juga dapat dibedakan lebih lanjut berdasarkan ada tidaknya ISA. Contoh obat yang memiliki ISA adalah acebutolol dan celiprolol, sedangkan contoh obat tanpa ISA adalah bisoprolol, atenolol, esmolol, metoprolol, dan nebivolol.[2-4]
Beta Blocker Dual
Beta blocker golongan ini sejatinya termasuk beta blocker yang nonselektif tetapi juga menghambat reseptor α1 yang berada di pembuluh darah, sehingga menyebabkan efek vasodilatasi lebih besar. Oleh sebab itu, beta blocker golongan ini tidak hanya mampu menurunkan denyut jantung tetapi juga menurunkan tekanan darah dan meningkatkan cardiac output secara lebih besar daripada beta blocker lainnya.[1,3]
Golongan ini tidak direkomendasikan untuk pasien asma karena menghambat reseptor β2. Contoh obat dalam golongan ini adalah carvedilol, labetalol, dan bucindolol.[1,3]
Bukti terkait Profil Keamanan Beta Blocker Selektif pada Pasien Asma
Suatu meta-analisis dan tinjauan sistematis yang dilakukan Marko et al. menunjukkan bahwa pasien dengan asma mungkin dapat menoleransi beta blocker selektif secara lebih baik daripada beta blocker nonselektif. Serupa dengan beberapa hasil studi klinis sebelumnya, hasil meta-analisis ini menyatakan bahwa beta blocker selektif dapat dipertimbangkan pada pasien asma yang memiliki indikasi kardiovaskular jelas.[8]
Namun, ada juga studi yang menunjukkan hasil berbeda, contohnya studi Cazzola et al. yang melaporkan bahwa beta blocker selektif mempunyai sinyal risiko asma yang lebih tinggi daripada beta blocker nonselektif dan beta blocker dual mechanism. Pelaku studi ini menyatakan bahwa ada variasi yang signifikan antar obat dalam golongan yang sama, sehingga pemilihan obat sebaiknya mempertimbangkan sifat setiap obat itu sendiri. Mereka menyarankan untuk menghindari beta blocker selektif tanpa ISA.[1]
Studi lebih lanjut masih diperlukan untuk memastikan temuan Cazzola et al. tersebut, tetapi adanya hasil yang berbeda antara beberapa studi tersebut menunjukkan bahwa klinisi tetap perlu mewaspadai risiko bronkospasme meskipun sudah memberikan beta blocker yang selektif.[1,8]
Rekomendasi Beta Blocker untuk Pasien dengan Komorbid Asma
Beta blocker merupakan terapi krusial untuk bermacam penyakit kardiovaskular. Obat golongan ini tidak hanya spesifik untuk terapi aritmia tetapi juga untuk terapi gagal jantung, sindrom koroner, dan hipertensi. Beberapa studi menunjukkan pemberian beta blocker pada terapi gagal jantung, hipertensi, dan sindrom koroner tidak hanya mampu meningkatkan cardiac output tetapi juga mampu memperpendek durasi rawat inap dan menurunkan mortalitas.[1,3,5-7]
Namun, pasien dengan komorbid asma memerlukan rekomendasi khusus. Konsensus ESC (European Society of Cardiology), AHA (American Heart Association), dan PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) merekomendasikan beta blocker selektif pada pasien dengan komorbid asma, yang diberikan secara berhati-hati mulai dari dosis kecil, dan disertai pengawasan efek samping bronkospasme. Berbagai konsensus tersebut tidak merekomendasikan beta blocker nonselektif karena risiko eksaserbasi asma dinilai lebih besar.[1,3,5-7]
Sebaliknya, konsensus BTS (British Thoracic Society) tidak merekomendasikan semua golongan beta blocker pada pasien dengan komorbid asma. Konsensus ATA (American Thyroid Association) lebih merekomendasikan beta blocker selektif daripada nonselektif sebagai terapi rate control pada kondisi hipertiroid atau krisis tiroid.[1,3,5-7]
Kesimpulan
Berdasarkan mekanisme kerja, beta blocker dibedakan menjadi selektif dan nonselektif. Beta blocker selektif memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor β1 di jantung sehingga diharapkan bersifat lebih aman untuk pasien dengan asma. Namun, beta blocker selektif sebenarnya tetap memiliki afinitas yang rendah terhadap reseptor β2, sehingga masih memungkinkan efek bronkospasme. Hal ini perlu dipahami oleh klinisi.
Beta blocker selektif umumnya masih lebih direkomendasikan oleh guideline sebagai pilihan terapi pada pasien asma dibandingkan dengan beta blocker nonselektif, tetapi hal ini bukan berarti bahwa beta blocker selektif sepenuhnya aman. Pemberian tetap perlu dilakukan secara berhati-hati dengan dosis awal yang kecil dan monitoring ketat. Selain itu, ke depannya, studi lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui variasi efek antar obat dalam golongan beta blocker yang sama.
