Bukti Medis mengenai Manfaat Terapi Musik

Oleh :
dr. Paulina Livia Tandijono

Terapi musik saat ini sudah banyak diteliti manfaatnya secara medis, terutama untuk gangguan saraf dan jiwa seperti depresi, demensia, dan skizofrenia. Walau demikian, banyak dokter tidak mengetahui mengenai terapi ini dan efektivitas manfaatnya secara medis.

Bentuk-bentuk Terapi Musik

Berdasarkan World Federation of Music, terapi musik diartikan sebagai penggunaan musik dan/atau instrumen musik (suara, ritme, melodi, atau harmoni) oleh terapis musik berkualifikasi untuk seorang atau sekelompok klien, dalam proses untuk memfasilitasi dan mempromosikan komunikasi, hubungan, pembelajaran, mobilisasi, ekspresi, organisasi, dan tujuan objektif terapi lainnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan fisik, emosi, mental, sosial, dan kognitif. Terapi musik juga bertujuan untuk mengembalikan fungsi atau mengembangkan potensi seseorang agar mampu mencapai kualitas hidup yang lebih baik.[1,2]

shutterstock_1429570883-min

Berikut adalah teknik terapi musik yang saat ini digunakan:

  • Teknik produksi
  • Teknik improvisasi terstruktur: improvisasi tematik, improvisasi komunikatif, improvisasi bebas
  • Teknik reproduksi: menyanyi atau memainkan musik lagu yang sudah dikomposisikan, belajar atau mempraktikkan kemampuan bermusik
  • Teknik penerimaan: mendengarkan musik secara langsung (terapis memainkan musik), mendengarkan rekaman musik, mendengarkan musik dan persepsi tubuh, mendengarkan musik dan menari atau bergerak[1,2]

Terapi musik biasanya diberikan oleh seorang terapis musik yang berkualifikasi. Sesi yang diberikan memfokuskan pada klien (client centered). Klien dapat merupakan satu kelompok atau satu orang (one to one). Setiap sesi terapi musik memiliki tujuan tertentu, misalnya melatih sosialisasi, emosi, motorik, dan aspek lainnya.[1,2,3]

Ada bermacam-macam teknik dan bentuk terapi musik yang tersedia saat ini. Salah satu contohnya adalah mendengarkan musik lama/lawas atau bermain violin pada pasien demensia. Salah satu bentuk terapi musik yang populer adalah bermain drum. Terapi ini kerap kali dilakukan pada pasien dengan gangguan motorik, misalnya Parkinson.[4,5]

Efektivitas Terapi Musik

Melalui pemeriksaan functional MRI, musik terbukti dapat mempengaruhi gelombang di otak. Terlihat adanya aktivitas di nukleus accumbens dan korteks auditorius. Aktivitas ini ternyata berhubungan dengan suka atau tidaknya seseorang terhadap musik yang didengarnya. Selain itu, girus temporal superior terlibat dalam pengambilan keputusan tentang jenis musik yang ingin didengarkan.[6]

Efek Medis Dibalik Terapi Musik

Efek medis dari terapi musik dihubungkan dengan proses neuroplastisitas di otak. Mendengarkan musik dapat mengaktifkan regio dopaminergik. Regio ini berhubungan dengan motivasi, hadiah/reward, dan pembelajaran. Neurotransmiter dopamin yang dihasilkan regio ini berperan dalam regulasi neuroplastisitas.[3]

Teori Hebbian pada tahun 1949 menyatakan bahwa ketika suatu sel akson A yang secara berulang dan persisten diberikan stimulasi dapat memicu pertumbuhan dan perubahan metabolisme sel B yang letaknya berdekatan dengan sel A. Oleh karena itu, stimulasi musik tidak hanya mengeksitasi neuron area musik, melainkan juga gerakan, vokal, pernapasan, dan denyut nadi. Hal ini menjelaskan hubungan antara musik dan kegiatan/perilaku non-musik (misalnya berjalan, bersosialisasi, dan lain-lain).[3]

Berdasarkan hipotesis bahwa musik mampu mencetuskan neuroplastisitas, para terapis berusaha mengaplikasikan terapi musik untuk tujuan berikut, yaitu:

  • Meningkatkan kemampuan sosial sehingga dapat berinteraksi dengan teman sekawan. Misalnya menggunakan musik untuk mengajarkan pada anak-anak agar saling berbagi mainan
  • Meningkatkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi yang sesuai keadaan
  • Meningkatkan kemampuan kognitif. Salah satu caranya adalah menciptakan lagu yang liriknya merupakan proses dari suatu kegiatan
  • Membantu pergerakan pasien. Telah terbukti bahwa 10 sesi terapi musik dapat memperpanjang stride length hingga 25% pada pasien yang kesulitan berjalan[8]

Terapi Musik Sebagai Modalitas Terapi Jiwa

Kelainan psikiatri merupakan kelompok penyakit yang paling sering menggunakan terapi musik. Beberapa penyakit tersebut adalah skizofrenia, psikosis, depresi, autisme, dan demensia.

Skizofrenia dan Psikosis

Suatu meta-analisis 2017 membandingkan kombinasi terapi standar dan musik dengan terapi standar saja pada pasien skizofrenia serta psikosis. Ternyata, kombinasi tersebut lebih meningkatkan status global, status mental, kualitas hidup dan fungsi pasien. Selain itu, semakin banyak jumlah sesi, efek terapeutiknya pun semakin besar.[1,7]

Depresi

Meta-analisis pada tahun 2016 yang melibatkan 19 studi menyatakan bahwa terapi musik dapat mengurangi gejala depresi secara signifikan. Namun, variasi bentuk terapi musik antar penelitian menyulitkan klinisi untuk melakukan intervensi. Diperlukan studi lanjutan untuk mengetahui bentuk terapi musik yang paling efektif mengatasi depresi.[1,8]

Autisme

Efek terapi musik untuk anak autisme (autism spectrum disorder) telah banyak diteliti. Sebagian besar penelitian menyatakan terapi musik memiliki efek positif. Sayangnya, setiap penelitian memiliki efek positif yang berbeda-beda. Misalnya, suatu penelitian tahun 2017 di Norwegia menyatakan adanya peningkatan kualitas hidup pasien, namun tidak ada perbaikan kemampuan bersosialisasi. Sedangkan, penelitian lainnya menyatakan adanya peningkatan kemampuan bersosialisasi. Perbedaan ini disebabkan oleh variasi metode, bentuk terapi musik, dan durasi follow-up.[9,10]

Berikut adalah efek-efek positif terapi musik untuk anak autisme yang telah diteliti[9,10]:

  • Meningkatkan interaksi sosial.
  • Meningkatkan kemampuan komunikasi non-verbal.
  • Meningkatkan initiating behaviour (perilaku untuk memulai interaksi sosial, misalnya bertanya).
  • Meningkatkan emosi sosial.
  • Meningkatkan hubungan timbal-balik.
  • Meningkatkan kualitas hubungan dengan orang tua.
  • Meningkatkan kualitas hidup dan kebahagiaan pasien[9,10]

Demensia

Sebuah penelitian meta-analisis oleh van der Steen et al. mengikutsertakan 21 studi dengan total sampel sebanyak 890. Sampel yang diikutsertakan memiliki berbagai tingkatan demensia yang mendapatkan intervensi berbagai terapi musik. Dari penelitian ini, terapi musik memperbaiki kualitas hidup atau mengurangi ansietas (low quality evidence).[11]

Dari studi ini, terapi musik dapat mengurangi gejala depresi dan mengurangi perilaku bermasalah pada pasien demensia. Perlu dicermati lebih lanjut, walaupun penelitian ini menggunakan sampel yang cukup besar, bias pada penelitian cukup tinggi. Sehingga hasil ada penelitian ini perlu dicermati lebih lanjut.[11]

Fungsi Terapi Musik untuk Berbagai Kondisi

Terapi musik juga digunakan untuk penyakit paru-paru atau meringankan nyeri, terutama pada kasus kanker dan penyakit terminal lainnya dan mengurangi nyeri pada saat tindakan.

Terapi Musik Sebagai Terapi Paliatif

Berbagai penelitian menggunakan musik sebagai terapi paliatif, misalnya untuk kasus kanker (contoh: kanker payudara, kanker paru). Suatu review dari 52 penelitian menyatakan bahwa terapi musik dapat mengurangi ansietas, frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, dan nyeri pada pasien kanker. Meskipun demikian, tidak ditemukan bukti yang kuat mengenai perbaikan fungsi fisik.[12]

Terapi musik kerap kali digunakan untuk mengurangi nyeri. Suatu penelitian 2013 menunjukkan bahwa penambahan terapi musik pada latihan relaksasi lebih efektif meringankan dibandingkan latihan relaksasi saja.[13]

Pasien-pasien dengan penyakit terminal kerap kali menunjukkan gejala psikiatri, misalnya psikosis dan depresi. Penelitian pada tahun 2004 menunjukkan bahwa terapi musik dapat mengurangi gejala psikiatri pada pasien kanker payudara.[14]

Suatu systematic review tahun 2014 yang melibatkan 14 studi membahas efek terapi musik pada pasien penyakit terminal dengan ventilator. Hasilnya, mendengarkan musik mampu menurunkan ansietas yang diukur secara subjektif. Secara obyektif, ditemukan penurunan frekuensi nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah sistolik. Efek positif terapi musik untuk menurunkan ansietas pada pasien dengan ventilator telah terbukti konsisten dengan tiga systematic review sebelumya.[15]

Terapi Musik untuk Nyeri Akut Selama Prosedur Tindakan

Suatu uji klinis membuktikan bahwa terapi musik 15–20 menit sebelum prosedur tindakan (endoskopi, kolposkopi, maupun operasi) dapat mengurangi ansietas. Uji observasi lain membuktikan bahwa terapi musik dapat menurunkan kecemasan dan frekuensi nadi pasien yang akan menjalani operasi.[16] Penggunaan musik selama kolonoskopi dinilai bermanfaat untuk mengurangi nyeri durante tindakan.

Terapi Musik Bagi Penyakit Kronis

Systematic review pada tahun 2016 menyatakan bahwa menyanyi dapat memberikan efek positif pada pasien dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik (PPOK). Efek positif yang telah diteliti adalah peningkatan kualitas hidup dan penurunan ansietas. Meskipun hasil antar studi konsisten menyebutkan bahwa menyanyi berdampak positif bagi pasien PPOK, masih perlu penelitian lain untuk menilai efek jangka panjang dari terapi menyanyi.[17]

Terapi musik juga dapat memberikan manfaat pada pasien dengan gangguan motorik, misalnya pada kasus Parkinson dan stroke. Suatu penelitian pada tahun 2013 menyatakan bahwa terapi musik memperbaiki gangguan gait dan arm-swing pasien Parkinson. Uniknya, penelitian ini menggunakan aplikasi sebagai media terapi musik. Penelitian lainnya pada tahun 2016 memanfaatkan musik perkusi untuk meningkatkan fungsi motorik pasien stroke.[18,19]

Terapi Musik di Indonesia

Saat ini, beberapa institusi dan perkumpulan sudah mulai mempraktikkan terapi musik di Indonesia. Terapi yang dilakukan pun bermacam-macam, mulai bermain musik, menyanyi, hingga mendengarkan musik. Terapi ini biasanya diperuntukkan anak-anak autisme. Sayangnya, terapi musik di Indonesia masih belum terintegrasi dengan terapi medis sehingga pihak pasien dan keluargalah yang harus berinisiatif untuk memulai terapi musik.[20]

Kesimpulan

Sudah banyak dilakukan penelitian untuk membuktikan efektivitas terapi musik. Sayangnya, hasil antar penelitian sering kali tidak konsisten. Hal ini disebabkan karena masing-masing penelitian memiliki metode, jenis terapi musik, dan jumlah sesi terapi yang berbeda-beda.

Diperlukan standarisasi metodologi penelitian agar menghasilkan bukti yang kuat mengenai efek terapi musik.Di Indonesia, penelitian mengenai terapi musik masih sedikit .Selain itu, belum ada protokol terapi musik yang sudah terstandar. Akibatnya, masih diperlukan penelitian dan standarisasi terapi musik di Indonesia.

Belum adanya kejelasan apakah terapi yang dilaksanakan oleh Ikatan Terapis Musik Indonesia berdasarkan kepada bukti medis dan mengacu pada protokol suatu penelitian tertentu. Hal ini penting untuk dikonfirmasi supaya terapi musik yang diberikan adalah benar-benar terapi yang berbasis bukti.

Referensi