Vaksinasi Inactivated COVID-19 pada Kondisi Imunodefisiensi

Oleh :
dr. Hendra Gunawan SpPD

Penelitian efikasi dan keamanan vaksinasi COVID-19 pada populasi imunodefisiensi masih terbatas. Vaksinasi sendiri merupakan upaya merangsang tubuh untuk membentuk reaksi imunitas terhadap suatu penyakit tertentu. Namun, tidak semua orang memiliki respons kekebalan tubuh yang berfungsi optimal. Terdapat individu yang memiliki respons kekebalan tubuh menyimpang, atau lazim disebut sebagai imunodefisiensi, imunokompromais, atau imunosupresi.[1,2]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Kondisi tersebut mempengaruhi berbagai aspek dalam pemberian vaksin. Kondisi imunodefisiensi dapat menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap penyakit infeksi, atau tidak memberi respon yang diinginkan terhadap rangsangan dari vaksin yang diberikan. Oleh karena itu, vaksinasi pada individu tersebut tentu harus berdasarkan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko efek buruknya. Artikel ini akan membahas mengenai vaksinasi COVID-19 pada kondisi imunodefisiensi.[1,2]

shutterstock_1766547584-min

Sekilas Mengenai Vaksin Inactivated COVID-19

Dalam 100 tahun terakhir, vaksin telah lebih sukses mencegah berbagai penyakit infeksi, jika dibandingkan dengan berbagai manajemen medis lain. Vaksinasi merupakan salah satu tindakan yang digunakan untuk memutus rantai penularan penyakit, terutama penyakit menular akibat infeksi.[1]

Pandemi infeksi virus novel corona virus-2019 atau SARS Cov-2, atau lazim disebut COVID-19, merupakan sebuah pandemi global yang tidak hanya dialami di Indonesia. MacIntyre et al dalam laporannya menyatakan bahwa vaksinasi merupakan salah satu strategi dalam mencapai herd immunity untuk menanggulangi pandemi global COVID-19. Berbagai penelitian untuk mengembangkan vaksin COVID-19 telah dilakukan secara cepat di berbagai negara. Salah satunya adalah pengembangan vaksin inactivated (Sinovac®).[3,4]

Vaksin inactivated telah sukses melindungi manusia terhadap berbagai penyakit seperti hepatitis A dan influenza. Produksi vaksin inactivated dapat dilakukan secara massal sehingga dapat digunakan pada skenario pandemi, selain itu juga memiliki lebih banyak antigen dari virus inaktif yang diinjeksikan ke dalam tubuh. Keamanan vaksin ini juga relatif lebih aman dibandingkan jenis vaksin yang lain, seperti vaksin yang dibuat dari komponen protein virus atau dari virus hidup yang dilemahkan.[8]

Jeyanathan et al menyatakan bahwa vaksin inactivated COVID-19 belum dapat merangsang respon kekebalan tubuh yang dimediasi oleh sel limfosit CD8 secara optimal. Sel limfosit CD8 merupakan sel yang dibutuhkan untuk respon imunologi terhadap infeksi COVID-19. Hal ini menyebabkan proses vaksinasi dengan vaksin inactivated memerlukan adjuvan dan pemberian secara berulang.[8,9]

Selain itu, vaksin inactivated menggunakan bahan garam aluminium alum sebagai adjuvan, sehingga tidak dapat diberikan melalui mukosa hidung. Penelitian terdahulu melaporkan bahwa pemberian vaksin dapat melalui mukosa hidung untuk menginduksi rangsangan sel memori limfosit lebih kuat dibanding metode lain, seperti injeksi subkutan.[8,9]

Siapa Saja yang Termasuk Imunodefisiensi?

Imunodefisiensi atau imunokompromais  merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan defek kuantitatif maupun kualitatif pada sistem imun seluler, humoral, maupun gabungan dari keduanya. Imunodefisiensi menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dibagi menjadi dua, yaitu:

  • Imunodefisiensi primer, bersifat genetik, contohnya X-linked agammaglobulinemia dan chronic granulomatous disease

  • Imunodefisiensi sekunder, bersifat didapat akibat suatu penyakit atau tata laksana terkait manajemen suatu penyakit, seperti penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV), keganasan sistem hematopoietik, mendapatkan terapi radiasi atau obat imunosupresan, asplenia, dan penyakit ginjal kronis[2]

Derajat imunodefisiensi sekunder oleh karena tata laksana tertentu bervariasi, tergantung dosis dan modalitas yang diterima.[2]

Imunodefisiensi dan Vaksinasi

Vaksinasi pada populasi imunodefisiensi atau imunokompromais memiliki tantangan tersendiri. Individu dengan kondisi ini tidak memiliki respons imun yang diharapkan dengan stimulus vaksin.

Anjuran Vaksin pada Kondisi Imunodefisiensi

Individu dengan imunodefisiensi memiliki risiko lebih tinggi untuk mengidap penyakit infeksi dibandingkan dengan individu yang imunokompeten. Oleh karena itu, populasi imunodefisiensi direkomendasikan untuk mendapatkan beberapa vaksin, seperti vaksin influenza dan vaksin pneumokokus.[2,5]

Larangan Vaksin pada Kondisi Imunodefisiensi

Pemberian vaksin yang berisi bakteri atau virus hidup yang dilemahkan, seperti vaksin BCG, polio, varicella, maupun MMR (measles, mumps, rubella), tidak direkomendasikan untuk populasi imunodefisiensi. Hal ini karena berisiko tinggi berkembangnya bakteri atau virus tersebut dan memicu timbulnya infeksi yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, vaksin hidup atau vaksin aktif tidak boleh diberikan pada kondisi imunodefisiensi.[2,5]

Sedangkan vaksin yang berisi komponen imunogenik dari virus atau bakteri, atau vaksin inactivated mungkin tidak dapat memberikan hasil yang maksimal pada populasi imunodefisiensi. Tubuh dapat gagal menghasilkan respons kekebalan yang diinginkan, sehingga pada beberapa situasi sebaiknya vaksin diulang setelah sistem imun membaik.[2,5]

Studi Vaksin pada Kondisi Imunodefisiensi Terbatas

Tantangan lain adalah masih terbatasnya studi yang meneliti efikasi dan keamanan vaksinasi pada populasi imunodefisiensi. Berdasarkan referensi dari vaksin terdahulu, panduan CDC menyebutkan bahwa vaksin dalam bentuk komponen imunogenik (inactivated), seperti organisme maupun rekombinan yang mati, sub-unit organisme maupun virus, toksoid, polisakarida, atau protein-polisakarida konjugat dapat diberikan dengan aman kepada populasi imunodefisiensi.[2,6]

Bagaimana Cara Vaksinasi pada Penderita Imunodefisiensi?

Sebelum melakukan tindakan vaksinasi, hal pertama yang harus dilakukan adalah berdiskusi dengan pasien atau keluarga pasien mengenai untung rugi tindakan ini. Perlu penjelasan mengenai respons tubuh individu dengan imunokompromais terhadap vaksinasi yang dapat tidak optimal. Beberapa peringatan terkait vaksinasi pada kondisi imunodefisiensi adalah:

  • Rekomendasi CDC hingga saat ini mengenai vaksinasi yang dapat diberikan secara aman, terlepas dari status imun seorang, adalah vaksin influenza inaktif
  • Pemberian vaksinasi saat pasien sedang dalam kemoterapi, radioterapi, maupun obat-obatan imunosupresif sebaiknya dihindari karena respon antibodi dapat kurang optimal
  • Pemberian vaksinasi kurang dari 14 hari sebelum pasien menjalani terapi imunosupresif, atau vaksinasi yang dilakukan saat pasien menerima terapi imunosupresif, dianggap sama dengan belum mendapatkan vaksinasi sehingga harus diulang minimal 3 bulan setelah terapi dihentikan
  • Tidak boleh memberikan vaksin, baik aktif maupun inaktif, pada penderita kelainan jumlah limfosit B dan penerima terapi imunoglobulin, pemberian vaksin seyogyanya menunggu minimal 6 bulan sejak dosis terakhir[2,7]

Vaksin Inactivated COVID-19 dan Imunodefisiensi

Data penelitian mengenai vaksin COVID-19 masih terbatas, sehingga vaksinasi pada kondisi imunodefisiensi menggunakan referensi vaksin inactivated dari penyakit lain, seperti vaksin hepatitis A dan vaksin influenza.  Rubin et al melaporkan bahwa vaksin inactivated tidak memiliki efek samping mayor pada pasien imunodefisiensi.[7]

Efek samping pemberian vaksin inactivated COVID-19 berdasarkan studi yang ada adalah demam, mialgia, nyeri kepala, mual, fatigue, dan kemerahan/nyeri pada lokasi suntikan. Umumnya efek samping dirasakan setelah pemberian dosis booster.[10]

Hingga saat ini, belum ada penelitian maupun data yang cukup mengenai efek dari berbagai jenis vaksin COVID-19 pada populasi imunodefisiensi. Rekomendasi dari CDC menyatakan bahwa profil keamanan dan efikasi vaksin COVID-19 adalah relatif sama pada populasi dengan penyakit tertentu dibandingkan populasi umum tanpa komorbid. Namun, harus diperhatikan bahwa rekomendasi CDC tersebut terbatas untuk vaksin mRNA (Pfizer®) sedangkan belum ada data penelitian mengenai efikasi dan keamanan penggunaan vaksin inactivated pada populasi imunodefisiensi. [10,11]

Konseling perihal profil keamanan, efikasi vaksinasi, serta sub-optimal respons tubuh terhadap vaksinasi harus dilakukan sebelum memberikan vaksinasi, terutama pada populasi pasien dengan komorbid tertentu. Pada pasien HIV dengan tingkat CD4<200 cells/μL, vaksinasi harus diulang saat CD4>200 cells/μL.[11]

Kesimpulan

Vaksinasi pada populasi yang memiliki sistem kekebalan menyimpang atau kondisi imunodefisiensi memiliki tantangan tersendiri. Mengingat peningkatan risiko mengidap penyakit infeksi maupun adanya kemungkinan vaksinasi yang diberikan memberikan respons imun yang tidak optimal. Oleh karena itu, pemberian vaksinasi pada populasi imunodefisiensi harus didahului konseling mengenai untung-rugi vaksinasi, serta berbagai pertimbangan saat yang tepat untuk dilakukan vaksinasi.

Vaksinasi minimal diberikan 14 hari sebelum pasien menerima terapi imunosupresif, atau 3 bulan setelah dosis terapi imunosupresif terakhir. Vaksin yang diberikan secara aman terlepas dari status imun adalah vaksin inaktif, seperti vaksin influenza, pneumokokus, dan meningokokus. Sedangkan vaksin yang dikontraindikasikan untuk penderita imunodefisiensi adalah vaksin aktif atau hidup, seperti vaksin BCG, MMR, polio oral, maupun varicella.

Hingga saat ini, laporan keamanan dan efikasi vaksin inactivated COVID-19 pada populasi imunodefisiensi masih terbatas. Berdasarkan rekomendasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), vaksin inactivated COVID-19 pemberiannya belum layak untuk pasien imunodefisiensi kecuali penderita HIV dengan CD4>200 cells/μL. Individu yang telah mendapatkan vaksin COVID-19 tetap harus melaksanakan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran penyakit.

Referensi