Risiko Kanker Akibat Penggunaan Proton Pump Inhibitor Jangka Panjang

Oleh :
dr. Vania Azalia Gunawan

Penggunaan proton pump inhibitor (PPI) jangka panjang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker, seperti kanker lambung dan kanker pankreas. Obat golongan PPI, seperti omeprazole dan lansoprazole, merupakan obat penekan asam yang banyak digunakan dalam penanganan berbagai kondisi medis, termasuk gastritis, gastroesophageal reflux disease (GERD), dan ulkus peptikum. Karena gejala kondisi tersebut sering rekuren, PPI menjadi kerap digunakan dalam jangka lama.[1,2]

Risiko Penggunaan PPI Jangka Panjang terhadap Kanker Lambung

Contoh proton pump inhibitor (PPI) adalah omeprazoleesomeprazole, lansoprazole, dexlansoprazole, pantoprazole, dan rabeprazole. Efek PPI sebagai obat penekan asam yang poten dicurigai meningkatkan risiko kanker lambung. Hal ini diduga berkaitan dengan perburukan atrofi lambung, peningkatan kondisi hipergastrinemia, dan peningkatan bacterial overgrowth pada lambung yang timbul akibat penggunaan PPI jangka panjang.[2,3]

ProtonPumpInhibitor

Mekanisme yang Diduga Menyebabkan Peningkatan Risiko Kanker Lambung

Hipergastrinemia terjadi akibat umpan balik yang disebabkan supresi dari produksi asam lambung. PPI menghambat pompa H+/K+ ATPase pada sel parietal dan mereduksi sekresi asam lambung, secara tidak langsung merangsang sekresi gastrin dari sel G. Gastrin adalah sebuah growth factor yang poten dan dapat menginduksi hiperplasia. Hipergastrinemia menyebabkan hiperplasia dari sel enterochromaffin-like (ECL), yang berperan pada kanker lambung.[3,4]

Penggunaan PPI jangka panjang juga mengubah gut microbiota, menyebabkan overgrowth bakteri, dan menyebabkan inflamasi gaster. Hal ini dapat meningkatkan sitokin proinflamasi, yang ditambah dengan kondisi hipokloridia yang menyebabkan pertumbuhan infeksi bakteri patogenik, seperti Clostridium difficile dan Campylobacter jejuni. Hasilnya adalah inflamasi kronis yang diduga berkaitan dengan peningkatan risiko pertumbuhan sel kanker.[2-5]

Basis Bukti Ilmiah

Dalam sebuah tinjauan yang menganalisis 7 studi dengan total 943.070 partisipan, penggunaan PPI dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker lambung dengan odds ratio sebesar 2,5. Analisis subgrup menunjukkan bahwa pasien yang lebih berisiko adalah mereka yang menggunakan PPI selama lebih dari 36 bulan.[11]

Hasil serupa dilaporkan dalam sebuah studi kohort berbasis populasi nasional di Swedia. Studi ini melibatkan 797.067 partisipan yang mengonsumsi PPI sebagai terapi rumatan selama setidaknya 180 hari. Studi ini menemukan adanya peningkatan risiko kanker lambung lebih dari 3 kali lipat. Risiko tampaknya lebih meningkat pada pengguna dengan usia lebih muda, yakni di bawah 40 tahun.[12]

Risiko Penggunaan PPI Jangka Panjang terhadap Kanker Pankreas

Kanker pankreas merupakan salah satu kanker paling agresif di dunia. Timbulnya kanker pankreas akibat konsumsi proton pump inhibitor (PPI) jangka panjang diduga berkaitan dengan hipergastrinemia dan disbiosis.[1,7,8]

Mekanisme yang Diduga Menyebabkan Peningkatan Risiko Kanker Pankreas

Hipergastrinemia, akibat umpan balik negatif dari penggunaan PPI jangka panjang, menstimulasi pertumbuhan berlebihan dari sel pankreas melalui rangsangan pada CCK-B/gastrin like receptors. Gastrin yang berikatan dengan reseptor CCK-2 dapat menstimulasi beberapa kinase dan menyebabkan upregulation dari adenokarsinoma pankreas.[1,7]

Gut dysbiosis akibat penggunaan PPI dikorelasikan dengan kejadian kanker, respons terhadap terapi, dan prognosisnya. Sebuah studi menunjukkan tikus tanpa infeksi mikrobiota dan yang mendapatkan terapi antibiotik, memiliki displasia dan pertumbuhan tumor pankreas yang lebih rendah. Fusobacterium, yang ditemukan pada cairan duodenum akibat gut dysbiosis, juga telah dihubungkan dengan prognosis yang buruk pada pasien dengan kanker duktus pankreas.[7,8]

Basis Bukti Ilmiah

Sebuah meta analisis yang melibatkan 10 studi menyimpulkan bahwa penggunaan PPI meningkatkan risiko kanker pankreas hingga 69,8%. Sebanyak 5 studi menunjukkan hubungan dose-response, sedangkan 5 studi lainnya menunjukkan hubungan duration-response. Esomeprazole dilaporkan memberikan risiko yang lebih tinggi dibandingkan PPI jenis lain.[1]

Hasil serupa juga ditemukan dalam kohort yang dilakukan di Swedia. Kohort ini melibatkan 796.492 orang dewasa yang mengonsumsi PPI jangka panjang. Risiko kanker pankreas ditemukan meningkat secara signifikan pada pasien yang mengonsumsi PPI dibandingkan kontrol, terutama pada individu berusia di bawah 40 tahun dan mereka yang memiliki riwayat infeksi Helicobacter pylori.[6]

Risiko Penggunaan PPI Jangka Panjang terhadap Kanker Esofagus

Studi terdahulu menjelaskan efek protektif dari proton pump inhibitor (PPI) terhadap progresivitas dari kanker esofagus. Meski demikian, terdapat studi epidemiologi lebih baru yang menunjukkan kemungkinan korelasi penggunaan PPI dengan kanker esofagus.[9,10

Mekanisme yang Diduga Menyebabkan Peningkatan Risiko Kanker Esofagus

Patofisiologi terjadinya kanker esofagus akibat PPI mungkin berkaitan dengan hipergastrinemia. Reseptor gastrin diketahui juga terekspresi pada kanker esofagus dan kadar gastrin yang tinggi meningkatkan risiko displasia. Kemungkinan lainnya adalah adanya peningkatan kolonisasi mikroorganisme non-gastrik akibat supresi dari asam lambung, yang berpotensi meningkatkan kemungkinan kanker esofagus.[9,10]

Meski begitu, PPI diduga memiliki efek bidireksional terhadap kanker esofagus. Esomeprazole diketahui dapat menginduksi autofagi pada kanker esofagus primer, sebuah mekanisme adaptasi sel kanker untuk bertahan dalam situasi yang tidak menguntungkan, seperti hipoksia atau obat sitotoksik, sehingga mendukung proliferasi sel kanker. Di sisi lain, pada sel metastasis, esomeprazole diketahui dapat menghambat autofagi basal, yang menghambat proliferasi dari sel kanker.[10]

Basis Bukti Ilmiah

Studi kohort yang melibatkan hampir 800.000 partisipan yang menggunakan PPI jangka panjang, menyimpulkan bahwa penggunaan PPI meningkatkan risiko adenokarsinoma esofagus. Risiko ini dikatakan meningkat tanpa melihat durasi pemberian PPI, dimana seorang individu tanpa GERD yang terpapar PPI dengan durasi kurang dari 1 tahun, memiliki risiko adenokarsinoma esofagus hingga 13 kali dan karsinoma sel skuamosa hingga 10 kali.[9,10]

Rekomendasi Penggunaan Proton Pump Inhibitor

Proton pump inhibitor (PPI) masih merupakan terapi paling efektif untuk ulkus peptikum, GERD, dan pencegahan perdarahan saluran cerna akibat aspirin atau obat antiinflamasi nonsteroid lainnya. Penggunaan PPI secara rasional, dengan durasi penggunaan jangka pendek, disertai dosis rendah yang efektif, diharapkan dapat menurunkan risiko efek samping.

Faktor risiko kanker, termasuk ulkus gaster dan infeksi H. pylori harus diterapi dengan tepat untuk menurunkan risiko kanker. Pemeriksaan H. pylori direkomendasikan dan segera diterapi sesuai protokol, untuk menurunkan risiko atrofi korpus gaster. Pemeriksaan chromogranin A, serologi marker untuk memantau hiperplasia sel ECL dapat dipertimbangkan.[2,3]

Step-down PPI ke golongan H2-blocker seperti ranitidine dapat selalu dipertimbangkan. H2-blocker menekan produksi asam lambung dengan memblok kerja dari histamin saja, kurang efektif dibandingkan PPI, dan jarang menyebabkan hipergastrinemia. Beberapa studi juga tidak mendapatkan asosiasi penggunaan H2-blocker dengan risiko kanker dibandingkan PPI.

Aspek lain yang perlu menjadi perhatian adalah penekanan terapi pada pendekatan non-farmakologi. Ini dapat mencakup penurunan berat badan dan modifikasi diet untuk  mengurangi keperluan konsumsi.[2,5]

Kesimpulan

Berbagai studi observasional telah menunjukkan peningkatan risiko kanker akibat penggunaan proton pump inhibitor (PPI) jangka panjang. Ini mencakup risiko kanker lambung, kanker pankreas, dan kanker esofagus.

Pendekatan non-farmakologi pada pasien yang menggunakan PPI jangka panjang, misalnya untuk ulkus peptikum dan GERD, diharapkan dapat menurunkan keperluan konsumsi PPI dan risiko kanker. Selain itu, dokter dapat mempertimbangkan untuk melakukan step down ke obat golongan H2-blocker seperti ranitidine.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Nathania S. Sutisna

Referensi