Risiko Diabetes Mellitus Pasca COVID-19

Oleh :
dr. Jocelyn Prima Utami

Diabetes telah dikaitkan erat dengan COVID-19. Beberapa studi dan kasus telah melaporkan prognosis COVID-19 yang lebih buruk dan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada pasien diabetes mellitus. Begitu juga sebaliknya, COVID-19 diduga dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami diabetes. Hal ini didukung oleh beberapa studi yang menemukan terjadinya diabetes onset baru pada pasien yang telah menderita COVID-19 sebelumnya.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Akan tetapi, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasi apakah COVID-19 dapat secara langsung mengakibatkan diabetes onset baru, atau hanya memperparah kondisi diabetes yang sebenarnya sudah ada tetapi tidak diketahui sebelumnya.[1,2]

Hubungan antara Diabetes Mellitus dan Penyakit COVID-19

Beberapa kondisi seperti usia lanjut, jenis kelamin laki-laki, serta adanya komorbiditas, seperti penyakit kardiovaskular, obesitas, dan diabetes mellitus (DM) diketahui merupakan faktor risiko tinggi pada pasien COVID-19 untuk mengalami gejala berat. Tingkat mortalitas COVID-19 pada pasien diabetes mellitus ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa DM.

shutterstock_1912929745-min

Studi di Inggris yang meneliti 23.000 kasus kematian akibat COVID-19 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan risiko mortalitas sebanyak 2–3 kali pada pasien COVID-19 dengan DM.[3-5]

Mekanisme Diabetes Mellitus sebagai Faktor Risiko COVID-19

Hubungan antara DM dengan COVID-19 didasarkan pada berbagai patofisiologi, yaitu mekanisme imunitas dan angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2). Pasien DM umumnya memiliki respons imun yang terganggu dan mekanisme bersihan virus atau viral clearance yang lebih lama, sehingga lebih rentan terhadap infeksi.

Kondisi proinflamasi pada pasien DM dapat meningkatkan risiko terjadinya badai sitokin, yang berujung pada syok, acute respiratory distress syndrome (ARDS), dan pemburukan gejala COVID-19. Hal ini ditandai dengan kadar D-dimer yang lebih tinggi pada pasien COVID-19 dengan DM dibandingkan dengan pasien tanpa DM.[3,6,7]

Kondisi diabetes mellitus sendiri berhubungan dengan berkurangnya ACE2 yang umum diekspresikan di berbagai organ tubuh, seperti paru-paru, ginjal, saluran cerna, dan endotel vaskuler. Reseptor ACE2 di paru-paru memiliki peran penting dalam regulasi antiinflamasi dan antioksidan, sehingga penurunan ekspresi ACE2 dapat meningkatkan inflamasi, edema paru, risiko kerusakan berat pada paru, serta risiko ARDS pada infeksi COVID-19.

Di samping itu, reseptor ACE2 juga berperan sebagai tempat virus SARS-CoV-2 berikatan yang memungkinkan virus masuk ke dalam jaringan dan sel inang untuk melakukan proses proliferasi.[4,6,8]

Di sisi lain, beberapa studi menunjukkan adanya peran COVID-19 dalam memperparah diabetes yang dialami pasien. COVID-19 dikaitkan dengan kerusakan sel beta pankreas melalui reseptor ACE2 diekspresikan di sana.

Selain itu, COVID-19 juga dapat memperparah resistensi insulin karena kondisi proinflamasi yang ditandai oleh peningkatan interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF) alfa, dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1). Sitokin tersebut dapat menurunkan sensitivitas insulin.[4,9]

Diabetes Mellitus Onset Baru Pasca COVID-19

Terdapat beberapa studi kasus yang melaporkan terjadinya diabetes onset baru pada pasien COVID-19. Hal ini mengindikasikan kemungkinan efek diabetogenik dari COVID-19 yang berpengaruh terhadap peningkatan kadar gula darah puasa dan pengembangan diabetes pada pasien COVID-19.[1,2,10,11]

Kemungkinan Mekanisme Diabetes Onset Baru pada Pasien COVID-19

Mekanisme yang memungkinkan terjadinya diabetes mellitus maupun ketoasidosis diabetik pasca COVID-19 dihubungkan dengan proses masuknya virus melalui reseptor ACE2 ke dalam sel beta pankreas yang berakibat sebagai kerusakan sel. ACE2 juga banyak diekspresikan di jaringan adiposa yang bertanggung jawab terhadap metabolisme glukosa. Selain itu, setelah virus masuk ke dalam sel, regulasi reseptor ACE2 akan menurun, sehingga mekanisme penekanan jumlah angiotensin II tidak terjadi.

Hal ini dapat menyebabkan peningkatan stres oksidatif, penurunan aliran darah ke jaringan, dan gangguan sekresi insulin. Penurunan sekresi insulin yang disertai dengan peningkatan lipolisis, glikogenolisis, dan glukoneogenesis menyebabkan resistensi insulin. Selain kerusakan sel beta pankreas, kondisi hiperglikemia dan diabetes juga dapat disebabkan oleh respons stres tubuh terhadap COVID-19.[1,2,10,11]

Hingga saat ini, belum diketahui pasti apakah mekanisme pengembangan diabetes pasca COVID-19 bersifat sementara atau bertahan dalam jangka panjang. Belum diketahui juga apakah diabetes pada pasien COVID-19 memang merupakan onset baru atau sudah ada sebelumnya tetapi tidak terdeteksi.

Laporan Kasus Diabetes Onset Baru Pasca COVID-19

Diabetes atau hiperglikemia onset baru umumnya ditemukan pada pasien COVID-19 yang pernah mengalami gejala berat. Studi kasus di India melaporkan kasus diabetes dan hiperglikemia onset baru yang terjadi pada pasien pasca COVID-19 gejala berat, yang ditunjukkan oleh titer penanda inflamasi yang tinggi.

Di lain sisi, studi kasus oleh Ghosh et al menunjukkan hal yang berbeda, yaitu diabetes onset baru justru ditemukan pada pasien pasca COVID-19 dengan gejala ringan, tanpa disertai hipoksia maupun komplikasi. Pasien juga tidak tergolong obesitas dan tidak memiliki riwayat penyakit komorbid, termasuk diabetes.[12,13]

Suwanwongse et al melaporkan kasus diabetes atau ketoasidosis diabetik onset baru pada 3 pasien pasca COVID-19, dengan/tanpa disertai riwayat diabetes pada pasien atau keluarga. Namun, pada ketiga pasien ditemukan adanya peningkatan kadar HbA1C, yang menggambarkan gangguan regulasi gula darah yang terjadi dalam waktu lebih lama. Selain itu, 2 dari 3 pasien tergolong obesitas berdasarkan penghitungan indeks massa tubuh (IMT).

Dengan demikian, terdapat hipotesis bahwa diabetes merupakan hasil dari gangguan metabolik yang terjadi akibat COVID-19, yang memperparah kondisi DM yang sebenarnya sudah ada, dan bukan merupakan onset baru.

Ketiga pasien tersebut juga memiliki riwayat penyakit yang asimtomatik hingga gejala ringan, tanpa disertai hipoksemia. Hal ini tidak sejalan dengan beberapa bukti klinis yang mengemukakan bahwa diabetes mellitus dapat memperburuk perjalanan penyakit COVID-19.[10,14,15]

Namun, berbagai penelitian masih perlu dilakukan untuk mempelajari lebih lanjut mengenai komplikasi yang dapat disebabkan oleh COVID-19 pada tubuh, termasuk terjadinya diabetes mellitus onset baru.

Evaluasi rutin terhadap gula darah perlu dilakukan pada pasien yang sedang atau pernah menderita COVID-19 dengan kadar gula darah meningkat, meski tidak terdapat riwayat diabetes sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi diabetes onset baru dan ketoasidosis diabetik.[2,16]

Kesimpulan

Diabetes dan COVID-19 diduga saling memengaruhi satu sama lain. Pertama,  diabetes berkaitan dengan prognosis COVID-19 yang lebih berat dan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Kedua, pasien pasca COVID-19 juga dikatakan memiliki risiko mengalami diabetes onset baru. Mekanisme yang mendasari hubungan ini dikaitkan dengan gangguan sistem imun pada COVID-19 dan reseptor ACE2 yang memungkinkan virus masuk dan merusak sel beta pankreas.

Akan tetapi, temuan tersebut belum cukup untuk memastikan hal ini. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya diabetes pasca COVID-19, dan apakah diabetes tersebut merupakan onset baru atau kondisi yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak diketahui.

Selain itu, masih belum diketahui secara pasti apakah diabetes pasca COVID-19 bersifat sementara atau bertahan untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, evaluasi gula darah perlu dilakukan secara rutin pada pasien yang sedang atau pernah menderita COVID-19, terlepas dari ada tidaknya riwayat diabetes. Hal ini bertujuan untuk mencegah gejala berat COVID-19 dan komplikasi diabetes mellitus, seperti ketoasidosis diabetik.[1,2,7,9,10,15]

Referensi