Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Kasus Tuberkulosis di Indonesia

Oleh :
dr. Qorry Amanda, M.Biomed

Pandemi COVID-19 berpotensi menghapus progresivitas keberhasilan penanganan tuberkulosis (TBC) di Indonesia yang telah dicapai selama 20 tahun ke belakang. Sebelum pandemi COVID-19, TBC dikenal sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi di dunia, terutama pada komunitas yang berada di bawah kemiskinan dan masyarakat perifer. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai beban TBC terbesar di dunia. Namun, sejak tahun 2002 di Indonesia telah terdapat kemajuan yang signifikan terkait keberhasilan penanganan dan pengendalian penyakit TBC.[1,2]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Dampak Pandemi terhadap Data Pelaporan Kasus Tuberkulosis

Data dari 84 negara di seluruh dunia melaporkan bahwa setidaknya terdapat penurunan hingga 1,4 juta pasien TBC pada tahun 2020. Padahal, WHO telah memprediksi bahwa akan ada 10 juta kasus baru TBC pada tahun 2020, tetapi hanya 5,8 juta kasus yang tercatat dan dilaporkan. Bahkan jumlah kasus ini menurun sekitar 18% daripada data tahun 2019. Fenomena ini terutama terjadi di negara Asia, termasuk India, Indonesia, Filipina, dan China. WHO juga mencatat terdapat sedikitnya 1,3 juta kematian pada tahun 2020 akibat TBC.[3-5]

Data di Indonesia

Berdasarkan data  sistem informasi TBC (SITB) per 16 Juli 2020, jumlah kasus TBC di Indonesia mengalami tren penurunan cukup besar, sementara TBC resisten obat (TBRO) menunjukkan tren kenaikan. Global tuberculosis report yang diterbitkan oleh WHO pada 2021 menunjukkan adanya penurunan besar-besaran incidence rate TB dan TBRO baru di Indonesia, tetapi terdapat kenaikan mortality rate yang disebabkan TBC.[1,5]

Gambar 1. Data Tuberkulosis-min

Gambar 1. Data Tuberkulosis di Indonesia Berdasarkan Laporan Global WHO [5]

Pada grafik A, garis hijau menunjukkan penurunan incidence rate TBC di Indonesia pada tahun 2020−2021, sedangkan garis hitam merupakan rata-rata laporan kasus bulanan atau triwulanan pada tahun 2019. Pada grafik B, garis biru adalah perkiraan incidence rate TBC di Indonesia hingga tahun 2025, di mana garis hitam sebagai baseline adalah skenario tanpa gangguan COVID-19 berdasarkan tren sebelum tahun 2020.[5]

Sedangkan garis merah pada grafik C menggambarkan perkiraan dampak pandemi COVID-19 terhadap tingkat kematian TB dengan/tanpa HIV hingga tahun 2025. Garis hitam sebagai baseline adalah skenario tanpa gangguan COVID-19 berdasarkan tren sebelum tahun 2020. Dampak COVID-19 akan terlihat sejak tahun 2020 dan seterusnya.[5]

Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Kasus Tuberkulosis di Indonesia-min

Pandemi Berpotensi Meningkatkan Kasus Tuberkulosis

Data jumlah kasus TBC yang turun pada tahun 2020 diduga bukan karena jumlah penderita yang benar menurun, tetapi karena kurangnya pelaporan atau diagnosis akibat penurunan akses ke perawatan kesehatan. Tahun 2020 merupakan awal pandemi COVID-19, di mana terjadi pembatasan mobilitas masyarakat sehingga jumlah pasien dan jam layanan fasilitas kesehatan diturunkan. Kondisi ini mempengaruhi diagnosis dini kasus baru dan memperberat penanggulangan TBC.[2,6,7]

Kekhawatiran akibat pasien terkonfirmasi atau terindikasi TBC yang dipaksa untuk tetap di dalam rumah adalah peningkatan penularan TBC di dalam keluarga. Para ahli memprediksi akan terjadi lonjakan kasus baru TBC atau TBRO ketika pandemi mereda, di mana pasien dapat kembali mengunjungi fasilitas kesehatan tanpa kendala. Secara perhitungan model statistik, diperkirakan penambahan sedikitnya 380.000 kasus baru TBC dan 770 kasus baru TBRO pada tahun 2021.[2,6,7]

Pengalihan Tenaga atau Sumber Daya Kesehatan

Sejumlah tenaga kesehatan (nakes) yang sebelumnya menangani TBC dialihkan untuk menangani COVID-19. Sementara, nakes yang tetap ditugaskan untuk menangani pasien TBC seringkali menjadi lebih cemas ketika mendapati pasien yang menunjukkan gejala mirip COVID-19, seperti batuk, sesak napas, atau demam. Kecemasan terutama ketika alat pelindung diri (APD) yang tersedia tidak cukup memadai. Hal ini menyebabkan kualitas pelayanan menjadi kurang optimal.[8]

Hambatan Pelayanan Diagnostik

Pasien TBC kemungkinan menunda untuk berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) karena takut tertular COVID-19. Laboratorium diagnostik yang tersedia juga diprioritaskan untuk pemeriksaan COVID-19 daripada TBC, termasuk mesin GeneXpert yang dibeli oleh pengelola program TBC beralih fungsi untuk mendiagnosis COVID-19 dengan biaya pengujian TBC. Hal serupa juga mempengaruhi produksi cartridge Xpert MTB/RIF.[8]

Penurunan Notifikasi Kasus TBC dan Kualitas Perawatan

Pasien yang mangkir dari program pengobatan TBC semakin banyak selama pandemi, sehingga meningkatkan risiko terjadinya TB resisten obat (TBRO). Intervensi yang seharusnya dilakukan jika ada pasien mangkir menjadi tidak diutamakan, di antaranya investigasi kontak, kunjungan rumah, dan obat profilaksis. Penelitian, pengembangan, dan uji coba terkait TBC mungkin tertunda. Demikian juga pembaruan pedoman dan kebijakan terkait TBC yang lebih efektif.[8]

Gangguan Pembayaran

COVID-19 dapat mengakibatkan gangguan pembayaran yang serius yang juga dapat berpengaruh bagi pasien TBC. Pasien yang terbiasa mendapatkan upah serta melakukan transaksi sehari-hari secara tunai dengan mata uang kertas harus menyesuaikan melakukan transaksi digital, seperti transfer online. Hal ini dapat mengganggu jadwal kunjungan kontrol berobat pasien sehingga dapat mengurangi tingkat penyelesaian pengobatan TBC.[8]

Gangguan Sistem Pendataan TBC

Pandemi COVID-19 dapat melemahkan kualitas data TBC yang dikumpulkan dan dianalisis oleh negara-negara dengan beban kasus TBC tinggi di dunia. Sebagai contoh, pasien yang mungkin memiliki diagnosis TBC dan COVID-19 hanya dinyatakan positif terkonfirmasi COVID-19, sedangkan kasus TBC-nya tidak dicatat. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas data real time mengenai underdiagnosis kasus TBC yang terkumpul di seluruh dunia.[8,9]

Pemangkasan Dana Penelitian TBC

Dalam jangka panjang, negara-negara dapat memangkas pengeluaran untuk TBC karena kerugian ekonomi yang sangat besar akibat pandemi COVID-19. Negara-negara donor dapat mengurangi investasi Global Fund sehingga mengakibatkan kekurangan dana penelitian dan pengembangan untuk TBC.[8]

Penundaan Imunisasi Dasar Balita

Pandemi COVID-19 juga menyebabkan penundaan imunisasi dasar lengkap pada balita. Kemenkes mencatat imunisasi anak menurun hingga 19,7% pada periode Maret−April 2020. Selain itu, UNICEF Indonesia melaporkan 84% fasyankes di Indonesia mengalami gangguan pelayanan imunisasi pada April 2020, termasuk imunisasi BCG sebagai upaya pencegahan TBC pada anak.[10]

Resesi Ekonomi

Resesi ekonomi akibat pandemi dapat mempengaruhi kestabilan finansial keluarga, yang secara tidak langsung berdampak pada prognosis pengobatan TBC yang sedang dijalani pasien. Kehilangan pekerjaan, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, dan terbatasnya perlindungan sosial diperkirakan akan mendorong 71 juta orang ke garis kemiskinan pada tahun 2020. Hal ini akan berpengaruh terhadap program penanggulangan TBC yang telah lama dijalankan pemerintah.[11]

Langkah-Langkah Menghadapi Peningkatan Kasus Tuberkulosis Akibat Pandemi

Dengan adanya dampak pandemi COVID-19 terhadap banyak aspek pengelolaan TBC di Indonesia, diharapkan pemerintah dapat menyusun rencana penanganan TBC secara lebih terstruktur. Beberapa langkah yang sebaiknya dilaksanakan dijelaskan di bawah ini.

Memastikan Kebutuhan Obat Antituberkulosis (OAT)

Pasien TBC harus diberikan sejumlah OAT untuk periode tertentu, agar pasien tidak terlalu sering mengunjungi fasyankes hanya untuk mengambil OAT. Oleh karena itu, persediaan OAT di fasyankes harus memadai. Demikian juga persediaan obat yang berfungsi untuk mengatasi efek samping terapi OAT. Jumlah obat yang harus diberikan kepada pasien adalah:

  • Pasien TB sensitif obat yang sedang dalam fase pengobatan intensif diberikan OAT untuk 14−28 hari
  • Pasien TB sensitif obat yang sedang dalam fase pengobatan lanjutan diberikan OAT untuk 28−56 hari
  • Pasien TB resisten obat yang sedang dalam fase pengobatan intensif diberikan OAT oral untuk 7 hari
  • Pasien TB resisten yang sedang dalam fase pengobatan lanjutan diberikan OAT untuk 28−56 hari
  • Pengawas minum obat (PMO) pasien TBC dapat menggunakan teknologi elektronik seperti video call

  • Pasien yang sedang dalam terapi pencegahan TB diberikan obat profilaksis untuk dosis 2 bulan, dengan kewajiban melaporkan perkembangan ke tenaga Kesehatan melalui telepon atau sarana komunikasi lainnya minimal sekali sebulan [12-14]

Interval pemberian OAT juga bisa diperpendek dengan melihat dan menyesuaikan kondisi pasien. Pasien dan keluarganya dapat diberikan informasi terkait efek samping dan tanda-tanda bahaya yang mungkin terjadi, disertai bagaimana  penanganannya dan kapan pasien harus di bawa ke fasyankes untuk pemeriksaan lebih lanjut.[12-14]

Bila pasien yang sedang menjalani pengobatan TBC juga mengalami COVID-19, maka pengobatan TBC tetap dilanjutkan dan dilakukan di fasyankes yang melayani pengobatan COVID-19.[12-14]

Menunjuk Fasyankes Rujukan TBRO

TB resistensi obat (TBRO) membutuhkan konsultasi dokter langsung, sehingga dibutuhkan fasyankes yang terpisah dari tempat pasien COVID-19 berobat. Tujuan pemisahan pasien TB dengan COVID-19 adalah agar semua pasien berobat dengan aman. Bila perlu, dinas kesehatan kabupaten/kota memindahkan lokasi fasyankes yang melayani TBC di wilayah lain.[12-14]

Memantau dan Mengawasi Minum Obat Antituberkulosis (OAT)

Pemantauan pengawasan minum obat TB dapat dilakukan secara elektronik atau metode non tatap muka, misalnya menggunakan video call atau telekonsultasi. Sebaiknya, setiap pasien TB mencantumkan dua nomor telepon yang bisa dihubungi sewaktu-waktu oleh petugas pengawasan minum OAT, baik nomor telepon pasien maupun keluarga yang dapat mengawasi langsung pasien di rumah.[12-14]

Nakes juga harus memberikan nomor telepon kepada pasien dan keluarganya untuk memberikan akses apabila terjadi efek samping obat yang memerlukan bantuan medis, atau jika diperlukan penyesuaian pengobatan.[12-14]

Melibatkan Komunitas Setempat dalam Pendampingan Pasien

Layanan kesehatan pasien TBC rawat jalan sebaiknya melibatkan komunitas masyarakat setempat, terutama pada masa pandemi COVID-19 yang membatasi mobilitas pasien untuk berobat lebih intens ke fasyankes daripada biasanya. Komunitas tersebut dapat dilatih mengenali gejala dan tanda klinis serius pada pasien TBC yang membutuhkan penanganan lebih intensif dan melibatkan tenaga kesehatan.[12-14]

Meningkatkan Program Pencatatan Kasus TBC

WHO telah mendorong negara-negara dengan beban TBC yang masih tinggi untuk segera menerapkan sistem pendataan yang lebih cepat dan mudah diakses, seperti yang telah dilakukan pada kasus COVID-19. Perlu dilakukan investasi besar-besaran dalam rangka membangun sistem pendataan digital yang terintegrasi, disertai perangkat yang bersifat user interface yang ramah pengguna.[3]

Investasi ini akan dialokasikan untuk memperbaiki sistem pendataan masalah kesehatan secara digital, terutama TBC. Sistem pendataan yang baik akan memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan yang lebih tepat guna dan efektif dalam menangani kasus TBC di lapangan.[3]

Memperbaiki Metode Penemuan Kasus Baru dan Monitoring TBC

Penemuan kasus baru TBC dapat ditingkatkan dengan menggunakan metode aplikasi telepon genggam. Metode ini dapat dengan mudah diakses pasien, keluarga, masyarakat luas, bahkan nakes yang menangani TBC. Aplikasi dapat disusun dengan mengutamakan menu edukasi pasien, triase, rujukan, serta pemeriksaan kontak.[3]

Inisiatif penemuan kasus baru dengan dibantu analisis prediktif dan pemetaan hotspot dapat membantu mengidentifikasi orang yang mungkin terinfeksi TBC dan belum terdiagnosis. Selain itu, konsultasi dokter melalui online untuk pasien yang dicurigai atau telah terkonfirmasi TBC dapat menjadi salah satu upaya penanggulangan dampak keterbatasan fasyankes untuk TBC akibat pandemi COVID-19.[7]

Mengoptimalkan Pemeriksaan Diagnosis Kasus Baru

Pemeriksaan diagnosis kasus baru harus dioptimalkan dengan menggunakan teknologi berbasis molekuler, seperti yang dilakukan pada kasus COVID-19. Pemeriksaan untuk menetapkan status pasien terkonfirmasi TBC sebaiknya dikembangkan dengan menggunakan spesimen lain yang lebih mudah daripada mendeteksi BTA dari dahak pasien.[3]

Adanya gejala yang mirip antara COVID-19 dan TBC memberikan tantangan tersendiri dalam menemukan metode pemeriksaan yang dapat sekaligus mendiagnosis keduanya. Hal ini dapat sangat membantu beban masalah kesehatan selama pandemi berlangsung.[3]

Memperbaiki Metode Vaksinasi dan Terapi TBC

Vaksinasi dan terapi TBC harus diupayakan berdasarkan hasil penelitian yang lebih mutakhir, di antaranya pembuatan vaksin berbasis m-RNA untuk pencegahan TBC populasi dewasa dan lansia, serta penemuan obat baru yang bisa menanggulangi TBRO.[3]

Menargetkan Cakupan Vaksinasi COVID-19 untuk Mengakhiri Pandemi

Selama pandemi masih berlangsung, sistem kesehatan akan terus-menerus kewalahan dalam melakukan pelayanan kesehatan optimal untuk berbagai penyakit lain, termasuk TBC. Tanpa adanya vaksinasi secara masif, tidak akan ada satu pun negara yang akan siap dengan berbagai jenis varian baru virus SARS-COV-2. Vaksinasi COVID-19 dengan target cakupan 70% penduduk di seluruh negara pada pertengahan 2022 merupakan salah satu langkah mengakhiri pandemi.[3]

Kesimpulan

WHO memperkirakan sedikitnya 1,3 juta kematian akibat TBC di seluruh dunia sebagai dampak pandemi COVID-19. Hal ini karena sistem pelayanan kesehatan yang terbebani kasus COVID-19 sehingga kualitas penanganan TBC menjadi menurun. Di Indonesia, tercatat penurunan besar-besaran dalam deteksi kasus baru TBC, yang disertai dengan kenaikan kematian akibat TBC pada tahun 2020.

Kebijakan pemerintah yang membatasi mobilitas masyarakat, adanya kenaikan beban ekonomi pada masyarakat, serta teralihkannya perhatian sistem kesehatan secara umum kepada penanganan COVID-19 menyebabkan keterbatasan penanganan TBC. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan terpenuhinya kebutuhan pengobatan pasien TBC dan TBRO, sembari memperbaiki sistem pendataan yang terintegrasi mengenai deteksi dan penanganan kasus TBC. Peran komunitas masyarakat setempat diharapkan dapat menjembatani keterbatasan mobilitas pasien TBC ke fasyankes.

Walaupun pandemi telah banyak memberikan dampak negatif, tetapi terdapat beberapa dampak positif yang dapat dimanfaatkan untuk membantu program penanggulangan TBC di Indonesia. Kebiasaan baik seperti menggunakan masker, menjaga sanitasi yang lebih baik, dan membatasi jarak fisik dapat mencegah penularan penyakit saluran napas.[15] Selain itu, berbagai teknologi yang digunakan untuk menanggulangi COVID-19 dapat dijadikan acuan dalam penanganan penyakit TBC.

Referensi