Resistansi dan Kegagalan Clopidogrel

Oleh :
dr. Kana Kurniati Elka SpJP

Resistansi dan kegagalan clopidogrel pernah dilaporkan pada beberapa kasus kardiovaskular. Walaupun masih belum ada standar untuk menentukan resistansi clopidogrel, tetapi para dokter perlu mengetahui kondisi ini.

Clopidogrel merupakan penghambat reseptor P2Y12 yang biasa dipakai bersamaan dengan aspirin pada pasien dengan acute coronary syndrome (ACS) dan pasien pasca percutaneous coronary intervention (PCI), untuk mengurangi risiko kejadian kardiovaskular berupa thrombus stent atau ACS berulang.[1]

shutterstock_1839229018-min

Penggunaan Clopidogrel sebagai Antiplatelet

Clopidogrel merupakan prodrug dan bentuk aktifnya, derivat tiol, diproduksi melalui oksidasi menjadi 2-oxy-clopidogrel dan hidrolisis. Dalam proses yang bergantung pada isoenzim sitokrom P450 3A4, 3A5, 2B6, dan 2C19 dan, pada tingkat yang lebih rendah, pada isoenzim 1A1 dan 1A2. Bentuk aktif obat mengikat reseptor P2Y12 secara selektif dan ireversibel pada permukaan luar membran platelet, menghalangi interaksi reseptor dengan adenosine triphosphate (ADP).[2]

Meskipun menggunakan dual antiplatelet therapy (DAPT), beberapa pasien masih mengalami kejadian kardiovaskular berulang. Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai alasan, seperti penghambatan platelet yang kurang memadai dan perbedaan respons antar individu.[3]

Penelitian potong lintang di Rumah Sakit Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2020‒2021, pada 57 pasien yang pernah mengalami >1 kali episode stroke iskemik. Penelitian ini  menyebutkan bahwa clopidogrel masih efektif untuk mencegah stroke berulang di Indonesia. Namun, diperlukan studi lebih lanjut untuk menilai genetika polimorfisme dan resistansi clopidogrel.[18]

Tantangan dalam terapi antiplatelet adalah kurangnya cara standar untuk mentitrasi dosis obat untuk mencapai penghambatan platelet yang memadai dan follow up yang sesuai, seperti pemeriksaan yang dapat dilakukan pada penggunaan obat penurun lipid dan tekanan darah.[3]

Definisi Resistansi Clopidogrel

European Society of Cardiology (ESC) working group on Thrombosis menyatakan bahwa definisi resistansi antiplatelet masih belum jelas karena tes fungsi platelet standar belum ditetapkan untuk menentukan apakah itu responder atau non-responders (resisten).[2]

Sesuai terminologi, istilah 'resistansi' mulai dibagi menjadi dua, yaitu secara klinis dan laboratorium:

  • 'Resistansi' klinis terhadap obat antiplatelet oral didefinisikan jika terdapat kejadian kardiovaskular pada pasien yang menggunakan obat antiplatelet;
  • ‘Resistansi' laboratorium terhadap obat antiplatelet oral didefinisikan jika reaktivitas platelet in vitro tidak dihambat dengan baik meskipun telah menggunakan obat antiplatelet oral[2]

Efek biomekanik dan fisiologis dari terapi dan mekanismenya, mempunyai hubungan yang kompleks dengan konsentrasi yang diberikan dan efek klinis yang ditunjukkan, yang disebut farmakodinamik. Baik farmakokinetik dan farmakodinamik merupakan dasar tingkat keberhasilan terapi dan efek sampingnya.[4]

Faktor yang Mempengaruhi Resistansi Clopidogrel

Faktor mana yang menyebabkan variasi besar dalam respon clopidogrel belum sepenuhnya diketahui, tetapi faktor yang penting adalah polimorfisme genetik dan interaksi obat. Berkurangnya fungsi CYP2C19 meningkatkan risiko MACE (major adverse cardiac events).[3]

Interaksi obat dapat mempengaruhi respon clopidogrel rifampisin, ketoconazole, proton pump inhibitor (PPI) melaporkan bahwa kombinasi obat-obat ini meningkatkan risiko resistansi clopidogrel, tetapi mungkin secara klinis tidak penting, karena tidak ada perbedaan signifikan pada MACE. Pengobatan dengan statin yang dimetabolisme oleh CYP3A4 telah menunjukkan tidak atau hanya sedikit mengurangi reaktivitas platelet, dan tidak mempengaruhi hasil klinis.[3]

Faktor lain yang berpengaruh terhadap respon clopidogrel yang rendah adalah absorpsi yang buruk, polimorfisme reseptor P2Y12, peningkatan pergantian trombosit, perbedaan faktor klinis seperti jenis kelamin, diabetes, penyakit ginjal, obesitas, dan hiperkolesterolemia.[3]

Terapi Antiplatelet dan Pengujian Fungsi Trombosit dalam Praktik Klinis

Pedoman terkini untuk DAPT yang dipublikasi ESC adalah menggabungkan aspirin dengan penghambat P2Y12. Penghambat P2Y12 mana yang tergantung pada situasi klinis. Untuk pasien CAD yang stabil setelah PCI elektif, direkomendasikan DAPT dengan clopidogrel, tetapi pada pasien dengan ACS disarankan penggunaan prasugrel atau ticagrelor.[1]

Panduan ESC tidak merekomendasikan pengujian fungsi platelet dalam praktek klinis rutin sebelum atau setelah pemasangan stent elektif. Hal ini karena tidak ada RCT skala besar yang menunjukkan efek menguntungkan dari penyesuaian terapi berdasarkan pengujian fungsi platelet selama pengobatan clopidogrel.[1,6]

Berkenaan dengan prasugrel atau ticagrelor, terapi berdasarkan fungsi trombosit belum banyak diteliti, karena HPR pada obat ini jarang terjadi. Oleh karena itu, pengujian fungsi trombosit tidak direkomendasikan.[6]

Pedoman ACCF/AHA/SCAI tahun 2021 untuk pasien pasca PCI menuliskan bahwa pemberian DAPT dapat hingga pasien stabil untuk mengurangi risiko perdarahan. Untuk mencegah iskemia berulang dan risiko perdarahan, pasien dapat diberikan monoterapi inhibitor P2Y12 dan dihentikan aspirin setelah 1‒3 bulan terapi antiplatelet ganda. Pedoman ini tidak menyebutkan terkait pengujian fungsi trombosit dalam praktik klinis rutin.[7]

Guidelines of myocardial revascularization-supplementary data yang dipublikasi oleh ESC menyatakan uji fungsi trombosit ataupun uji genetika tidak direkomendasikan secara rutin untuk penyesuaian dan peningkatan DAPT pada pasien yang dipasang stent/ PCI.[8]

Pengujian mungkin dipertimbangkan untuk de-eskalasi DAPT, menguji kepatuhan terhadap pengobatan, atau mendapatkan informasi prognostik secara individu untuk jangka waktu setelah PCI.[8]

Pemeriksaan untuk Mengetahui Resistansi Clopidogrel

Fungsi platelet secara in vivo telah diukur dengan waktu perdarahan/bleeding time, sedangkan fungsi platelet secara in vitro telah diukur dengan beberapa tes, banyak di antaranya tidak sesuai dengan kondisi agregat trombosit in vivo.[4,5]

Banyak penelitian yang membandingkan berbagai tes untuk mengevaluasi efek clopidogrel. Namun, semua penelitian tidak menemukan kesamaan di antara tes-tes yang diteliti. Oleh karena itu, belum ada tes yang terbukti akurat dan ideal untuk memantau terapi clopidogrel.[4]

Prevalensi high platelet reactivity (HPR) saat terapi clopidogrel adalah tinggi. Namun, perkiraan tersebut tidak konsisten dan bergantung pada metode laboratorium dan nilai batas yang digunakan. Berdasarkan pedoman konsensus ahli tahun 2014, prevalensi diperkirakan sekitar 30%.[3]

Manajemen Resistansi Clopidogrel

Yu et al. merekomendasikan tiga strategi untuk mengatasi resistansi antiplatelet: meningkatkan dosis, menambahkan agen lain (seperti inhibitor glycoprotein IIb / IIIa, cilostazol), atau mengganti dengan agen yang lebih kuat (seperti prasugrel, ticagrelor).[9,10]

Alegria-Barrero et al. menyampaikan algoritma untuk mengatasi resistansi antiplatelet pada pasien yang menjalani PCI. Setelah prosedur PCI, pasien menerima obat antiplatelet ganda (aspirin 100 mg dan clopidogrel 75 mg). Jika terjadi resistansi aspirin atau clopidogrel, tingkatkan dosis aspirin hingga 325 mg atau clopidogrel 150 mg. Ini juga dapat diganti dengan trifusal untuk resistansi aspirin atau prasugrel/ticagrelor/prasugrel untuk resistansi clopidogrel.[10,11]

Neubaueret et al. menyelidiki 504 pasien PCI yang menerima 500 mg aspirin (loading dose), dilanjutkan dengan 100 mg per 24 jam dan 600 mg clopidogrel (loading dose), dilanjutkan dengan 75 mg per 24 jam. Semua partisipan menjalani pemeriksaan whole blood aggregometri> 48 jam (tidak lebih dari 72 jam) setelah pemasangan stent.[12]

Peneliti menerapkan algoritma mengelola resistansi antiplatelet yang disebut "The Bochum clopidogrel and aspirin plan (BOCLA-Plan)". Hasil penelitian mengidentifikasi 30,8% clopidogrel low-responders (CLR) dan 19,4% aspirin low-responders (ALR). Penyesuaian dosis aspirin secara bertahap 300 mg/ hari, kemudian 500 mg/ hari, menghasilkan sisa ALR 5,4%.[12]

Ini berarti modifikasi dosis pemeliharaan aspirin cukup berhasil untuk ALR. Sedangkan 69% pasien CLR berhasil diobati dengan peningkatan dosis clopidogrel (150 mg / 24 jam). Dan sisa 12,7% CLR dikontraindikasikan dengan prasugrel atau prasugrel tidak tersedia, menunjukkan respon yang memadai dengan ticlopidine. Pasien CLR lain yang diberikan prasugrel belum menunjukkan sifat residual. Implementasi algoritma ini menurunkan prevalensi CLR sebesar 86,6%.[12]

Pedoman praktik untuk PCI dari ACA/AHA/SCAI (2005) menyatakan bahwa trombosis subakut dapat berakibat fatal (seperti unprotected left main, bifurcating left main, atau patent coronary vessel terakhir), penilaian agregasi trombosit dapat dipertimbangkan dan jika mengungkapkan penghambatan agregasi trombosit <50%, dosis clopidogrel harus ditingkatkan hingga 150 mg / 24 jam (kelas IIb, LoE: C). [10]

Kesimpulan

Clopidogrel adalah obat standar emas dan telah digunakan dalam kombinasi dengan aspirin pada pasien dengan sindrom koroner akut. Dalam penelitian telah ditunjukkan bahwa reaktivitas platelet yang tinggi karena resistansi clopidogrel dikaitkan dengan kejadian trombotik yang merugikan termasuk trombosis stent.

Alasan utamanya adalah pembentukan metabolit aktif yang kurang optimal karena variabilitas individu dalam absorpsi usus, interaksi obat-obat dan polimorfisme dalam isoenzim CYP. Metode untuk mengidentifikasi resistansi clopidogrel tidak standar dan tidak tersedia secara bebas.

Para ahli merekomendasikan strategi khusus untuk mengatasi resistansi antiplatelet: meningkatkan dosis, menambahkan agen lain (seperti inhibitor glycoproteinIIb / IIIa, cilostazol) atau mengganti dengan agen lain (seperti trifusal untuk resistansi aspirin; prasugrel atau ticagrelor untuk resistansi clopidogrel), dan mengontrol mekanisme yang dapat dimodifikasi.

 

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi