Ticagrelor vs Clopidogrel dalam Penanganan Sindrom Koroner Akut

Oleh :
dr. Queen Sugih Ariyani

Saat ini masih terdapat perdebatan mengenai pemilihan ticagrelor atau clopidogrel untuk penanganan pasien dengan sindrom koroner akut. Pedoman yang ada lebih merekomendasikan ticagrelor karena dinyatakan dapat mengurangi major adverse coronary event (MACE), tetapi studi terbaru ternyata menunjukkan hasil yang tidak sejalan.

Sindrom koroner akut (SKA) selama ini telah ditata laksana dengan pemberian dual antiplatelet therapy (DAPT). DAPT yang direkomendasikan adalah aspirin dan inhibitor reseptor P2Y12. DAPT yang diberikan selama 12 bulan setelah onset SKA terbukti dapat menurunkan risiko kejadian trombosis stent, risiko SKA berulang, kematian akibat infark miokard, dan stroke. Ticagrelor dan clopidogrel adalah antagonis reseptor P2Y12 yang sering menjadi pilihan pendamping aspirin dalam terapi dual antiplatelet.[1-2]

shutterstock_1542076319

Beberapa studi telah mengkaji efikasi dan keamanan ticagrelor dibandingkan dengan clopidogrel. Parameter yang dibandingkan adalah major adverse coronary event (MACE) yang meliputi mortalitas akibat semua penyebab, infark miokard, stroke, hospitalisasi akibat gagal jantung, revaskularisasi, serta analisis risiko perdarahan pada penggunaan ticagrelor maupun clopidogrel.[3-5]

Farmakologi Clopidogrel vs Ticagrelor

Clopidogrel berasal dari kelas thienopyridine dan telah lebih dahulu dikenal sebagai antiplatelet pilihan pada pasien SKA. Namun, clopidogrel memiliki kekurangan, yaitu onsetnya yang lebih lama. Obat ini membutuhkan aktivasi metabolik dan bersifat irreversible dalam ikatannya dengan reseptor P2Y12, sehingga dapat memperlambat pemulihan fungsi platelet.

Ticagrelor termasuk dalam kelas cyclopentyl triazolopyrimidine dan tidak memerlukan aktivasi metabolik. Obat ini dapat bereaksi secara cepat dan bersifat reversible terhadap reseptor P2Y12, sehingga memiliki onset yang lebih cepat dan memiliki aksi inhibisi platelet yang lebih kuat. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ticagrelor dapat menurunkan risiko MACE meskipun dapat meningkatkan risiko perdarahan dan dyspnea pada penggunaan jangka panjang.[6-7]

PLATO Trial

Platelet Inhibition and Patient Outcomes (PLATO) trial adalah suatu uji klinis double blind terandomisasi yang dilakukan oleh Wallentin et al untuk mempelajari 18.624 subjek dalam perawatan sindrom koroner akut. Subjek secara acak diberikan DAPT dengan ticagrelor (dosis awal 180 mg dan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg) atau DAPT dengan clopidogrel (dosis awal 300-600 mg dan dosis pemeliharaan 1 x 75 mg) dalam waktu 24 jam dari onset infark miokard.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa pasien SKA yang mendapatkan terapi ticagrelor mengalami penurunan angka mortalitas yang disebabkan oleh kejadian vaskuler, infark miokard, maupun stroke (9,8% vs 11,7% pada 12 bulan). Menurut PLATO, ticagrelor juga lebih efektif dalam mengurangi kejadian trombosis stent dibandingkan clopidogrel (1,3% vs 1,9%, p =0,009).

Secara keseluruhan, ticagrelor dilaporkan tidak meningkatkan risiko perdarahan mayor (11,6% vs 11,2%, p=0,43) meskipun pada analisis kejadian yang tidak terkait prosedur coronary artery bypass grafting (CABG) ditemukan peningkatan risiko perdarahan lebih tinggi pada ticagrelor (4,5% vs 3,8%, p=0,03). Studi ini menyimpulkan bahwa ticagrelor memiliki efikasi yang lebih tinggi dalam mengurangi MACE jika dibandingkan dengan clopidogrel, serta menunjukkan keamanan yang relatif baik.[2-3]

Studi Lain yang Mendukung PLATO

Pada studi lain yang membandingkan pemberian ticagrelor dan clopidogrel pada pasien infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) setelah dilakukan trombolisis, ticagrelor dinyatakan bersifat noninferior terhadap clopidogrel dalam mengurangi mortalitas kardiovaskular, infark miokard, stroke (8,0% pada ticagrelor vs 9,1% pada clopidogrel) dan perdarahan mayor dalam 30 hari pada pasien STEMI yang berusia kurang dari 75 tahun dan menjalani fibrinolitik (1,6% vs 2,1%, p=0.21).[1,4]

Pedoman Pilihan Antiplatelet Berdasarkan PLATO

Berdasarkan hasil dari PLATO dan bukti ilmiah beberapa uji klinis yang lain, European Society of Cardiology (ESC) dan American College of Cardiology / American Heart Association (ACC/AHA) akhirnya merekomendasikan ticagrelor sebagai pilihan utama pendamping aspirin dalam terapi DAPT pada pasien SKA. Clopidogrel dikatakan dapat menjadi alternatif jika pasien tidak bisa mendapatkan ticagrelor.[1-2]

Kontroversi dengan Hasil Studi Terbaru

Studi oleh Turgeon et al yang dipublikasikan di tahun 2020 ternyata memberikan hasil yang tidak sejalan dengan PLATO dan pedoman yang telah ada. Studi kohort observasional ini melibatkan 11.185 subjek di Alberta, Kanada dan membandingkan kejadian MACE pada pasien SKA yang menerima ticagrelor atau clopidogrel dalam 31 hari setelah percutaneous coronary intervention (PCI).

Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan MACE yang signifikan antara subjek yang mendapat ticagrelor dan yang mendapat clopidogrel. Studi ini juga menunjukkan bahwa risiko perdarahan meningkat secara signifikan pada kelompok ticagrelor dibandingkan clopidogrel (aHR, 1,51; 95%CI: 1,29-1,78 p<0.001). Kunjungan pasien ke instalasi gawat darurat akibat dyspnea juga meningkat pada kelompok ticagrelor (aHR, 1,98; 95%CI, 1,47-2,65 p<0.001).[5]

Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan oleh metodologi, populasi pasien, dan intervensi kardiologi yang berbeda. PLATO tidak mempelajari efek kedua obat tersebut pada pasien PCI secara spesifik melainkan mempelajari semua tipe SKA tanpa melihat rencana tata laksana invasif. Selain itu, mayoritas PCI di trial PLATO menggunakan bare-metal stent dan drug-eluting stent generasi pertama yang memiliki risiko trombosis stent lebih tinggi daripada drug-eluting stent generasi kedua yang digunakan di studi ini.

Akan tetapi, studi Turgeon et al ini juga memiliki keterbatasan. PLATO menghitung seluruh outcome yang terjadi selama perawatan di rumah sakit, sedangkan studi ini hanya mempelajari pasien yang berhasil bertahan hidup hingga waktu discharge dari rumah sakit.[3,5]

Kesimpulan

PLATO trial dan beberapa uji klinis lain menyatakan bahwa risiko MACE terhitung lebih rendah pada pasien yang menggunakan ticagrelor daripada pasien yang menggunakan clopidogrel. Oleh sebab itu, guideline yang ada merekomendasikan ticagrelor sebagai pilihan utama untuk penanganan pasien SKA dan clopidogrel sebagai alternatif.

Walau demikian, studi kohort observasional terbaru menunjukkan bahwa perbedaan MACE antara pasien SKA yang menggunakan ticagrelor setelah PCI dan pasien yang menggunakan clopidogrel setelah PCI tidak signifikan. Pada studi ini, ticagrelor juga dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan dan dyspnea.

Studi-studi ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga studi lebih lanjut mungkin masih diperlukan. Namun, kedua obat ini sama-sama merupakan obat antiplatelet yang dapat digunakan untuk penanganan SKA. Dokter dapat menyesuaikan pilihan obat dengan pertimbangan klinis, perbandingan manfaat dan risiko pada setiap pasien, biaya obat, serta ketersediaan obat di daerah masing-masing. Di Indonesia, clopidogrel umumnya lebih mudah ditemukan daripada ticagrelor.

Referensi