Peresepan Plasebo untuk Nyeri Kronik

Oleh :
dr. Wendy Damar Aprilano

Terdapat kontroversi mengenai peresepan plasebo sebagai terapi untuk nyeri kronik. Banyak dokter meragukan efikasinya dan beberapa lain meragukan aspek etis dari pemberian plasebo untuk pasien dengan nyeri kronik, misalnya nyeri kronik akibat fibromyalgia.

Plasebo merupakan obat yang mengandung substansi atau prosedur yang tidak memberikan efek langsung dalam mengatasi patofisiologi suatu gejala atau penyakit. Plasebo awalnya digunakan dalam uji klinis untuk membedakan efek suatu obat dengan tanpa pengobatan. Meski begitu, pada beberapa studi justru tampak bahwa plasebo menghasilkan luaran yang mirip dengan farmakoterapi[1-3]

Young,Woman,Taking,A,Pill

Peran Plasebo pada Nyeri Kronik

Belum diketahui pasti bagaimana mekanisme plasebo dapat menghilangkan nyeri. Terdapat dua kelompok teori yang dianggap mewakili cara kerja plasebo dalam penanganan nyeri, yakni teori psikologis tradisional dan hubungan dokter-pasien.[1,2]

Teori Psikologis Tradisional

Teori psikologis tradisional merupakan teori dominan dari efek plasebo dalam literatur. Teori ini menyatakan bahwa harapan positif yang secara sadar dimiliki seseorang dalam mengatasi nyeri yang dialami dapat menimbulkan hasil akhir yang menguntungkan. Maka dari itu, meskipun plasebo sejatinya tidak memiliki efek terapeutik apapun, harapan positif yang dimiliki pasien dianggap menjadi penyebab perbaikan klinis setelah pemberian plasebo.

Meski demikian, uji klinis terkait teori ini yang dilakukan pada pasien dengan irritable bowel syndrome, chronic low back pain, maupun chronic temporomandibular disorder tidak menunjukkan hasil yang konsisten terkait manfaat pemberian plasebo. Dalam wawancara yang dilakukan terhadap pasien, kebanyakan pasien menentang harapan positif yang diterapkan dan justru menunjukan kehilangan harapan setelah mengalami kegagalan terapi berulang.[1,2]

Teori Hubungan Dokter-Pasien

Kemampuan dokter dalam berhubungan dengan pasien, seperti memberikan perhatian, keramahan, kompetensi, rasa percaya, hingga kemampuan non-verbal lain, dinilai berhubungan dengan perbaikan nyeri setelah pemberian plasebo.[1,2]

Efikasi Penggunaan Plasebo pada Nyeri Kronik

Sebuah meta analisis mengevaluasi efikasi plasebo berdasarkan 124 uji klinis pada pasien dengan fibromyalgia. Total terdapat 15.633 partisipan pada meta analisis ini. Studi ini menemukan bahwa peserta yang menerima plasebo mengalami perbaikan lebih signifikan dalm hal rasa sakit, kelelahan, kualitas tidur, dan fungsi fisik dibandingkan yang tidak menerima pengobatan. Menurut studi ini, effect size dari plasebo masuk dalam kategori moderat.[4]

Meta analisis lain mengevaluasi hasil dari 21 uji klinis dengan 3064 pasien osteoarthritis lutut dan 608 pasien osteoarthritis panggul. Dalam meta analisis ini, plasebo ditemukan efektif menurunkan skala nyeri yang diukur dengan visual analog scale (VAS). Nyeri berkurang pada osteoarthritis lutut dan panggul pada pemantauan 2 minggu, dan berlanjut hingga minggu ke-12 pada osteoarthritis lutut.[5]

Basis bukti lain datang dari sebuah uji klinis open label yang melibatkan 122 partisipan dengan nyeri punggung kronik. Dalam studi ini, pasien diacak untuk mendapat plasebo open label selama 3 minggu atau perawatan seperti biasa (usual treatment). Dalam studi ini, kelompok plasebo dilaporkan mendapat pengurangan intensitas nyeri, keterbatasan fungsional, dan skor depresi yang lebih baik.[6]

Pertimbangan Etika Penggunaan Plasebo pada Nyeri Kronik

Pada dasarnya, pemberian plasebo dalam praktik klinis dapat memberi keuntungan, terutama jika didasari pemikiran untuk mengurangi risiko paparan efek samping obat disertai adanya potensi manfaat. Meski demikian, tidak ada rasionalisasi secara etis yang dapat membenarkan pemberian plasebo murni pada pasien, misalnya pemberian krim atau obat inaktif. Oleh sebab itu, praktik ini sudah sangat jarang dilakukan.[1]

Di sisi lain, pemberian “impure placebo” banyak dilakukan dalam penanganan nyeri kronik di seluruh dunia. Impure placebo merujuk kepada praktik meresepkan obat atau suplemen yang dokter ketahui tidak memberi efek pada patofisiologi kondisi pasien. Sayangnya, secara etika praktik ini memiliki keterbatasan, yakni menurunkan transparansi pengobatan dan nilai informed consent terhadap pemberian terapi yang rasional.

Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, dokter bisa menawarkan pemberian Open Label Placebo (OLP), yakni plasebo dipilih secara sadar oleh pasien untuk dicoba sebagai bagian dari terapi mereka. Ini akan meningkatkan transparansi dan menguatkan aspek autonomi pasien, meskipun masih banyak yang menganggap praktik ini tidak dibenarkan karena dokter selayaknya tidak menawarkan pilihan terapi yang tidak berhubungan atau tidak memiliki efek farmakologi dan fisiologis.[1-3]

Kesimpulan

Peresepan plasebo untuk mengatasi nyeri kronik masih menjadi kontroversi. Beberapa studi mengindikasikan bahwa plasebo efektif untuk mengurangi nyeri pada pasien dengan nyeri kronik, misalnya akibat fibromyalgia, osteoarthritis, ataupun nyeri punggung bawah non-spesifik. Meski begitu, dokter perlu memperhatikan aspek etis dari pemberian obat plasebo dan memastikan komunikasi terbuka dengan pasien tetap terjaga.

Referensi